Pembangunan dan pengembangan transportasi publik mutlak diperlukan Jakarta untuk menjadi kota kelas dunia.

Oleh YULIUS BRAHMANTYA PRIAMBADA

Menginjak usia yang ke-497 tahun, Jakarta kian memantapkan langkah menjadi kota global. Namun, pelepasan status sebagai ibu kota negara mendatangkan tantangan baru untuk mencapai asa itu. Salah satunya mengenai keberlanjutan pembangunan dan pengembangan transportasi publik yang mutlak diperlukan Jakarta untuk menjadi kota kelas dunia.

Warga Jakarta gegap gempita menyambut hari ulang tahun ke-497 kota tercinta yang jatuh pada 22 Juni 2024. Dengan mengusung tema ”Jakarta Kota Global Berjuta Pesona”, kota terbesar republik ini bersiap menghadapi perjalanan untuk menjadi kota yang disegani dunia. Angan besar ini sekaligus menjadi tujuan baru bagi Jakarta yang sudah tidak lagi berstatus sebagai ibu kota negara.

Kendati demikian, langkah Jakarta untuk meraih titel ”kota global” memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Berdasarkan Global Cities Index (GCI) yang dikeluarkan oleh firma konsultan internasional Kearney, peringkat Jakarta sebagai kota global mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2023, Jakarta menempati peringkat ke-74 dari 156 kota yang dinilai. Posisi tersebut merosot lima peringkat dari tahun 2022 dan tujuh peringkat dari tahun 2021.

Indeks Kota Global Jakarta yang Tertinggal

Lebih dari itu, peringkat GCI Jakarta pada tahun 2023 juga menjadi yang terendah selama enam tahun terakhir. Alhasil, Jakarta semakin tertinggal dibandingkan kota-kota global lainnya di kawasan Asia Tenggara, yakni Kuala Lumpur yang berada di urutan ke-74, Manila peringkat ke-70, Bangkok posisi ke-45, dan Singapura di tempat ke-7.

Tak pelak, pembenahan terhadap berbagai sektor wajib dilakukan Jakarta untuk mengatasi ketertinggalan tersebut. Menurut laman resmi Pemerintah DKI Jakarta, terdapat tiga aspek inti dalam rencana pembangunan Jakarta sebagai kota global. Selain kelayakan huni dan lingkungan, aspek lain yang mutlak dikembangkan oleh Jakarta adalah aksesibilitas kota yang berisikan pembangunan transportasi umum dan jaringan jalan.

Transportasi publik di Jakarta memang harus diakui adalah yang terbaik di seluruh Indonesia. Namun, jika dibandingkan dengan kota-kota global lainnya, posisi Jakarta hingga saat ini masih jauh dari kata cukup. Hal ini tecermin dari tiga indeks kota global yang mengukur dimensi aksesibilitas dan transportasi, yakni Cities in Motion Index (CIMI) dari IESE Business School University of Navarra, Spanyol; Global Power City Index (GPCI) dari Institute for Urban Strategies di Mori Memorial Foundation; dan Urban Mobility Readiness Index (UMRI) dari Oliver Wyman Forum dan University of California, Berkeley.

https://cdn-assetd.kompas.id/kQQerIE8zNp2IWVAKnD4qjSirkw=/1024x594/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F06%2F24%2F2f1df45d-8924-4bae-bcee-44f842f94810_png.png

Pada tahun 2024, dimensi mobilitas dan transportasi CIMI Jakarta berada di peringkat ke-177 atau posisi ke-7 paling bawah. Adapun peringkat dimensi aksesibilitas GPCI Jakarta pada tahun 2023 terendah kedua dari 48 kota yang diukur. Sementara UMRI menempatkan Jakarta di posisi ke-49 dari 65 kota. Peringkat Jakarta terkait dimensi ini pun tampak kontras di kalangan kota-kota global ASEAN lainnya, yakni Manila, Bangkok, Ho Chi Minh City, Kuala Lumpur, dan Singapura.

Selain tertinggal dari kota global lain di kawasan, dua indeks tersebut juga sekaligus menunjukkan bahwa aspek transportasi umum dan mobilitas merupakan kelemahan terbesar Jakarta untuk menjadi kota global. Hal ini tampak ketika dimensi mobilitas dan transportasi CIMI Jakarta merupakan yang terendah dibandingkan delapan dimensi lainnya. Sama dengan itu, dimensi aksesibilitas GPCI Jakarta juga menjadi yang terbawah di antara enam dimensi yang dinilai.

Enggan naik kendaraan umum

Rendahnya nilai indeks aspek transportasi publik di Jakarta semakin ditegaskan melalui hasil Survei Komuter Jabodetabek 2023 dari Badan Pusat Statistik. Berdasarkan survei tersebut, dari 1.569.049 komuter asal Jakarta, hanya sekitar seperlima (18,8 persen) atau 295.893 orang yang pergi ke tempat kegiatan utama menggunakan transportasi umum, sebanyak 79,1 persen lainnya memilih naik kendaraan pribadi.

