Negara maju adalah negara yang memanjakan warganya dengan transportasi publik memadai. Indonesia masih jauh dari itu.
Oleh REDAKSI
Hingga pertengahan tahun ini, Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta mencatat kenaikan jumlah pengguna angkutan umum. Penumpang MRT Jakarta pada Juni 2024 mencapai 3.474.541 orang. Pada bulan yang sama, pengguna LRT Jakarta 102.707 orang dan 31.617.767 orang naik Transjakarta.
Dibandingkan dengan Juni 2023, kenaikan pengguna tiga moda transportasi publik massal yang dikelola Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tersebut masing-masing 28,22 persen, 22,26 persen, dan 42,01 persen.
Data BPS itu mengembuskan angin positif dalam upaya pembangunan layanan angkutan umum tidak hanya di Jakarta, tetapi juga secara nasional. Jakarta membuktikan kota di Indonesia mampu menyediakan angkutan umum massal yang saling terintegrasi, murah, dan cakupannya cukup luas.
Ketersambungan layanan tidak sebatas antarmoda yang dikelola DKI, tetapi juga dengan KRL Jabodetabek dan LRT Jabodebek yang dikelola pemerintah pusat. Pembangunan dan perbaikan trotoar hingga fasilitas khusus, seperti halte integrasi Blok M, Transport Hub Simpang Temu Dukuh Atas, dan lainnya, memudahkan warga berganti moda.
Keberadaan Mikrotrans Jaklingko dikelola Pemprov DKI dan berfungsi sebagai angkutan pengumpan yang bisa diakses gratis makin memuluskan integrasi antarmoda tersebut.
Soal tarif, DKI telah memberlakukan tarif terintegrasi multimoda LRT Jakarta, MRT Jakarta, dan Transjakarta Rp 10.000 per 180 menit per penumpang.
Tarif murah diimbangi dengan layanan mencakup 87 persen kawasan menjadi daya tarik utama orang mau menggunakan transportasi umum di Jakarta.
Akan tetapi, meskipun kasatmata angkutan umum modern makin banyak beroperasi, kemacetan justru mengganas.
Data dari TomTom Index, Jakarta menempati posisi ke-30 dalam rangking dunia kota-kota paling macet pada 2023. Rata-rata kendaraan bermotor memerlukan 23 menit 20 detik untuk menempuh jarak 10 kilometer. Catatan waktu itu lebih lama 40 detik dibandingkan tahun 2022.
Kemacetan masih terjadi karena angkutan umum yang cukup ideal baru tersedia di Jakarta, sementara di kawasan sekitarnya masih sangat terbatas. Hasil Survei Komuter Jabodetabek 2023 menunjukkan ada 14,9 persen penduduk komuter dari 29,6 juta penduduk Jabodetabek berumur 5 tahun ke atas. Sebanyak 79 persen penduduk komuter masih menggunakan kendaraan bermotor pribadi.
Kemacetan berarti bahan bakar minyak yang terbuang percuma, gas buang memperparah polusi udara, roda ekonomi tak berputar efektif, hingga ke dampak buruk ke kesehatan publik.
Kondisi tersebut menunjukkan belum cukup pembangunan angkutan umum hanya di Jakarta saja tetapi harus mengakselerasi menyeluruh di Bodetabek. Hal yang sama perlu diterapkan di kawasan aglomerasi perkotaan lain di Indonesia yang kini didera kemacetan serupa.
Pekerjaan rumah yang harus dituntaskan kalau tidak ingin terus berkubang sebagai negara berkembang dan kurang sejahtera.