KOMPAS/HERYUNANTO
Ilustrasi
”Tanpa lembaga pengawas yang kuat, impunitas akan menjadi fondasi utama dibangunnya sistem korupsi. Dan jika impunitas tidak dihilangkan, semua upaya untuk mengakhiri korupsi akan sia-sia.”
Rigoberta Menchú, penerima Nobel Perdamaian, 1992
Setiap ada pergantian kepemimpinan nasional, terutama pergantian presiden, kita umumnya berharap adanya pembaruan nyata untuk mewujudkan kepemerintahan yang lebih baik. Dalam hal ini, tentu saja, apa yang sudah baik bisa tetap dipertahankan agar bisa menjadi lebih baik lagi.
Akan tetapi, dari mana datangnya perbaikan yang diharapkan dan untuk siapa perbaikan yang diharapkan itu tampaknya akan selalu menjadi pertanyaan sekaligus keraguan untuk mendapat jawaban positif. Apalagi, perbaikan yang dimaksud adalah untuk mengurangi dampak buruk terjadinya bencana akibat kerusakan lingkungan hidup atau bencana lingkungan.
Harapannya, perbaikan tersebut tidak hanya tertuang dalam dokumen kebijakan negara, tetapi juga mampu menghindari realitas politik yang sekarang ini masih cenderung mengarah pada kepentingan antroposentrisme jangka pendek.
Baca juga: Korupsi Timah dan Momentum Menyelamatkan Keberlanjutan Hidup di Bangka-Belitung
Baca juga: Kerusakan Lingkungan Tambang Timah Senilai Rp 271 Triliun Haruskah Diganti?
Meningkatnya jumlah bencana selama ini tampak perlu menjadi prioritas pencegahan.
Hal tersebut dapat dikaitkan dengan peran sektor atau lembaga negara. Akumulasi aktivitas sektor yang berdampak pada terjadinya bencana tampak melampaui kapasitas pelaksanaan kebijakan setiap sektor untuk mengendalikan dampak itu.
Dan, karena instrumen negara hanya merupakan penjumlahan atau akumulasi peran sektor, pencegahan terjadinya bencana menjadi barang publik yang berada di luar semua sektor. Di sini tampak terdapat kegagalan institusional (institutional failure) ketika tanggung jawab bersama hanya menjadi kata-kata imbauan.
Untuk itu, negara harus mampu memecahkan masalah kolektif dua tingkat melalui lembaga-lembaga negara yang dibentuk. Kerusakan sumber daya alam dan dampak negatifnya yang begitu besar akibat perilaku para pemanfaat di lapangan tidak dapat mengendalikan diri ketika pihak lain juga ikut memanfaatkan.
Oleh karena itu, mereka terdorong untuk tidak menaati peraturan yang mengatur pemanfaatan sumber daya alam agar fungsinya berkelanjutan.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Kondisi dampak kerusakan lingkungan akibat pertambangan timah tidak bertanggung jawab yang difoto dari pesawat rute Palembang, Sumatera Selatan-Pangkal Pinang, Bangka-Belitung, Selasa (23/4/2024).
Kenyataan seperti itu biasanya sulit diterima, kecuali ditunjukkan mengapa, misalnya, lebih dari 35 juta hektar hutan alam produksi telah rusak dan ditinggal pengusahanya.
Kawasan lindung sebagai basis perlindungan alam juga terus terancam oleh penggunaan lain. Secara kumulatif kerusakan kawasan lindung beserta faktor iklim telah diketahui meningkatkan jumlah bencana di seluruh Tanah Air.
Jumlah kejadian bencana, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada 2009 sebanyak 1.246, pada 2018 terdapat 2.575, pada 2022 terdapat 3.544, dan naik menjadi 5.400 pada 2023. Di awal tahun ini sampai Maret 2024 sudah terdapat 588 bencana dengan 118 orang meninggal serta 3.042.425 orang mengungsi dan menderita.
Walaupun kini bencana itu menjadi fenomena global, bencana yang dicatat BNPB itu mempunyai kaitan erat dengan dampak negatif kerja sektor, terutama karena dampak kerusakan akibat eksploitasi sumber daya alam belum dapat dikendalikan.
Bencana itu menjadi wujud dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan oleh semua sektor akibat beragam penyimpangan yang terjadi dalam skala luas. Korupsi menjadi akar masalahnya.
Secara kumulatif, kerusakan kawasan lindung beserta faktor iklim telah diketahui meningkatkan jumlah bencana di seluruh Tanah Air.
Korupsi oleh atau yang dipandu oleh penyelenggara negara telah membuat penyebab bencana dan kerusakan alam lepas dari tanggung jawab lembaga negara itu. Ribuan data korupsi sumber daya alam yang dihimpun oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia juga memberi kecenderungan peningkatan produksi sumber daya alam secara ilegal itu.
Dalam kasus korupsi oleh bupati Pelalawan, Riau, yang diteliti Jacui Baker pada 2020, terlihat kuatnya jaringan korupsi yang menopangnya.
Dari 201 simpul yang ditemukan sebagai penyokong korupsi itu, jumlah yang terbesar hingga terkecil yaitu para pelaku dari industri bubur kertas (pulp) dan kertas, instansi kehutanan daerah, jaringan kepercayaan bupati, sektor swasta non-pulp, instansi kehutanan provinsi, serta pegawai pemerintah.
Dengan menggunakan analisis jaringan sosial, Baker menyoroti bagaimana jaringan korupsi bekerja serta pola dan peran pelaku yang tersembunyi di baliknya. Dalam skema itu, pengusaha kayu pulp mengembangkan pemasok kayu yang terintegrasi secara vertikal melalui perusahaan-perusahaan cangkang independen.
