Perubahan iklim telah berdampak pada banyak aspek. Butuh komitmen semua pihak untuk memitigasinya.
1. Apa yang terjadi dengan Bumi kita?
2. Apakah perubahan iklim itu nyata?
3. Apa saja dampak perubahan iklim yang kita rasakan?
4. Siapa yang paling terdampak perubahan iklim?
Dunia sedang tidak baik-baik saja. Bumi semakin panas, bencana alam semakin sering terjadi. Aksi nyata untuk Bumi harus terus diupayakan oleh sejumlah pihak, mulai dari individu hingga level negara, bahkan antarnegara.
Emisi gas rumah kaca yang terus meningkat semakin mempercepat laju pemanasan global. Data terbaru menunjukkan, suhu Bumi telah bertambah 0,26 derajat celsius dalam satu dekade terakhir. Bahan bakar fosil menyumbang sekitar 70 persen dari seluruh emisi gas rumah kaca, disusul produksi semen, pertanian, dan penggundulan hutan.
Baca juga: Suhu Bumi Bertambah 0,26 Derajat Celsius dalam Satu Dekade, La Nina Tidak Bisa Lagi Mendinginkan
Kondisi terbaru pemanasan global ini disampaikan dalam laporan tahunan kedua Indikator Perubahan Iklim Global. Laporan yang ditulis lebih dari 50 ilmuwan ini diterbitkan di jurnal Earth System Science Data pada Rabu (5/6/2024).
Bagi sebagian orang, perubahan iklim tidak nyata terjadi. Namun, bagi mereka yang sepenuhnya sadar dengan kondisi lingkungan yang berubah, perubahan iklim sedang terjadi dan dampaknya sudah banyak dirasakan.
Bencana hidrometeorologi yang kian kerap terjadi, produktivitas pangan yang merosot, dan suhu Bumi yang semakin panas hanya beberapa contoh.
Baca juga: Dampak Nyata Pemanasan Global
Baca juga: Dampak Iklim Ekstrem Sangat Nyata
Perubahan iklim berdampak luas pada Bumi dan kehidupan di dalamnya. Dampak tersebut bisa kita rasakan dalam segala aspek, antara lain lingkungan, kebencanaan, pangan, kesehatan, bahkan ekonomi.
Dalam 25 tahun ke depan atau pada 2049, dampak kerusakan akibat krisis iklim diprediksi akan memangkas 19 persen pendapatan dunia. Hal ini didorong oleh biaya kerusakan akibat perubahan iklim yang naik hingga enam kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan dana yang dibutuhkan untuk membatasi pemanasan global.
Dalam jurnal ilmiah berjudul ”Komitmen Ekonomi terhadap Perubahan Iklim” yang dibuat tim peneliti dari Potsdam Institute for Climate Impact Research, Jerman, tertulis bahwa pendapatan sejumlah negara dunia akan terpangkas akibat kerusakan infrastruktur yang dipicu curah hujan tinggi, kenaikan suhu, dan cuaca ekstrem.
Baca juga: Perubahan Iklim Bisa Pangkas Seperlima Pendapatan Dunia
Berdasarkan kalkulasi dalam jurnal tersebut, dampak kerusakan akibat krisis iklim membuat dunia rata-rata mengalami kerugian hingga 38 triliun dollar AS atau setara Rp 614.000 triliun per tahun pada 2049. Adapun menurut Bank Dunia, produk domestik bruto (PDB) global dapat melampaui 200 triliun pada 2050 jika pertumbuhan ekonomi tidak terhambat perubahan iklim.
Terjangan cuaca ekstrem akibat degradasi lingkungan juga menjadi ancaman serius perekonomian global sepanjang tahun 2024. Peningkatan suhu global memicu anomali iklim dapat mengganggu aktivitas ekonomi.
Laporan Risiko Global 2024 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF), Rabu (10/1/2024), telah memetakan risiko terkini bagi dunia dalam berbagai aspek. Cuaca ekstrem yang dampaknya telah menekan perekonomian global sejak tahun lalu dinilai masih akan menjadi risiko tertinggi pada 2024.
Analisis data di 191 negara menemukan, dampak perubahan iklim dalam kurun 1940-2020 telah mengurangi rata-rata umur manusia selama enam bulan. Riset serupa pernah dilakukan di Berau, Kalimantan Timur, yang menunjukkan, peningkatan suhu hingga 0,95 derajat celsius dalam 16 tahun di kawasan ini telah meningkatkan 7,3-8,5 persen kematian dari semua penyebab, atau 101-118 tambahan kematian per tahun.
