Kepercayaan publik menjadi kata kunci penting bagi upaya mengembalikan marwah Komisi Pemberantasan Korupsi yang sepanjang satu periode terakhir ini justru lebih banyak disorot negatif oleh masyarakat.

Upaya itu dimulai dari kerja-kerja rekrutmen yang saat ini dilakukan oleh Panitia Seleksi Calon Pimpinan dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masa jabatan 2024-2029. Hasil dari seleksi ini semestinya mampu membawa kembali kepercayaan publik yang cenderung melemah terhadap lembaga pemberantasan korupsi ini.

Setidaknya melemahnya kepercayaan publik terbaca dari persepsi masyarakat yang cenderung tidak sekuat seperti era KPK periode-periode sebelumnya. Hasil survei periodik Litbang Kompas merekam ada tren penurunan citra positif KPK di mata publik. Dalam survei paling akhir pada Desember 2023 lalu, citra positif KPK berada di angka 47 persen.

Angka tersebut terekam paling rendah dibandingkan 20 survei Litbang Kompas sebelumnya yang digelar secara periodik sepanjang lebih dari 15 tahun terakhir ini. Pada survei periode Januari 2015, citra KPK tercatat paling tinggi, yakni berada di angka 88,5 persen. Artinya, mayoritas responden memberikan penilaian baik atau positif terhadap citra kelembagaan KPK.

Survei tersebut menegaskan, KPK relatif mampu mempertahankan kepercayaan publik meskipun lebih dari sepuluh tahun sebelumnya, sejak berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tekanan dan upaya pelemahan dari luar terhadap lembaga terus bermunculan.

Sebut saja kasus fenomenal yang kemudian dikenal dengan ”Cicak Versus Buaya” pada 2009, kasus korupsi simulator SIM tahun 2012, hingga penetapan tersangka terhadap calon kapolri saat itu, Budi Gunawan, pada tahun 2015.

https://cdn-assetd.kompas.id/nhlubtpdnQRsU_ettcEfBQiGA5k=/1024x693/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F06%2F05%2F355b5d97-77d4-4bce-8be2-44777bd4a5e2_png.png

Kasus-kasus ini menjadi hantaman serius bagi KPK. Namun, sekali lagi lembaga ini bertahan karena masih mendapat dukungan penuh dari publik. Hal ini terlihat saat kasus penetapan Budi Gunawan, justru citra KPK sedang tinggi-tingginya, yakni di atas 80 persen.

Guncangan terhadap KPK mulai terjadi setelah UU KPK direvisi pada September 2019. Salah satu dampak dari revisi ini adalah perubahan status pegawai KPK sehingga kemudian muncul kontroversi terkait tes wawasan kebangsaan pegawai KPK. Disinyalir akibat tes ini, tidak sedikit nama penyidik KPK yang selama ini berperan dan menjadi sorotan publik gagal lolos dalam seleksi.

Tak heran jika kemudian pascarevisi terhadap UU KPK ini, pada survei Litbang Kompas periode Oktober 2022, citra lembaga ini merosot hingga berada di angka 55,9 persen. Selain polemik peralihan status pegawai KPK, sorotan publik juga mengemuka terkait sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan dan pegawai KPK.

Sejumlah pelanggaran yang melibatkan pimpinan KPK itu menjadi sorotan publik, hingga kemudian dua unsur pimpinan KPK, yakni Lili Pintauli Siregar dan Ketua KPK Firli Bahuri, mengundurkan diri dari KPK. Terakhir adalah polemik antara Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

Sebelumnya, Ghufron melaporkan beberapa anggota Dewas KPK ke Bareskrim Polri terkait dugaan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik dan penyalahgunaan wewenang. Akibat langkahnya ini, sejumlah kelompok masyarakat melaporkan Ghufron ke PTUN karena langkahnya melaporkan Dewas KPK dinilai menghalang-halangi pemberantasan korupsi.

Indeks persepsi korupsi menurun

Selain polemik internal KPK yang justru melemahkan citranya di mata publik, tantangan yang tidak mudah adalah kecenderungan mulai menurunnya indeks persepsi korupsi di Indonesia. Data dari Transparency International menunjukkan tren penurunan tersebut.

