Rencana pemerintah untuk mengefisienkan biaya operasional penerbangan setidaknya dapat menyehatkan keuangan perusahaan.

Oleh YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA

JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia atau INACA menyambut positif niat pemerintah melakukan efisiensi biaya penerbangan dan menurunkan harga tiket pesawat. Biaya operasional dan non-operasional industri penerbangan harus ditekan.

”Saat ini, biaya-biaya penerbangan sangat tinggi, melebihi tarif tiket yang telah ditetapkan pemerintah sejak 2019. Akibatnya, maskapai rugi dan mengoperasikan penerbangan untuk sekadar dapat hidup dan tak dapat mengembangkan usahanya,” ujar Ketua Umum Inaca Denon Prawiraatmadja di Jakarta, Rabu (17/7/2024).

 

Denon menyampaikan hal itu merespons rencana pemerintah, khususnya Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves), mengefisienkan biaya penerbangan dan menurunkan harga tiket pesawat. Dengan adanya penurunan biaya, maskapai dapat mengantongi margin operasionalnya sehingga lebih optimal mendukung konektivitas penerbangan nasional.

Menurut Denon, biaya-biaya tinggi operasional dan non-operasional penerbangan perlu dikurangi, bahkan dihapuskan. Biaya operasional terdiri atas berbagai komponen, salah satu di antaranya adalah harga avtur yang lebih tinggi ketimbang harga di negara tetangga. Hal itu juga diperparah dengan antrean pesawat di darat sebelum terbang dan menanti saat pendaratan di udara yang berisiko memboroskan bahan bakar.

Adapun biaya tinggi non-operasional penerbangan berupa aneka pajak dan bea masuk yang ditetapkan, seperti pajak pada avtur, Pajak Penghasilan (PPh) impor, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPh) onderdil, serta PPN tiket pesawat. ”Dengan demikian, terjadi pajak ganda. Padahal, di negara lain, pajak dan bea tersebut tak ada,” kata Denon.

Sebagian besar biaya penerbangan juga sangat terpengaruh kurs dollar AS. Makin kuat nilai dollar AS terhadap rupiah, biaya penerbangan akan terkerek naik. ”Hal ini harus diantisipasi dan dicarikan jalan keluarnya bersama,” kata Denon.

https://cdn-assetd.kompas.id/JTAvR2Rr_IN5MH5ZbtFV3cwchJk=/1024x790/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F08%2F04a012e5-31ee-4622-beba-eda8ad223940_png.png

Guna mengeksekusi rencana efisiensi penerbangan itu, pemerintah tengah membentuk Komite Supervisi Harga Tiket Angkutan Penerbangan Nasional. Peran, tanggung jawab, serta orang-orang yang ada di dalamnya harus jadi fokus agar rencana ini sungguh terealisasi.

”Masalah yang melingkupi penerbangan nasional itu sangat kompleks dan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga. Untuk itu, komite tersebut harus benar-benar kuat, baik secara legal maupun operasional, serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan penerbangan,” tutur Denon.

Sebelumnya, Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan dalam akun Instagramnya pekan lalu (11/7/2024) memaparkan langkah pemerintah melakukan efisiensi biaya penerbangan dan menurunkan harga tiket pesawat.

Beberapa langkah disiapkan. Pertama, efisiensi operasi biaya pesawat. Kedua, pembebasan bea masuk serta pembukaan larangan terbatas barang impor tertentu. Ketiga, perhitungan ulang skema tarif. Keempat, evaluasi pendapatan kargo. Kelima, insentif PPN ditanggung pemerintah.

”Terhitung sejak rapat ini dilakukan, seluruh langkah tersebut di atas selanjutnya akan dikomandoi langsung oleh Komite Supervisi Harga Tiket Angkutan Penerbangan Nasional. Mereka akan mengevaluasi secara detail harga tiket pesawat setiap bulan,” ujar Luhut.

Hingga kini, belum ada informasi lebih lanjut mengenai bentuk konkret perencanaan pemerintah ini. Siapa saja pihak-pihak yang tergabung dalam satuan tugas itu juga belum diumumkan.

Meski demikian, upaya-upaya pemerintah ini dinilai tak akan begitu berdampak untuk menurunkan harga tiket pesawat. Rencana ini setidaknya berdampak positif untuk menyehatkan kondisi keuangan perusahaan penerbangan.

Pengamat penerbangan Gerry Soejatman menilai, pembebasan bea masuk suku cadang memang akan berefek besar bagi keuangan maskapai. Namun, dampak pada biaya operasional maskapai tak akan signifikan karena hanya berdampak 1-2 persen. PPN avtur, jika ditiadakan, hanya berimbas 5-6 persen dari biaya operasional pesawat.

