Mardeka bin Bidulan Imran sedang menunaikan ibadah shalat, Minggu (2/6/2024).KOMPAS/EVY RACHMAWATI

Mardeka bin Bidulan Imran sedang menunaikan ibadah shalat, Minggu (2/6/2024).

Keterbatasan fisik tidak menyurutkan tekad penyandang disabilitas untuk menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Berbagai fasilitas yang tersedia di kota Mekkah memudahkan mobilitas jemaah berkebutuhan khusus untuk melaksanakan prosesi ibadah haji.

Mardeka bin Bidulan Imran (78), jemaah disabilitas netra dari Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, tak mampu melukiskan betapa bahagianya dia dan istrinya bisa sampai ke Tanah Suci dan menunaikan ibadah haji dalam kondisi sehat.

 

Pria yang kehilangan penglihatannya sejak tahun 2023 akibat terkena glaukoma ini tak henti mengucap syukur saat bisa umrah wajib di Masjidil Haram. ”Bersyukur benar sudah sampai ke Mekkah,” tuturnya lirih sambil meneteskan air mata di kota Mekkah pada Sabtu (1/6/2024).

Sebagai petani karet dengan pendapatan terbatas, Mardeka tak menyangka ia menjadi tamu Allah di Tanah Suci. Apalagi ketika kedua matanya tak bisa melihat. ”Yang rasanya tak mungkin jadi mungkin (berangkat haji). Kondisi saya seperti ini. Bahagia sudah saya,” ujarnya.

Penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Dari buah pernikahannya dengan Arsimah (74), Mardeka memiliki delapan anak. Dengan susah payah ia membesarkan anak-anaknya, dan membiayai pendidikan sebagian anaknya.

”Sekarang anak-anak yang saya besarkan menaikkan haji saya. Alhamdulillah, saya bersyukur,” ujarnya didampingi istri. Keinginannya untuk berangkat haji sejak tahun 1980 diwujudkan anak-anaknya dengan mendaftarkan ayah dan ibunya sebagai calon jemaah haji pada 2018 silam.

Mardeka bin Bidulan Imran (78), jemaah haji disabilitas netra bersama istrinya, Arsimah (74), Minggu (2/6/2024), di Mekkah, Arab Saudi. KOMPAS/EVY RACHMAWATI

Mardeka bin Bidulan Imran (78), jemaah haji disabilitas netra bersama istrinya, Arsimah (74), Minggu (2/6/2024), di Mekkah, Arab Saudi.

Saat ia dipanggil untuk berangkat haji pada tahun 2023, Mardeka didiagnosis menderita glaukoma yang menyebabkan ia tak bisa lagi melihat meski telah berobat. Keluarganya sempat menyarankan agar ia melaksanakan umrah saja, tetapi Mardeka tetap bertekad berangkat haji.

Ia pun beribadah umrah wajib dengan skuter di lantai atas Masjidil Haram didampingi istri, ketua rombongan, ketua kloter, dan petugas haji. ”Petugas, kepala rombongan, dan cucu-cucuku di kamar ini (jemaah muda yang sekamar dengannya) amat membantu aku,” tuturnya.

Sekarang anak-anak yang saya besarkan menaikkan haji saya. Alhamdulillah, saya bersyukur.

Selama perjalanan dari desanya ke Muara Teweh dilanjutkan ke Banjarmasin hingga naik pesawat menuju Arab Saudi, ia bisa melaluinya tanpa perlu banyak bantuan. Begitu juga selama berada di Tanah Suci, Mardeka bisa melaksanakan aktivitas sehari-hari secara mandiri.

Sementara Sajeriah (65), jemaah disabilitas netra asal Kota Pare-Pare, Sulawesi Selatan, mengaku terharu dan menangis saat mencium Kabah. ”Saya minta diberi kesehatan dan keselamatan, juga untuk keluarga dan petugas haji yang mendampingi saya,” ujarnya tersenyum bahagia.

Lihat juga: Layanan Kursi Roda bagi Jemaah Lansia

Sajeriah (65), jemaah disabilitas netra asal Kota Pare-Pare, Sulawesi Selatan.KOMPAS/EVY RACHMAWATI

Sajeriah (65), jemaah disabilitas netra asal Kota Pare-Pare, Sulawesi Selatan.

Meski awalnya ragu karena tidak ada jemaah lain di daerah yang disabilitas netra, ia membulatkan tekad untuk berangkat haji meski tanpa ada pendamping dari kerabat dekat. Pada tahun 2010, ia didaftarkan oleh adiknya untuk berangkat haji.