Penurunan itu terlihat jika kita bandingkan pada era sebuah pemerintahan. Di era Joko Widodo, pemberantasan korupsi cenderung mengalami stagnasi, bahkan pelemahan. Pada 2004, saat era pemerintahan Megawati Soekarnoputri berakhir, misalnya, indeks persepsi korupsi berada di skor 20 dari rentang 1 hingga 100. Semakin mendekati angka 0, tingkat korupsi makin tinggi, sedangkan mendekati 100 tingkat korupsi makin rendah.

Pada 2004 tersebut, di akhir pemerintahan Megawati dengan angka 20, sebenarnya terjadi kenaikan dibandingkan tahun 2002 yang berada di skor 19. Meskipun skor sedikit naik, peringkat Indonesia mengalami penurunan. Jika pada 2002 berada di peringkat ke-88 dari 91 negara yang disurvei, pada tahun 2004 peringkat Indonesia menurun di posisi ke-122 dari 133 negara yang disurvei.

Pada 2009, di akhir pemerintahan periode pertama Susilo Bambang Yudhoyono, indeks persepsi korupsi berada di skor 28 alias meningkat dibandingkan periode akhir pemerintahan Megawati 2004. Pada akhir periode pertama SBY tersebut, peringkat Indonesia sedikit meningkat menjadi 111 dari 180 negara yang disurvei. Setidaknya dibandingkan lima tahun terakhir periode pertama SBY, skornya berada di rentang 22-26.

Indeks persepsi korupsi berikutnya di lima tahun pemerintahan SBY pada periode kedua juga menunjukkan tren peningkatan. Rentang skor indeksnya pada 2010-2013 berkisar 28-32. Terakhir, di ujung pemerintahannya, yakni 2014, indeks persepsi korupsi berada di skor 34 dan berada di peringkat ke-107 dari 175 negara yang disurvei.

Skor inilah yang menjadi baseline untuk menilai sejauh mana kondisi pemberantasan korupsi di era pemerintahan selanjutnya yang dipimpin Presiden Jokowi. Pada periode pertama Jokowi memang terjadi tren peningkatan skor indeks persepsi korupsi. Pada 2015-2019, rentang skornya konsisten mengalami peningkatan.

https://cdn-assetd.kompas.id/wmSWoHfbFfl4CZwbrQSN_5mlVP4=/1024x810/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F06%2F05%2Fb084b2c7-d953-4103-b4d8-d1a8550e7d53_png.png

Pada 2015, skornya berada di angka 36 dan konsisten naik. Hingga akhir periode pertama Jokowi, yakni 2019, skor indeks persepsi korupsi mencapai angka 40 dengan peringkat ke-85 dari 180 negara yang disurvei. Peringkat ini tercatat paling tinggi dibandingkan lebih dari dua dekade terakhir ini.

Sayangnya, pada periode kedua pemerintahan Jokowi, kondisi sebaliknya justru terjadi, yakni trennya mengalami penurunan. Pada rentang 2020-2023, skor indeks persepsi korupsi konsisten menurun. Pada 2020, skornya 37 alias menurun tiga poin dibandingkan 2019. Peringkatnya pun mengalami penurunan, dari sebelumnya di posisi ke-85 menjadi peringkat ke-102 dari 180 negara.

Salah satu poin yang cukup memberikan kontribusi adalah revisi UU KPU pada akhir 2019 yang kemudian mengubah konstelasi pemberantasan korupsi, terutama di lingkup internal kelembagaan KPK.

Kondisi yang tak jauh beda kembali terjadi pada 2021 dan 2022 yang relatif stagnan. Bahkan, pada 2022, skornya makin anjlok di angka 34 atau turun empat poin daripada tahun sebelumnya. Terakhir, pada 2023, angkanya stagnan, tetapi peringkatnya kembali menurun menjadi di posisi ke-115 dari 180 negara yang disurvei.

Tren indeks persepsi yang makin menurun ini memberikan sinyal ke depan bahwa dibutuhkan penguatan kembali upaya-upaya pemberantasan korupsi. Salah satunya adalah penguatan kembali kelembagaan KPK yang bisa dimulai dari rekrutmen pimpinan KPK yang saat ini tengah berlangsung.

Jadi, Panitia Seleksi Calon Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK semestinya mencari sosok-sosok yang berintegritas tinggi dan memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Integritas kelembagaan akan menjadi kunci dan pintu masuk untuk mengembalikan lagi kepercayaan publik kepada KPK. (LITBANG KOMPAS)

 

 

 
Editor:
ANDREAS YOGA PRASETYO