Pemprov Bangka Belitung mengadu soal sulitnya mendapatkan izin tambang timah rakyat ke Komisi VII DPR.
JAKARTA, KOMPAS — Perekonomian di Kepulauan Provinsi Bangka Belitung, yang bergantung pada timah, terdampak sulitnya penerbitan izin pertambangan rakyat. Padahal, sudah ada pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah provinsi.
Hal itu menjadi diskusi dalam rapat dengar pendapat menghadirkan Pelaksana Tugas Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Suswantono di Komisi VII DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (26/3/2024). Hadir pula dalam rapat itu antara lain Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung (Babel) Safrizal ZA dan Direktur Utama PT Timah Tbk Ahmad Dani Virsal.
Perekonomian di Kepulauan Provinsi Bangka Belitung, yang bergantung pada timah, terdampak sulitnya penerbitan izin pertambangan rakyat.
Safrizal mengatakan, Kementerian ESDM sudah menetapkan sejumlah wilayah pertambangan rakyat (WPR). Namun, ada sejumlah hal yang masih menjadi catatan. Misalnya terkait dokumen pendukung pengelolaan WPR serta dokumen lingkungan. Aturan-aturan berkait dengan itu masih perlu diperjelas.
Safrizal menilai hal-hal ini mendesak diselesaikan. Sebab, dengan tidak diterbitkannya izin pertambangan rakyat (IPR), masyarakat Babel terdampak. ”Kami inginnya cepat karena melihat penurunan ekspor yang luar biasa tajam. Bahkan, di Januari (2024), itu (ekspor timah) nol. Perekonomian masyarakat terkoreksi sangat dalam. Kami perlu diberi penguatan dalam menerbitkan peraturan gubernur tentang penerbitan IPR ini,” ujarnya.
Kendala yang masih ada, menurut Safrizal, misalnya, adalah soal bentuk dokumen lingkungan serta siapa yang memutuskan bentuknya. Begitu juga tentang substansi reklamasi dan pascatambang. Saat ini, 167.000 hektar lahan kritis di Babel. Sebanyak 60 persen di antaranya berada di luar izin usaha pertambangan (IUP). Sisanya, 40 persen, di dalam IUP.
Guna menutup lahan kritis dibutuhkan biaya cukup besar, terutama yang tidak terdapat jaminan reklamasi. ”Jadi, untuk IPR ini seperti apa jaminan reklamasinya? Walau tingkat desa, harus ada regulasi yang harus ditetapkan,” kata Safrizal.
Pemerintah provinsi, ia melanjutkan, memang mendapat delegasi untuk menerbitkan IPR, tetapi bukan untuk membuat peraturan. Oleh karena itu, segalanya perlu diperjelas dan dipercepat agar berbagai kendala dapat diatasi sehingga masyarakat tidak menjadi korban dan perekonomian bisa kembali pulih. Ia siap berdiskusi dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Minerba Kementerian ESDM untuk menyelesaikan persoalan itu.
Baca juga: Tak Dipulihkan, Tambang Timah Rugikan Negara Rp 271 Triliun
Bupati Belitung Timur Burhanudin menyatakan, setelah ada penetapan WPR, langkah selanjutnya adalah terkait IPR. ”Ini yang sampai hari ini tidak jelas. Mengambang dan menimbulkan implikasi hukum dan rakyat tetap akan menjadi korban. Kondisi saat ini, timah masih menjadi primadona kehidupan masyarakat di Belitung Timur. Untuk jangka pendek, (IPR) harus diberikan kepada kami di Babel,” katanya.
Sementara itu, Bupati Bangka Tengah Algafry Rahman mengatakan, tata kelola dan administrasi penerbitan IPR perlu dibenahi. ”Jangankan menjalankan IPR, programnya saja (Kementerian ESDM) tak punya, padahal ada di undang-undang. Ini arahnya ke mana? Masyarakat kami perlu regulasi jelas tentang tata kelola timah,” katanya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Ponton, kapal penyedot pasir timah, sedang beroperasi di Pantai Rebo, Sungai Liat, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung, Rabu (20/7/2022). Lumpur sisa tambang tersebut dikeluhkan nelayan, karena membuat pantai cepat dangkal dan mengandaskan perahu yang hendak berlabuh.
Bambang Suswantono menjelaskan, Menteri ESDM telah menandatangani surat keputusan (SK) tentang wilayah pertambangan per provinsi di seluruh Indonesia pada April 2022. Di Provinsi Babel telah ditetapkan 132 WPR dengan total luas 8.563,35 hektar.
Kementerian ESDM juga telah menyusun dokumen pengelolaan WPR. Di Babel terdapat 36 blok yang berada di tiga kabupaten.
Masalah tata kelola timah di Babel, Bambang menekankan, perlu diperbaiki. Hal ini termasuk dengan cara duduk bersama antara Ditjen Minerba dan para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah.
Baca juga: Babak Baru Kasus Timah, Kejaksaan Tetapkan Dua Tersangka
Oleh sebab itu, perlu ada penyelesaian, termasuk mencari di mana akar masalahnya. WPR sudah diselesaikan setahun lalu oleh Dirjen Minerba sebelumnya, tetapi hingga kini belum terlaksana di lapangan.
”Tata kelola pertimahan perlu kita perbaiki di sini, dengan tidak mengesampingkan aspek legalitas, yang harus tetap ada,” katanya.
PUSPENKUM KEJAKSAAN AGUNG
Hasil pemetaan dan analisis tambang timah ilegal yang dilakukan penyidik Kejaksaan Agung.
Memimpin rapat, Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi PDI-P, Dony Maryadi Oekon, menilai, ada miskomunikasi antara Kementerian ESDM dan para pemangku kepentingan terkait IPR, termasuk pemerintah daerah. Untuk itu, sosialisasi terkait IPR seharusnya dipastikan sampai ke masyarakat hingga tingkat terbawah sehingga tak menghambat pelaksanaan.
Dalam kesimpulan rapat, Komisi VII DPR meminta adanya koordinasi sekaligus penyelesaian masalah terkait belum terbitnya IPR di Babel. ”Komisi VII juga meminta Plt Dirjen Minerba Kementerian ESDM untuk membina pemda, khususnya Provinsi Babel, agar proses pemberian IPR dipercepat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” ucap Dony.
Komisi VII DPR RI juga mendesak Plt Dirjen Minerba Kementerian ESDM untuk menerbitkan petunjuk teknis penerbitan IPR dan menyosialisasikannya.
Komisi VII DPR RI juga mendesak Plt Dirjen Minerba Kementerian ESDM untuk menerbitkan petunjuk teknis penerbitan IPR dan menyosialisasikannya. Selain itu, agar ada perbaikan tata kelola dan tata niaga timah di Babel, agar kegiatan pertambangan timah bisa berjalan serta berkontribusi bagi perekonomian daerah.