Sajeriah sehari-hari tinggal bersama saudaranya. Perempuan yang kehilangan penglihatan di usia tujuh tahun karena sakit ini rutin berpuasa hari Senin dan Kamis serta belajar mengaji hanya dari menyimak orang lain mengaji. Ia putus sekolah karena sulit melihat,

Selama berada di Tanah Suci, Sajeriah beraktivitas secara mandiri, termasuk mencuci baju. ”Saya dan petugas haji daerah dari kepolisian mendampingi Bu Sajeriah menyentuh Kabah,” kata Hafida Jufri, perawat Kloter UPG-3.

Hatimah (52), penderita stroke yang mengalami kelumpuhan separuh badan, pun amat senang dan menangis saat melihat Kabah. Selama melaksanakan tawaf dan sai saat beribadah umrah wajib, ia menggunakan kursi roda didorong oleh suaminya, Juani (55).

Jemaah haji asal Desa Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, ini membawa kursi roda dari rumah. Selama berada di Arab Saudi, Hatimah mengaku tidak mengalami kendala serius dalam beraktivitas sehari-hari ataupun beribadah. ”Kami menjual tanah demi berangkat haji,” ujarnya.

Petugas haji mendorong kursi roda seorang anggota jemaah haji yang baru selesai melaksanakan umrah wajib di Masjidil Haram, kota Mekkah, Arab Saudi, Jumat (31/5/2024).KOMPAS/EVY RACHMAWATI

Petugas haji mendorong kursi roda seorang anggota jemaah haji yang baru selesai melaksanakan umrah wajib di Masjidil Haram, kota Mekkah, Arab Saudi, Jumat (31/5/2024).

Pendampingan

Menurut Ketua Kloter BDJ-03 Abdul Majid Rahim, pihaknya mengoptimalkan layanan jemaah, khususnya jemaah lanjut usia dan disabilitas, seperti Mardeka dan Hatimah. ”Kami berkoordinasi dengan ketua rombongan, petugas sektor, dan layanan ibadah,” ujarnya.

Saat jemaah disabilitas melaksanakan ibadah haji, ada petugas haji yang mendampingi. Hafidah menambahkan, jemaah disabilitas membutuhkan pendampingan dalam beribadah haji, tetapi relatif mandiri saat beraktivitas sehari-hari. Sajeriah, misalnya, tidak perlu mengonsumsi obat tertentu.

Jemaah lanjut usia dan disabilitas mendapat perhatian khusus dalam pelaksanaan haji tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi sesuai dengan taglineHaji Ramah Lansia dan Disabilitas”. Beberapa fasilitas publik disediakan dengan konsep ramah lansia dan disabilitas.

Sebagai contoh, Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) melayani transportasi bagi jemaah haji Indonesia dengan bus shalawat yang beroperasi selama 24 jam setiap hari. Untuk jemaah lansia dan disabilitas, tersedia beberapa bus shalawat khusus dengan deck rendah.

Menurut Kepala Seksi Lansia, Disabilitas, serta Penanganan Krisis dan Pertolongan Pertama pada Jemaah (PKP3JH) Daerah Kerja Mekkah Agus Pribowo, pelayanan jemaah haji Indonesia menerapkan standar ramah lansia dan disabilitas, termasuk dalam hal akomodasi dan transportasi.

Para pengelola hotel tempat menginap jemaah haji Indonesia diminta menerapkan standar tersebut. Selain menyediakan kursi roda dan jalur khusus kursi roda, jemaah lansia dan disabilitas ditempatkan di dekat lift untuk memudahkan mobilitasnya.

Petugas penyelenggara haji Indonesia juga memfasilitasi layanan pendorong kursi roda resmi bagi jemaah lansia dan disabilitas dengan tarif 250 riyal atau setara dengan Rp 1,1 juta untuk menunaikan ibadah haji dari umrah wajib hingga ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.

Bagi jemaah lansia dan disabilitas yang tidak mandiri disediakan bus khusus ataupun layanan safari wukuf maupun hotel transit jika tidak memungkinkan menginap di tenda. Dengan demikian, para anggota jemaah berkebutuhan khusus tetap bisa menuntaskan rangkaian ibadah haji.

Baca juga: Layanan Jemaah Haji Mulai Terkonsentrasi di Mekkah

Pelayanan jemaah haji disabilitas secara optimal menjadi tantangan dalam penyelenggaraan haji. Layanan yang diberikan mesti melindungi jemaah berkebutuhan khusus dari ancaman kesehatan dan menjamin hak-hak jemaah disabilitas untuk menuntaskan rangkaian ibadah haji.