Dengan anggaran besar di Ditjen Migas, diharapkan produksi minyak bumi meningkat dan infrastruktur gas jadi lebih masif.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat RI menyepakati pagu anggaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk Tahun Anggaran 2025 sebesar Rp 9,38 triliun. Angka tersebut nantinya akan difinalkan dalam rapat kerja dengan Menteri ESDM. Adapun sebagian besar anggaran tersebut dialokasikan untuk Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, yakni Rp 4,8 triliun, termasuk untuk pengembangan infrastruktur migas.
Di kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (13/6/2024), Komisi VII DPR menggelar rapat dengar pendapat dengan eselon I Kementerian ESDM. Rapat yang berlangsung tertutup itu membahas asumsi dasar sektor ESDM dalam RAPBN 2025 serta Rencana Kerja & Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L) Kementerian ESDM. Sebelumnya, usulan terkait anggaran itu sudah disampaikan Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam rapat kerja di Komisi VII DPR, Rabu (5/6/2024).
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno, Kamis, mengatakan, dalam pagu anggaran Kementerian ESDM, distribusi anggaran terbesar pada Ditjen Migas lebih dari Rp 4 triliun. ”Fokus kami lifting (minyak bumi) bisa tercapai. Kami juga ingin gas (bumi) dikembangkan lebih lanjut. (Untuk pembangunan) pipa gas Cirebon-Semarang dan Dumai Sei Mangkei agar bisa dianggarkan,” katanya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, usulan pagu anggaran pada 2025 terdistribusi, antara lain, untuk Sekretariat Jenderal sebesar Rp 565,73 miliar, Inspektorat Jenderal Rp 140,60 miliar, Ditjen Migas Rp 4.828,39 miliar, Ditjen Ketenagalistrikan Rp 491,53 miliar, Ditjen Mineral dan Batubara Rp 742,13 miliar, dan Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Rp 555,98 miliar. Angka-angka itu disampaikan dalam rapat kerja Menteri ESDM dan Komisi VII DPR, pekan lalu.
”Rp 600-an (miliar),” kata Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi saat dikonfirmasi mengenai anggaran untuk Ditjen EBTKE pada 2025, Kamis.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pekerja mempersiapkan pipa saluran gas untuk ditanam di kawasan Pondok Kacang, Kecamatan Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (17/10/2023). Pemerintah gencar memperluas jaringan gas rumah tangga untuk menekan beban fiskal dari subsidi LPG 3 kilogram yang meningkat.
Baca juga: Mangkrak 17 Tahun, Proyek Pipa Gas Cirebon-Semarang Mulai Operasi Separuh Jalan
Eddy menambahkan, pihaknya sebenarnya berharap pagu anggaran untuk Ditjen EBTKE lebih besar, sebagai bentuk keberpihakan pada program transisi energi. Namun, diakuinya, ruang fiskal terbatas serta tidak bisa bermanuver sehingga pagu anggaran tidak bisa ditambahkan.
”Namun, bukan berarti dalam penerapannya (kurang) karena yang menjalankan transisi energi ini pelaku usahanya, dalam hal ini PLN atau Pertamina. Bukan berarti mereka tidak bisa mengalokasikan anggaran lebih besar untuk melakukan transisi energi ini,” lanjut Eddy.
Infrastruktur energi, termasuk pipanisasi gas, akan menentukan melimpahnya gas bumi Indonesia bisa termanfaatkan atau tidak. Setelah terkatung-katung selama belasan tahun, pembangunan pipa transmisi gas Cirebon-Semarang (Cisem) Tahap I, ruas Semarang-Batang, akhirnya tersambung pada 2023. Berikutnya, yakni pelaksanaan pembangunan Cisem Tahap II, ruas Batang-Cirebon.
”(Cisem Tahap II) awal Konstruksi pada Juli 2024 ini dan akan seleaai dibangun akhir tahun 2025. (Kemudian) siap beroperasi di 2026,” kata Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas Ditjen Migas Kementerian ESDM Laode Sulaeman, Kamis.
Pemerintah juga berencana membangun transmisi gas Dumai-Sei Mangkei (Dusem) di Sumatera yang ditargetkan rampung tahun 2027. Baik pembangunan Cisem maupun Dusem didanai oleh APBN. Apabila pipa Cisem dan Dusem tersambung, Aceh hingga Jawa Timur dipastikan tersambung pipa gas sehingga gas bumi yang melimpah di Indonesia dapat lebih termanfaatkan.
Asumsi dasar sektor ESDM pada RAPBN 2025 juga akan disepakati saat Rapat Kerja Komisi VII DPR yang dijadwalkan pada Rabu (19/6/2024). ”(Angkanya) sudah ada, tetapi belum bisa saya sampaikan,” kata Eddy Soeparno.
Sementara itu, terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET), yang tidak kunjung tuntas, Eddy menyebut, pihaknya saat ini masih fokus pada penyelesaian anggaran untuk tahun 2025. Namun, di akhir Juni 2024, akan dialokasikan waktu untuk kembali membahas RUU itu. Terlebih, tinggal sedikit isu yang masih harus dibicarakan.
”Tinggal dua isu yang masih tersisa. TKDN (tingkat komponen dalam negeri pada infrastruktur energi terbarukan) sudah hampir selesai dan power wheeling (pengunaan bersama jaringan listrik). Kalau itu sudah selesai, saya kira bisa langsung dibawa ke rapat paripurna. Kami targetkan selesai di periode ini. Setidaknya, sebelum masa jabatan anggota DPR 2019-2024 selesai, (RUU) itu sudah diketok,” ucap Eddy.
Baca juga: Kementerian ESDM Buka Lagi Opsi Kolaborasi Jaringan Transmisi
Mengenai power wheeling, Eddy menilai penting untuk tetap dimasukkan dalam RUU EBET agar energi terbarukan dapat semakin tumbuh dan berkembang. ”Tapi, bisa kita batasi. Misalnya hanya di daerah-daerah di mana jaringan PLN belum maksimal atau terbatas untuk kegiatan energi terbarukan. Di luar itu, mungkin tidak bisa,” lanjutnya.
Power wheeling ialah penggunaan bersama jaringan transmisi. Dengan skema tersebut, transfer energi listrik bisa langsung dari sumber energi terbarukan non-PLN ke perusahaan yang menggunakannya. Namun, tetap memakai jaringan transmisi PLN. Nantinya, akan ada pembayaran biaya sewa kepada PLN sebagai pemilik jaringan transmisi itu.
Selama ini ada perbedaan pandangan mengenai skema itu. Di satu sisi, skema power wheeling dapat mendorong percepatan capaian energi terbarukan yang saat ini masih jauh dari target. Pengembang energi terbarukan bisa langsung bertransaksi dengan industri penyerap. Namun, di sisi lain berpotensi membebani negara. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) juga sedang menghadapi kondisi kelebihan pasokan listrik.