Biaya operasional pesawat untuk maskapai penerbangan bertarif rendah (LCC),misalnya, sekarang bertarif Rp 550.000 hingga Rp 600.000 per jam untuk tiap kursi tersedia. Pengurangannya akan menekan Rp 25.000 hingga Rp 30.000 ke biaya per kursi tersedia per jamnya.

”Ya, paling pengurangan sekitar Rp 40.000 sampai Rp 50.000 dari harga tiket per jam terbang,” ujar Gerry.

Buruknya iklim usaha

Industri penerbangan Indonesia saat ini dinilai tak sehat. Alasannya, monopoli bisnis penerbangan dengan mengatur harga tiket oleh satu pihak tertentu masih terjadi. Imbasnya, tak terbentuk persaingan usaha yang sehat.

Menurut Denon, sejumlah praktik monopoli banyak ditemui dalam rantai penerbangan. Beberapa di antaranya monopoli pada penyedia avtur di bandara; pengelolaan bandara oleh pemerintah, baik melalui badan usaha milik negara (BUMN) dan badan layanan umum (BLU) serta unit penyelenggara bandar udara (UBLU) Kementerian Perhubungan; juga operasionalisasi penerbangan dari grup maskapai tertentu.

Praktik-praktik monopoli ini harus dihilangkan guna menumbuhkan iklim persaingan usaha yang sehat. Sejumlah cara bisa dilakukan.

Salah satunya, lanjut Denon, meminimalkan monopoli operasional penerbangan melalui pengelolaan slot penerbangan yang lebih adil bagi maskapai dan kekuatan pasar. Jarak waktu slot antarmaskapai harus diperhatikan.

”Pengelola slot harus menjalankan aturan dengan tegas sehingga maskapai mematuhi aturan yang berlaku. Slot yang tak terpakai dalam jangka tertentu harus segera ditarik dan diisi oleh maskapai lain,” ujar Denon sekaligus CEO Whitesky Group ini.

Denon mengatakan, rute-rute baru yang sebelumnya tak ada penerbangan (virgin route) perlu diperhatikan pula. Pemerintah harus melindungi maskapai pertama yang beroperasi di sana, serta rutin mengevaluasi kinerjanya. Penambahan penerbangan oleh maskapai lain baru bisa dilakukan jika pasar sudah kuat dan maskapai pertama sudah mengantongi keuntungan.

Berdasarkan data INACA, Lion Air Group menguasai hingga 65 persen pangsa pasar penerbangan domestik sepanjang 2023. Maskapai yang tergabung adalah Lion Air, Batik Air, Wings Air, dan Super Air Jet yang mengangkut 42,7 juta orang. Posisinya disusul Garuda Indonesia Group yang meliputi Garuda Indonesia dan Citilink (27 persen).

Sebelumnya, pengamat penerbangan Gatot Rahardjo mengatakan Lion Air Group tak sepenuhnya salah. Kelompok maskapai itu hanya memanfaatkan celah regulasi yang tak mengatur soal kepemilikan maskapai serta sertifikat operator penerbangan (AOC).

”Kalau di kita, aturannya masih tumpang tindih. Buktinya KPPU tak bisa apa-apa melihat Lion Air Group yang sudah monopoli. Pemerintah juga terbelenggu dengan kepentingannya dan merasa terbantu karena maskapai itu mampu menerbangkan puluhan juta penumpang,” tutur Gatot.

https://cdn-assetd.kompas.id/RgbA96sKlAE1785evTou7kcU99g=/1024x968/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F15%2F62f1923d-f066-4ebc-b7f1-cefa6bf75149_png.png

Menanggapi isu monopoli ini, Presiden Direktur Lion Air Group Daniel Putut Kuncoro menolak dituding sebagai pihak yang menguasai pasar. Armada yang dimiliki saat ini menjadi kekuatan Lion Air Group mengisi kekurangan dalam dunia penerbangan nasional.

”Tak ada keinginan menguasai. Namun, karena kami bisa bertahan sampai saat ini, jumlah armada besar dan banyak, kami siap melayani ke mana saja. Kami bisa bertahan karena mempertahankan jumlah armada, bahkan tambah satu maskapai (Super Air Jet),” ujarnya.

Berdasarkan data terakhir, setidaknya Lion Air Group disokong 367 pesawat, baik kegiatan dalam maupun luar negeri. Armada itu meliputi Lion Air (109 pesawat), Wings Air (73), Batik Air (72), Super Air Jet (60), Batik Air Malaysia (35), serta Thai Lion Air (18).

Kompetitor terbesarnya, Garuda Indonesia Group, hanya memiliki hampir setengah dari jumlah pesawat Lion Air Group. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memiliki 71 unit dengan rencana penambahan 9 unit pada tahun ini. Anak usahanya, PT Citilink Indonesia, saat ini mengoperasikan 78 pesawat. Total pesawat yang dioperasikan kelompok ini sekitar 158 unit jika seluruh armada tambahan telah beroperasi.