Minat masyarakat Jakarta yang begitu rendah menggunakan angkutan publik semakin tegas kentara ketika tak kurang dari 96 persen komuter pengguna kendaraan pribadi mengaku enggan beralih menggunakan moda transportasi umum. Adapun tiga alasan utama terbesar yang membuat mereka tidak mau beralih ke transportasi publik, ialah tidak praktis sebesar 35 persen, waktu tempuh lama 24,3 persen, dan waktu tunggu lama 10,2 persen. Tiga alasan ini lantas dapat dimaknai bahwa tantangan pokok layanan transportasi publik di Jakarta adalah mengenai kepraktisan dan keandalan yang masih cukup rendah.

Isu kepraktisan yang masih menjadi momok menandakan bahwa layanan angkutan umum di Jakarta masih memerlukan peningkatan sistem integrasi antarmoda yang lebih efektif dan efisien. Padahal, sejatinya Jakarta telah menjadi pionir di bidang integrasi antarmoda melalui terobosan sistem pembayaran terintegrasi JakLingko.

Sejak diluncurkan pada tahun 2020, sistem integrasi JakLingko telah meliputi seluruh armada PT TransjakartaMRT Jakarta, LRT Jakarta, KRL Commuter Line, serta MRT KAI Bandara Soekarno-Hatta. Terobosan lainnya dalam meningkatkan cakupan transportasi publik yang terintegrasi adalah peluncuran layanan Mikrotrans yang menggunakan kendaraan kecil jenis angkot.

https://cdn-assetd.kompas.id/lQmouZESV2uoPnUZFFj_SBektcY=/1024x2392/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F06%2F25%2F7eb948c4-74ba-40fd-ac29-37fc4409b7e6_png.png

Berbeda dengan moda angkot konvensional, Mikrotrans hanya berhenti di titik pemberhentian dan pembayarannya menggunakan kartu JakLingko atau uang elektronik lainnya. Ini tentu dapat memudahkan masyarakat dalam menggunakan transportasi publik karena dapat menjangkau kawasan permukiman dengan jalan yang sempit dan berliku.

Paradigma transportasi yang terintegrasi pun sudah terwujud melalui pembangunan infrastruktur angkutan perkotaan berorientasi transit sebagaimana telah terkonsep dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek.

Salah satu contoh yang telah dapat dinikmati secara nyata oleh masyarakat adalah terhubungnya empat moda transportasi publik di kawasan Dukuh Atas, yakni Transjakarta, KRL, MRT, dan LRT Jabodebek. Hal serupa juga bisa didapati di kawasan ASEAN (MRT dan Transjakarta), Stasiun Tanah Abang dan Kebayoran (KRL dan Transjakarta), Stasiun Pasar Senen (KRL, Transjakarta, dan Kereta Antarkota), serta Halim Perdanakusuma (LRT Jabodebek dan Kereta Api Cepat).

Meski demikian, infrastruktur terintegrasi yang memudahkan pengguna melakukan perpindahan antarmoda seperti itu masih kurang merata. Menurut data dari Pemerintah DKI Jakarta, kebutuhan terbesar pengintegrasian antarmoda terdapat pada layanan KRL dan Transjakarta.

Pasalnya, pada tahun 2023 sebanyak 44,5 persen pengguna transportasi publik kota itu terpusat di kedua moda tersebut. Sayangnya, selain yang telah disebutkan di atas, sebagian besar stasiun KRL belum terhubung secara langsung dengan layanan Transjakarta. Hal ini tentu menyulitkan para pengguna yang hendak berpindah moda antara kereta rel listrik ke bus Transjakarta atau sebaliknya.

Semakin andal

Kemudian, masalah terkait keandalan berupa waktu tempuh dan waktu tunggu yang lama dapat disiasati dengan meningkatkan headway atau jarak waktu tunggu kedatangan unit. Melansir dari situs resmi operator moda masing-masing, headway Transjakarta di jam sibuk adalah 25 menit dan di jam normal 30 menit. Sementara headway KRL berkisar 10-15 menit dengan variasi 5-120 menit tergantung lintas dan jam operasional. Kemudian, headway MRT Jakarta adalah 5-10 menit dan headway LRT Jabodebek adalah 10 menit.

Untuk dapat meningkatkan headway, operator harus menambah frekuensi perjalanan unit. Hal ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, yakni menambah jumlah unit moda, efisiensi jadwal perjalanan, atau peningkatan sistem persinyalan bagi moda berbasis rel.

Khusus untuk moda berbasis jalan raya, peningkatan headway juga dapat ditempuh dengan penegasan sterilisasi jalur khusus. Dengan demikian, koridor-koridor bus rapid transit (BRT) Transjakarta dapat menekan risiko tertahan macet di jam-jam sibuk akibat jalur yang bebas dari kendaraan bermotor milik warga atau pejabat.

Ketika dua tantangan utama tersebut teratasi, dapat dibayangkan layanan transportasi publik di Jakarta akan mengalami peningkatan kualitas dan kuantitas secara signifikan. Namun, untuk mewujudkan itu, perlu upaya kolaboratif yang sinergis antara pemerintah daerah dan operator-operator layanan umum transportasi publik yang ada di Jakarta.

Tak hanya itu, Jakarta sebagai kawasan metropolitan juga harus bekerja sama dengan kota-kota penunjang di sekitarnya, mulai dari Tangerang, Depok, Bogor, hingga Bekasi. Dengan demikian, diharapkan dimensi mobilitas dan aksesibilitas Jakarta akan semakin meningkat kualitasnya dan pada akhirnya memantapkan langkah Jakarta untuk menjadi kota global di kancah dunia. (LITBANG KOMPAS).