Penelitian terbaru yang diterbitkan di jurnal akses terbuka PLOS Climate pada pada Kamis (18/1/2024) ini berupaya mengungkap hubungan langsung antara perubahan iklim dan angka harapan hidup. Laporan ditulis oleh Amit Roy dari The New School for Social Research, New York.
Baca juga: Dampak Perubahan Iklim Mengurangi Angka Harapan Hidup
Temperatur yang lebih tinggi dapat memengaruhi harapan hidup secara positif dengan mengurangi angka kematian akibat cuaca dingin selama musim dingin di negara-negara ekstrem dingin. Selain itu, di beberapa wilayah pertanian, suhu yang lebih tinggi dan musim tanam yang lebih panjang dapat meningkatkan produktivitas pertanian sehingga meningkatkan ketahanan pangan, mengurangi malnutrisi, dan memberikan dampak positif terhadap kesehatan masyarakat.
Namun, di banyak daerah lain, terutama negara-negara tropis, peningkatan suhu dapat meningkatkan risiko kesehatan karena kondisi sebelumnya yang sudah panas. Dampak suhu yang lebih tinggi terhadap kesehatan tidak seragam dan dapat bervariasi, selain berdasarkan wilayah geografis, faktor sosial ekonomi, dan status kesehatan individu. Populasi yang rentan, seperti orang lanjut usia, anak-anak, dan mereka yang memiliki sumber daya terbatas, sering kali terkena dampak yang lebih parah akibat cuaca panas ekstrem.
Baca juga: Penyakit akibat Perubahan Iklim di Depan Mata
Baca juga: Kasus Dengue Meningkat akibat Fenomena El Nino
Anomali iklim berimbas pada beratnya beban warga miskin memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pengeluaran warga miskin desa atau kota rata-rata naik 82 persen pada 2030 hingga 578 persen pada 2045.
Baca juga: Iklim Ekstrem Bebani Warga Miskin Lima Kali Lipat
Selain warga miskin, panas yang terlalu terik karena kenaikan suhu yang mencapai 0,95 derajat celsius dalam 16 tahun terakhir juga membuat para petani sayur di Kampung Baru, Kecamatan Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, tidak sanggup lagi bekerja pada siang hari. Mereka mengganti jam kerja pada pagi dan sore hingga malam hari.
”Sekarang Berau terlalu panas. Begitu matahari mulai naik, biasanya sudah tak sanggup lagi berada di ladang. Panasnya menyengat. Padahal, sepuluh tahun lalu rasanya belum sepanas ini,” kata Mardiono (54), petani sayur dari Kampung Baru, anggota Kelompok Tani Kembang Bersama, Sabtu (3/6/2023).
Baca juga: Berau Memanas, Kematian Meningkat dan Petani Bekerja pada Malam Hari
Suhu yang memanas dan mencapai rekor terpanas dalam setahun terakhir juga menjadi tantangan besar bagi petani di sejumlah sentra produksi padi di Pulau Jawa. Selain lebih banyak beristirahat karena gampang lelah, panas yang menyengat juga meningkatkan risiko kesehatan di kalangan petani.
Para petani yang ditemui di sejumlah sentra produksi padi di Subang dan Indramayu, Jawa Barat, hingga Tegal dan Klaten, Jawa Tengah, pada 12-15 Juni 2024 mengeluhkan suhu yang terasa semakin panas dalam beberapa tahun terakhir.
”Tahun-tahun ini memang terasa sekali panasnya. Terutama tahun 2023, itu terasa sekali panasnya,” kata Tarsono (38), petani padi dari Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu.
Baca juga: Bumi Kian Panas, Petani Tertekan Fisik dan Mental
Untuk menyiasati suhu panas ini, menurut Tarsono, para petani di Indramayu saat ini mengubah jam kerja. Mereka datang ke sawah lebih dini, biasanya sekitar pukul 06.00, dan pulang ke rumah maksimal pukul 11.00. Para petani biasa kembali ke sawah setelah pukul 15.00.
Selain itu, para petani juga butuh lebih banyak istirahat. ”Kalau dulu kerja setengah hari istirahat sekali, sekarang bisa dua sampai tiga kali,” lanjutnya.