Alih fungsi Bandara IKN bukan hanya menyimpang dari Rencana Induk IKN, tetapi juga menyangkut kepastian hukum investasi.

Oleh ALVIN LIE

Bandara Ibu Kota Nusantara yang sejak awal dirancang untuk melayani pergerakan very very important person (VVIP/naratetama), yaitu kepala negara, pejabat tinggi negara, dan tamu negara, mendadak dialihfungsikan menjadi bandara umum. Hal tersebut diumumkan oleh Juru Bicara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 31 Juli 2024.

Pengalihfungsian ini perlu dicermati dari perspektif regulasi dan dampaknya terhadap ekosistem bandara di Kalimantan Timur.

Pembangunan IKN beserta infrastrukturnya mengacu pada Rencana Induk dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional IKN yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 63 dan 64 Tahun 2022. Dalam kedua perpres tersebut sama sekali tidak disebutkan bahwa IKN akan menyediakan bandara umum.

Untuk kepentingan mobilitas umum, Perpres No 63/2022 tentang Rencana Induk IKN jelas menyebutkan bahwa bandara yang menjadi bandara penumpang (komersial) adalah Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman, yang juga dikenal sebagai Bandara Sepinggan, di Balikpapan serta Bandara Aji Pangeran Tumenggung Pranoto di Samarinda.

Semula, pembangunan Bandara IKN masuk dalam tahap 2 pembangunan infrastruktur dan lingkungan, yaitu untuk periode 2025-2029 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Undang-Undang No 3/2022 tentang Ibu Kota Negara.

Pemerintah menilai, begitu pentingnya keberadaan bandara VVIP di IKN sehingga pembangunan dan pengoperasiannya perlu dipercepat masuk ke tahap 1 (2022-2024) hingga tahap 3 (2030-2034) dalam lampiran Perpres No 64/2022.

Kebutuhan mendesak akan bandara VVIP di IKN diperkuat dengan Perpres No 31/2023 tentang Percepatan Pembangunan dan Pengoperasian Bandar Udara Very Very Important Person untuk Mendukung Ibu Kota Nusantara.

Regulasi dibuat untuk menjadi acuan kerja dan kebijakan, bukan hanya untuk instansi yang melaksanakan, melainkan juga sebagai referensi kebijakan bagi pemangku kepentingan yang luas. Serentetan regulasi tersebut tentu berimplikasi pada jadwal pembangunan dan alokasi sumberdaya, termasuk alokasi pembiayaan dari APBN yang wajib dipertanggungjawabkan secara administratif dan secara politik.

Pemerintah wajib mempertanggungjawabkan anggaran yang sudah dibelanjakan untuk pembangunan bandara khusus VVIP, mendadak berubah peruntukannya menjadi bandara umum. Hal ini berpotensi menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Lebih mencengangkan lagi bahwa Rencana Induk IKN yang semula tidak mencakup bandara umum dapat seketika diubah ada bandara umum. Jika sedemikian mudah menyimpang dari Rencana Induk IKN yang berbentuk peraturan presiden, patut dipertanyakan kewibawaan peraturan presiden yang merupakan salah satu peraturan perundang-undangan. Lalu, untuk apa ada Rencana Induk IKN jika setiap saat dapat dilanggar atau diabaikan?

Pembangunan Bandara IKN berpotensi memecah rekor dunia dalam kecepatan pembangunan bandara normal, bukan bandara darurat dalam rangka bencana alam atau perang. Groundbreaking dilaksanakan oleh Presiden pada 1 November 2023, ditargetkan landasan pacu sepanjang 2.200 meter, dari total 3.000 meter, dapat rampung dan fungsional pada awal Agustus 2024 untuk mendukung pelaksanaan upacara HUT Ke-79 Kemerdekaan RI di IKN.

Total hanya sembilan bulan untuk membangun bandara yang mencakup sisi udara, yaitu landasan pacu, taxiway, apron (lapangan parkir pesawat), infrastruktur navigasi, dan gedung terminal. Pada umumnya dibutuhkan waktu sekitar 2 tahun untuk membangun bandara sekelas bandara IKN karena berbagai proses teknis yang tidak bisa dilakukan secara simultan dan tidak bisa dipercepat.

Pembangunan Bandara IKN yang dipercepat melalui jalur super ekspres tentu membutuhkan biaya yang lebih besar daripada jika dikerjakan secara proses normal. Pembangunan yang cepatnya jauh melampaui normal ini juga berpotensi menimbulkan masalah pada keawetan sehingga dikhawatirkan biaya perawatan dan operasi akan membengkak, dan jadi beban di masa mendatang.

Pengalihfungsian bandara IKN menjadi bandara umum juga mengabaikan prosedur perizinan bandara sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No PM 39/2019 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional. Dalam Lampiran II PM ini jelas diatur bahwa kriteria cakupan pelayanan bandara di Kalimantan adalah:

Satu, ”radius 60 kilometer (jarak lurus 120 km di antara dua bandara) atau waktu tempuh moda transportasi lain minimal 4 jam”. Kriteria ini jelas tidak terpenuhi karena jarak IKN hanya 39 kilometer dari Bandara Sepinggan di Balikpapan dan hanya 110 kilometer dari Bandara Samarinda.

Dua, ”potensi penumpang lebih dari 200.000 per tahun atau jumlah penduduk yang menjadi cakupannya lebih dari 2 juta orang”. Kriteria ini juga diragukan terpenuhi karena penduduk IKN diproyeksikan baru mencapai 1,9 juta jiwa pada 2045.

Tiga, ”potensi kargo untuk mendukung peran bandara di sektor industri sebesar 2.000 ton per tahun”. Kriteria ini juga sangat diragukan terpenuhi.

Memperhatikan bahwa jika Bandara IKN dipaksakan menjadi bandara umum, jumlah penumpang dan kargo yang dilayani akan jauh di bawah standar. Hal ini dikawatirkan akan menjadi beban pengelola bandara, baik BUMN maupun instansi yang ditunjuk, yang pada akhirnya akan menyebabkan kerugian.

Bukan tidak mungkin beban biaya tersebut juga dibebankan kepada penumpang dalam bentuk retribusi bandara (passenger service charge) yang mahal. Demi menghidupi Bandara IKN, tidak menutup kemungkinan pemerintah dapat menutup atau membatasi pelayanan bandara di Balikpapan dan Samarinda.

Dengan memperhatikan berbagai aspek tersebut, tidak sepatutnya Bandara IKN diubah fungsinya menjadi bandara umum. Jika pemerintah sendiri tidak menghormati dan mematuhi rencana induk pembangunan IKN serta serentetan regulasinya, bagaimana masyarakat bisa percaya pada pemerintah. Demikian pula investor yang diharapkan masuk ke IKN akan makin khawatir tentang kepastian hukum investasinya.

Alvin LieKetua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi)

X: alvinlie21