Dalam kasus ini, jaringan korupsi tidak terpisah dari dinamika ekonomi politik berbagai sektor ataupun aktor tempat mereka beroperasi.
Dalam operasi korupsi itu, pelaku dari pemerintah memegang kendali monopoli atas sumber daya utama, tetapi jaringan secara keseluruhan didominasi oleh sektor swasta, yaitu sebanyak 82 simpul. Sayangnya, cara menangani korupsi oleh penegak hukum umumnya hanya menyasar pada pelaku utama korupsi. Sementara berbagai pelaku pendukung aktivitas itu lolos dari penuntutan.
IRMA TAMBUNAN
Kerusakan lingkungan akibat tambang emas liar di Desa Lubuk Bedorong, Limun, Sarolangun, Jambi, Rabu (17/11/2021).
Dengan jaringan tata kelola seperti itu, di Riau terdapat tiga gubernur yang tersangkut korupsi. Seorang di antaranya terkait dengan pengadaan barang dan jasa, sedangkan dua orang lainnya terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam.
Selama periode itu pula tiga kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau, pelaku dan pengganti-penggantinya, terbukti melakukan korupsi.
Iklim penyimpangan kebijakan itu juga ditandai dengan dicabutnya Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2018 mengenai Tata Ruang Provinsi Riau oleh Mahkamah Agung, antara lain, akibat adanya legalitas jutaan kebun sawit dalam wilayah lindung gambut.
Gurita korupsi di Riau itu diperkirakan juga mencakup korupsi yang dilakukan sepuluh bupati dan wali kota dalam periode 11 tahun. Tujuh orang yang terdiri dari para pemimpin daerah dan stafnya telah terbukti melakukan korupsi pengadaan barang dan jasa. Enam orang lainnya terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam secara ilegal.
Dalam korupsi itu, peran pelaku swasta cukup dominan.
Yang terungkap dalam persidangan di pengadilan, antara lain, mereka meminjamkan perusahaan untuk transaksi korupsi, menjalankan permohonan izin fiktif, menjadi perantara dalam pemberian uang suap, dan melakukan pembuatan perusahaan boneka.
Sayangnya, cara menangani korupsi oleh penegak hukum umumnya hanya menyasar pada pelaku utama korupsi.
Selain itu, mengajukan izin bagi perusahaan yang tidak mempunyai kompetensi untuk menjalankannya, mengajukan izin di lokasi yang tidak sesuai dengan ketentuan, mengurus izin fiktif, serta ikut membiayai kegiatan keagamaan (Jikalahari, 2022).
Berbagai risiko pelaku yang melekat dalam transaksi gelap itu dapat membentuk struktur dengan jaringan para pelaku yang sudah mapan.
Hal tersebut berarti jaringan korupsi harus dijalankan melalui struktur peran secara eksklusif. Transaksi ilegal itu bahkan sudah dianggap aset yang menjadi tanggung jawab bisnis yang legal.
Fitur utamanya adalah membatasi aliran dan kebocoran informasi yang dianggap sensitif (Silitonga, dkk. 2023).
Konfigurasi korupsi di Riau tersebut tampak dapat mewakili keterlibatan ragam aktor korupsi sumber daya alam secara nasional. Untuk itu, memberantas korupsi yang berjalan saat ini seharusnya tak seperti hanya mencabut rumput liar yang hanya pada bagian yang terlihat di permukaan tanah. Akan tetapi, juga perlu sampai pada akar yang menggurita di bawah permukaan tanah yang sewaktu-waktu dapat tumbuh dan berkembang. Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat dilihat sebagai bagian dari upaya ini.
IRMA TAMBUNAN
Kebakaran menghanguskan dan mencemari sungai sekitar lokasi tambang minyak ilegal dalam hutan negara yang dikelola PT Agronusa Alam Sejahtera di Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi, Selasa (21/9/2021).
Harapan mewujudkan keadaan lebih baik bagi masyarakat kebanyakan yang memegang norma kebaikan universal —yang biasanya bersifat terbuka—tampak berbeda dengan kelompok kedua yang memegang otoritas jaringan untuk mendapatkan kekayaan negara melalui jalur politik transaksional yang bersifat tertutup.
Ironisnya, kelompok kedua itu—dari fakta yang pernah ditelaah KPK (2014-2016)— dapat membentuk pemerintah bayangan (shadow government) atau kriptokrasi.
Dalam hal ini, kekuasaan politik tidak hanya dimiliki oleh perwakilan yang dipilih sesuai undang-undang, tetapi juga oleh kelompok yang menjalankan kekuasaan di belakangnya. Karena itu, walaupun diketahui, mereka berada di luar pengawasan lembaga-lembaga negara. Jaringan korupsi di Riau yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan hal itu.
Dalam kondisi seperti itu, siapa pemimpin yang sesungguhnya di suatu wilayah administrasi tidak selalu dapat seperti yang seharusnya. Apalagi perubahan juga ditentukan oleh kekuatan aktual dan simbolik serta jarak sosial antara pemimpin yang berubah—misalnya presiden baru—dengan luasnya cakupan wilayah di Indonesia yang harus berubah. Dalam hal ini ada yang menyebut: ”Kepala ular dapat ditinggalkan oleh ekornya”.
Korupsi, khususnya yang terkait dengan kerusakan sumber daya alam dan kejadian bencana, hampir selalu terjadi akibat ditopang oleh suatu jaringan sosial-politik. Jaringan itu sangat luas dan tumpang-tindih dengan jaring-jaring atasan-bawahan di dalam dan lintas lembaga negara.
Fakta seperti itu ikut menjadi penyebab mengapa indeks persepsi korupsi Indonesia hanya 34 dari maksimum 100. Itulah yang menjadi tantangan presiden baru untuk memperkuat kelembagaan pemberantasan korupsi mendatang.
Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University