Riset GQII 2023 yang dirilis Mei 2024 menempatkan Indonesia di peringkat ke-27 dari 185 negara.
Oleh BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Beberapa hari terakhir, pemerhati infrastruktur tanah air dikejutkan dengan kabar sebuah riset yang menyebutkan kualitas infrastruktur Indonesia terbaik di Asia Tenggara. Kabar tersebut mengejutkan karena meskipun terus membangun, kualitas infrastruktur di Indonesia dinilai belum sesuai yang diharapkan.
Berdasarkan riset Global Quality Infrastructure Index (GQII) 2023 yang dirilis Mei 2024, Indonesia menduduki peringkat ke-27 dari 185 negara. Peringkat ini lebih tinggi dibandingkan dengan sesama negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand (28), Singapura (29), Malaysia (33), dan Vietnam (52). Adapun di peringkat pertama ada Jerman yang mengalahkan China di peringkat kedua dan Amerika Serikat (AS) di peringkat ketiga.
GQII merupakan program yang diinisiasi oleh lembaga konsultan independen, Mesopartner dan Analyticar, untuk melakukan riset dan mendiseminasikan data tentang mutu infrastruktur tiap-tiap negara.
Dalam riset ini, ada tiga indikator untuk menilai kualitas infrastruktur, yaitu peringkat metrologi, peringkat standardisasi, dan peringkat akreditasi. Menurut riset ini, tiga aspek ini diteliti dari laboratorium dan lembaga penelitian yang ditunjuk.
Dari aspek metrologi, Indonesia berada di peringkat ke-38. Pada bidang standardisasi, Indonesia berada di posisi ke-37. Adapun pada aspek akreditasi, Indonesia berada di peringkat ke-10.
Menurut riset ini, posisi Indonesia relatif stabil dalam beberapa tahun dalam riset. Pada 2021, Indonesia menduduki peringkat ke-28 dan pada 2020 Indonesia menduduki peringkat ke-26. Adapun pada 2022 riset ini tidak diadakan.
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Laporan Global Quality Infrastructure Index (GQII) 2023 menempatkan Indonesia berada di peringkat teratas dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Sumber: GQII 2023 diolah Badan Standardisasi Nasional (BSN)
Merespons hasil riset ini, Sekretaris Utama Badan Standardisasi Nasional (BSN) Donny Purnomo dalam siaran persnya, Jumat (5/7/2024), menyatakan, pencapaian ini adalah hasil dari upaya kolaboratif untuk membangun Infrastruktur Mutu Nasional.
”Hasil penelitian yang dirilis GQII Program tersebut tentu saja membanggakan. Meski demikian, masih diperlukan upaya yang lebih besar untuk meningkatkan efektivitas peran dan fungsi infrastruktur nasional untuk mewujudkan daya saing produk Indonesia di pasar global,” ujar Donny.
Donny menjelaskan, untuk mengembangkan mutu infrastruktur, BSN terlibat dalam organisasi kerja sama peningkatan infrastruktur mutu global, seperti International Organization for Standardization (ISO), International Electrotechnical Commission (IEC), Codex Alimentarius Commission (CAC), International Accreditation Forum (IAF), International Laboratory Accreditation Cooperation (ILAC), Asia Pacific Accreditation Cooperation (APAC), International Bureau of Weights and Measures (BIPM), Asia Pacific Metrology Programme (APMP), serta Standards and Metrology Institute for Islamic Countries (SMIIC).
Mengherankan
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, terheran-heran dengan hasil riset itu. Sebab, hasil riset itu tidak mencerminkan kondisi riil infrastruktur Indonesia.
”Ini sangat mengherankan. Alat ukurnya apa? Kok bisa peringkat Indonesia lebih baik dari Malaysia dan Singapura? Karena kondisi di lapangan tidak begitu,” ujarnya dihubungi pada Minggu (7/7/2024).
Menurut dia, kualitas infrastruktur Indonesia masih sangat buruk. Ini salah satunya tecermin dalam bentuk terlalu seringnya perawatan hingga ambrolnya jalan tol.
Jalan tol di Indonesia, lanjutnya, dibangun menggunakan jalanan beton bukan aspal. Semestinya beton itu bisa bertahan hingga 30 tahun dan berumur lebih panjang ketimbang aspal yang bertahan 15 tahun. Namun, di lapangan, pekerjaan perbaikan beton jalan tol itu terus berlangsung, paling tidak 3 tahun setelah pembangunan awal.
Contoh nyata lainnya, seperti ambrolnya Jalan Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi pada April lalu. Ini menunjukkan kualitas infrastruktur di Indonesia itu buruk.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Situasi jalan tol yang longsor di Tol Bogor Ciawi Sukabumi (Bocimi) km 64 di Desa Purwasari, Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (4/4/2024).
Menurut dia, jalan tol di Malaysia lebih baik dari Indonesia. Mereka bahkan membuat dua jalan tol berbeda untuk kecepatan di bawah dan dengan di atas 100 kilometer per jam.
Agus menegaskan, untuk meningkatkan kualitas infrastruktur adalah dengan tidak melakukan korupsi. Ketika pembangunan infrastruktur dikorupsi, spesifikasi utama material bahan bangun akan menurun pula kuantitas dan kualitasnya. Dampaknya akan berkurang pula kualitas bangunan yang dibuat.
Selain itu, menurut Agus, adalah jangan memaksakan pembangunan infrastruktur yang bukan pada tempatnya dengan terburu-buru. Misalkan pembangunan jalan tol yang melewati bukit dan lembah perlu dikerjakan dengan hati-hati dan cermat. Jangan asal cepat tetapi sembarangan. Hasilnya, infrastruktur buruk dan malah butuh biaya tambahan lagi untuk memperbaikinya.
”Contohnya sudah banyak betapa buruknya infrastruktur di sini. Kita harus belajar dari kesalahan-kesalahan itu,” ujar Agus.