Anak muda berharap ada KPR bersubsidi dengan bunga rendah, "flat", dan tenor panjang. Juga ada kontrol pada harga rumah.
Oleh BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA, HENDRIYO WIDI, AGNES THEDOORA, AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Rumah menjadi kebutuhan pokok warga. Di tengah polemik program Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera, pemerintah sebenarnya sudah memiliki skema bantuan perumahan seperti program subsidi perumahan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahaan (FLPP) yang dikeluarkan melalui Kredit Perumahan Rakyat (KPR)-FLPP. Namun daya jangkaunya masih terbatas.
Skema apa yang diharapkan oleh kaum pekerja agar bisa memiliki rumah? Sejumlah pekerja memberikan masukan berikut.
Aris Nurjani (28). seorang wartawan di Jakarta Selatan, menyampaikan, "Dalam kondisi saat ini, di tengah tekanan suku bunga yang tinggi, untuk saya pribadi bantuan yang diperlukan agar memiliki rumah sendiri adalah bantuan subsidi dari pemerintah dengan bunga KPR yang lebih ringan, serta mengontrol harga rumah di pasaran. Dua hal tersebut dapat meringankan kami anak muda untuk dapat mengakses perumahan sendiri".
Jika hanya salah satu bantuan yang diberikan, lanjut Aris, pekerja akan tetap sulit untuk memiliki rumah karena harga-harga kebutuhan pokok atau primer terus mengalami kenaikan, sementara gaji tidak mengikuti kenaikan yang signifikan sehingga beban yang harus dikeluarkan terus meningkat. Sebab, kenaikan harga kebutuhan primer berbanding terbalik dengan pendapatan yang hanya segitu saja.
Aris berpendapat program iuran Tapera memberatkan pekerja. Karena, potongan 2,5 persen gaji akan sangat memangkas pendapatan yang seharusnya bisa dimanfaatkan buat biaya sehari-sehari. "Ini malah harus dialihkan sehingga biaya kehidupan akan berkurang," katanya.
Menurut Aris, dengan gaji UMR, alokasi keuangan untuk hidup sehari-hari sangat berat. Gaji harus dialokasikan untuk kebutuhan pribadi, keluarga, tabungan dan lainnya. "Jadi jika harus dipotong lagi akan memberatkan secara pribadi," katanya.
Menurut Aris program Tapera sangat berat lantaran jika dihitung, pemotongan sebesar 2,5 persen gaji setiap bulan, hanya menghasilkan tabungan berkisar 1,5 juta dalam setahun. Situasi ini menimbulkan pertanyaan, apakah memungkinkan untuk memiliki rumah sendiri dengan harga segitu? Lalu, kedepannya untuk biaya kredit/cicilan apakah bisa tetap flat hingga rumah lunas?
Dionisius Danang W (24), karyawan swasta di Yogyakarta mengatakan, dari waktu ke waktu, harga rumah semakin tidak terjangkau, sehingga tabungan kesulitan mengejar kenaikan harga rumah. Kalaupun bisa mendapatkannya, lokasinya jauh dari pusat kota.
"Untuk skema pembeliannya, saya berharap ada skema KPR dengan bunga rendah atau bahkan flat, sebab bunga floating bisa menggerus tabungan, karena tidak sebanding dengan kenaikan upah pekerja," kata Danang.
Untuk itu, ia berharap ada KPR bersubsidi dengan bunga rendah, flat, dan tenor panjang. Langkah itu perlu dibarengi dengan pembangunan rumah sederhana yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah.
Adapun Pernita Hestin Untari (29), pekerja swasta di Jakarta, memiliki banyak pertimbangan terkait keputusannya untuk memiliki rumah di Jakarta. Apalagi, semakin hari harga rumah terus merangkak naik. Skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) pun tidak serta merta menjadi jawaban.
"Salah satu acuan dalam memilih rumah adalah jarak, untuk di Jakarta khususnya daerah pusat mungkin susah untuk mencari rumah karena harganya sudah mahal. Kalau mau KPR banyaknya pun di pinggiran Jakarta dan jaraknya jauh. Saya berharap pemerintah dapat memfasilitasi atau memperluas pengadaan tanah untuk rumah bagi para pekerja di Jakarta, seperti apartemen atau rumah susun untuk pekerja di kawasan perkantoran," kata Pernita, Minggu (9/6/2024).
Sedangkan Aurora KM Simanjuntak (28), karyawan swasta di Jakarta menyebut kebijakan Tapera mungkin cocok untuk orang yang sangat butuh dan sungguh-sungguh mau menabung untuk membeli rumah karena sifat iurannya wajib. Di satu sisi, bagi pegawai biasa dengan gaji pas-pasan, lalu dipotong lagi untuk Tapera sebenarnya memberatkan. Belum lagi, ada pegawai yg mengalokasikan uangnya untuk membayar banyak cicilan, tetapi tetap harus membayar iuran Tapera.
"Jadi pertanyaan juga buat kami para pegawai, kapan bisa menikmati manfaatnya alias dapat rumah, kalau iurannya 3 persen dari gaji, dengan gaji pun UMR, tapi harga rumah kian melambung. Ini tidak sinkron sama tabungannya," kata Aurora.
"Saat ini saya sendiri belum punya rumah pribadi. Meski demikian, saya merasa belum membutuhkan program tersebut. Kalau benar diterapkan, pengennya sih, kebijakan Tapera ini mekanisme pengelolaannya bagus, ada pengawasan, evaluasi, dan transparansi ke publik. Biar amanahlah mengelola duit jumbo milik rakyat itu, jangan sampai ngawur," kata Aurora.