DPR menyetujui RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan disahkan menjadi undang-undang.

 

Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR

JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (4/6/2024), menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan untuk disahkan menjadi undang-undang. UU tersebut diharapkan bisa menyelesaikan masalah ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan.

Persetujuan DPR atas pengesahan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (RUU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan) dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani, di Ruang Sidang Paripurna DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

 

Rapat Paripurna DPR tersebut diawali dengan Laporan Pimpinan Komisi VIII DPR mengenai pembahasan RUU KIA Pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan yang disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi VIII Diah Pitaloka.

Rapat Paripurna DPR mendengarkan Pendapat Akhir Presiden atas RUU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan yang disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati.KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR

Rapat Paripurna DPR mendengarkan Pendapat Akhir Presiden atas RUU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan yang disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati.

RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan merupakan inisiatif DPR yang proses legislasinya dimulai sejak September 2022. Selain membahas RUU tersebut dengan pemerintah, Komisi VIII DPR juga mendengarkan saran dan masukan dari berbagai pihak.

Baca juga: Selain Cuti Melahirkan 6 Bulan bagi Ibu Pekerja, Ada Apa Lagi di RUU?

Komisi VIII juga menerima masukan dan kesaksian tentang anak yang telantar, kekurangan pengasuhan, ibu tunggal yang menanggung anak yang terimpit antara bekerja dan mengasuh anak, keluarga yang menghadapi keterbatasan akses dan layanan kesehatan, dan sebagainya.

”Masukan tersebut membuka mata kami bahwa kesejahteraan ibu dan anak penting untuk dituangkan menjadi produk UU dan melahirkan generasi baru yang semakin berkualitas bagi Indonesia,” ujar Diah.

DPR, Selasa (4/6/2024), menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan untuk disahkan menjadi undang-undang, dalam Rapat Paripurna DPR di Jakarta, Selasa (4/6/2024). KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR

DPR, Selasa (4/6/2024), menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan untuk disahkan menjadi undang-undang, dalam Rapat Paripurna DPR di Jakarta, Selasa (4/6/2024).

Awalnya, RUU mengatur kesejahteraan ibu dan anak secara umum. Namun, akhirnya disepakati bahwa fokus RUU tersebut adalah mengatur kesejahteraan ibu dan anak pada fase 1.000 hari pertama kehidupan, yaitu kehidupan anak sejak janin dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun.

Perlu komitmen kuat

Sebelum Pengambilan Keputusan di Tingkat II, Rapat Paripurna DPR tersebut mendengarkan Pendapat Akhir Presiden atas RUU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan yang disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati.

”Kita semua memiliki harapan besar ibu dan anak pada fase 1.000 hari pertama kehidupan dapat hidup tenteram, nyaman apa pun keadaannya. Untuk itu, diperlukan komitmen kuat menyejahterakan ibu dan anak dengan menjamin pemenuhan hak-haknya. Pemerintah wajib memastikan ibu dan anak terlayani maksimal,” tutur Bintang.

Rapat Paripurna DPR mendengarkan Pendapat Akhir Presiden atas RUU KIA Pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan yang disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati. KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR

Rapat Paripurna DPR mendengarkan Pendapat Akhir Presiden atas RUU KIA Pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan yang disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati.

Bintang menegaskan, UU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak sehingga sumber daya manusia dan generasi penerus bangsa yang unggul dapat kita diwujudkan bersama.

Fakta dan data memperlihatkan, ibu dan anak masih bergulat menggapai kesejahteraan. Tingginya kematian ibu melahirkan, kematian bayi, dan tengkes merupakan persoalan besar hingga saat ini. Sementara berbagai kebijakan kesejahteraan ibu dan anak masih tersebar di berbagai peraturan dan belum mengakomodasi dinamika kebutuhan hukum masyarakat.

”Kita perlu menata pelaksanaan kesejahteraan ibu dan anak pada fase 1.000 hari pertama kehidupan secara lebih komprehensif, terukur, terpantau, dan terencana dengan baik,” ujar Bintang.

Baca juga: Perempuan dengan Kehamilan Tak Diinginkan Perlu Perhatian Khusus

RUU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan mengatur sejumlah hal yang terkait kesejahteraan ibu dan anak, termasuk mengatur cuti ibu dan ayah (suami). RUU tersebut mengatur cuti melahirkan bagi ibu bekerja, yaitu paling singkat 3 (tiga) bulan pertama dan paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus.

Selain itu, ibu bekerja yang menggunakan hak cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dan berhak mendapat upah penuh selama 3 (tiga) bulan pertama dan bulan keempat serta 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan keenam.

Selain cuti ibu, RUU tersebut juga menetapkan kewajiban suami mendampingi istri selama masa persalinan. Untuk itu, suami berhak cuti selama dua hari dan dapat diberikan cuti tambahan paling lama tiga hari berikutnya atau sesuai kesepakatan atau sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja/pengusaha. Bagi suami yang istrinya mengalami keguguran berhak cuti selama dua hari.

”Secara substansial, RUU ini telah menjamin hak-hak anak pada fase 1.000 hari pertama kehidupan, sekaligus menetapkan kewajiban ayah, ibu, dan keluarga. Sementara itu, ibu juga memerlukan ruang agar tetap berdaya selama anak dalam fase 1.000 hari pertama kehidupan,” ujar Menteri PPPA.

Ibu bekerja yang menggunakan hak cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dan berhak mendapat upah penuh selama 3 (tiga) bulan pertama dan bulan keempat serta 75 persen dari upah untuk bulan kelima dan keenam.

Untuk itulah, suami wajib memastikan istri dan anak mendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi, termasuk meringankan beban ibu, serta menciptakan lingkungan yang ramah ibu dan anak, baik di keluarga, di tempat kerja, maupun di ruang publik.

UU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan juga memberikan jaminan pada semua ibu dalam keadaan apa pun, termasuk ibu dengan kerentanan khusus, antara lain ibu berhadapan dengan hukum, ibu di lembaga pemasyarakatan, ibu di penampungan, serta ibu dalam situasi konflik dan bencana.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah KOMPAS/ADITYA DIVERANTA

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah

Perlu sosialisasi

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah mengapresiasi DPR dan pemerintah yang menghadirkan UU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan.

”Karena kami melihat tidak semua anak-anak lahir dari keluarga yang wajar. Banyak sekali catatan kami, mereka yang tidak memiliki ayah dan ibu, dari keluarga yang kondisi berbeda dengan keluarga lain,” kata Ai.

Karena itu, setelah disetujui DPR dan diundangkan nanti, KPAI berharap UU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan segera disosialisasikan agar masyarakat mengetahui, terutama hal-hal yang diatur dalam UU tersebut.

Sementara itu, persetujuan DPR atas RUU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan untuk disahkan menjadi UU disambut kecewa oleh komunitas perempuan pekerja rumah tangga (PRT). Pasalnya, DPR dinilai mengabaikan RUU Perlindungan PRT (PPRT) yang juga menyangkut nasib perempuan PRT.

”RUU PPPRT sudah hampir 20 tahun, tapi belum juga disahkan DPR. Jadi mengesahkan RUU KIA, sementara nasib lebih dari 5 juta PRT terus ditawan, itu adalah perbuatan melawan hukum,” ujar Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi PRT (JALA PRT).