Elektronifikasi integrasi pembayaran transportasi di Jakarta diharapkan bisa mendukung Jakarta sebagai kota global.
Oleh AGUIDO ADRI
JAKARTA, KOMPAS — Jakarta sebagai kota global harus menyelesaikan masalah kemacetan dan perluasan jaringan transportasi umum di Jabodetabek. Elektronifikasi integrasi pembayaran transportasi Jakarta atau EIPTJ menjadi salah satu upaya pemerintah membangun budaya bertransportasi massal sehingga diharapkan permasalahan kemacetan bisa teratasi.
Kepala Unit Pengelola Sistem Jalan Berbayar Elektronik Dinas Perhubungan DKI Jakarta Zulkifli mengatakan, urgensi permasalahan di DKI Jakarta adalah kemacetan lalu lintas yang kerugiannya mencapai Rp 100 triliun dalam setahun. Untuk mengatasi masalah itu, jaringan dan integrasi jaringan perlu semakin diperluas sehingga semakin banyak masyarakat beralih ke transportasi massal.
Dampak negatif dari penggunaan kendaraan pribadi sehingga menyebabkan kemacetan dan kerugian besar itu dihitung dari kerugian ekonomi yang meliputi biaya waktu dan operasional kendaraan.
Kerugian itu juga dihitung dari kematian dini yang mencapai angka 13.000 kematian per tahun. Selain itu, tercatat ada 8.000 kecelakaan lalu lintas per tahun. Dan, hitungan kerugian dari konsumsi bahan bakar minyak (BBM) mencapai 31,4 miliar liter per tahun.
Menurut Zulkifli, kerugian riil bisa lebih besar dari Rp 100 triliun jika memperhitungkan faktor eksternal, seperti jumlah peningkatan kecelakaan, biaya logistik, dampak kesehatan masyarakat, dan penurunan kualitas hidup.
Dari data SITRAMP, JUTPI I dan II, penggunaan moda transportasi untuk berkomuter di DKI Jakarta pada 2018 tercatat ada 21,5 persen pengguna mobil, 68,3 persen sepeda motor, dan 6,3 persen angkutan umum. Adapun catatan Dishub DKI Jakarta pada 2023, dari total 21.750.860 perjalanan per hari, 4.102.277 di antaranya menggunakan transportasi publik.
Sementara itu, berdasarkan sumber Tomtom Traffic Index pada 2018, Jakarta menempati posisi ke-3 dari 387 kota di 55 negara dan enam benua. Pada 2018 hingga 2023, berturut Jakarta menduduki peringkat ke-7, 10, 31, 46, 29, dan 30. Dari data tersebut, pemerintah terus berupaya agar masalah kemacetan lalu lintas bisa diatasi salah satunya dengan subsidi dan integrasi transportasi publik.
”Ini sudah sangat luar biasa. Sebanyak Rp 40 triliun untuk biaya operasional kendaraan dan Rp 60 triliun untuk waktu perjalanan. Jakarta saat ini sedang mengatasi hal tersebut,” kata Zulkifli.
Menurut Zulkifli, terkait kemacetan, pada 2023 tercatat ada Rp 4,9 triliun untuk subsidi Transjakarta, MRT, dan LRT. Pada 2024, masih berjalan subsidi sekitar Rp 5,5 triliun. Ini cukup besar untuk subsidi, tidak juga, karena kerugian dari kemacetan mencapai Rp 100 triliun.
Melalui integrasi tarif dan layanan angkutan umum, kapasitas penumpang Transjakarta dengan 6.960 armada di 15 koridor BRT ada sebanyak 1,5 juta penumpang per hari, sementara MRT ada 260.285 penumpang per hari.
Lalu, LRT Jakarta dengan lima stasiun yang terintegrasi dengan Transjakarta ada 145.888 penumpang per hari, sedangkan LRT Jabodebek tercatat ada 150.000 penumpang per hari. Adapun rata-rata jumlah penumpang per hari lima moda transportasi itu mencapai 1.909.351.
Ke depan, Jakarta sebagai kota global, kata Zulkifli, satu dari enam aspek yang harus terpenuh terutama dalam hal transportasi adalah aksesibilitas yang terkoneksi secara intra dan inter kota. Konektivitas ini memiliki kemudahan dan pilihan moda transportasi dalam kota, nyaman, dan bebas hambatan bermobilitas di dalam kota. Bukan saja Jakarta yang terkoneksi, melainkan daerah Bodetabekjur juga.
”Untuk mencapai Jakarta sebagai kota global, kemacetan harus teratasi, kesetaraan, dan keadilan angkutan umum harus bisa diakses dengan mudah oleh semua golongan, kesetaraan pejalan kaki dan sepeda, serta lingkungan. Transportasi pribadi harus ditinggalkan dan angkutan umum harus menjadi tulang punggung masyarakat bermobilitas. Car oriented development menjadi transit oriented development,” ujar Zulkifli.
Untuk mencapai hal tersebut, katanya, dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 68 Tahun 2021, ada dua program utama, yaitu meningkatkan pengguna angkutan umum massal dan pembatasan kendaraan bermotor. Langkah itu perlu didukung dengan kebijakan parkir progresif, ganjil genap, pembatasan usia kendaraan, dan menjalankan EIPTJ.
Zulkifli menjelaskan, ada tiga hal yang saat ini sedang dijalankan untuk implementasi integrasi sistem pembayaran antarmoda. Pertama, central clearing house system (CCHC), yaitu mengintegrasikan semua platform sistem tiket angkutan BRT, MRT, LRT, termasuk KRL.
Meski belum berjalan mulus, pada prinsipnya setiap operator menyamakan sistem platform melalui sebuah kelembagaan PT Jaklingko Indonesia. Semua kartu angkutan umum bisa saling terintegrasi.
Fase kedua, mobility as a service (MaaS). Ini merupakan jenis layanan melalui saluran digital bersama yang memungkinkan pengguna untuk merencanakan, memesan, dan membayar berbagai jenis layanan mobilitas secara keseluruhan.
Pengguna aplikasi Jaklingko dapat melanjutkan perjalanan dari transportasi umum ke transportasi daring sebagai layanan first mile-last mile (perjalanan dari tempat asal menuju tempat transit transportasi massal-perjalanan dari tempat transit transportasi massal ke tempat tujuan). Saat ini, Grab sudah aktif pada aplikasi Jaklingko. Semua terkoneksi dalam satu aplikasi.
Fase ketiga, account based ticketing (ABT) yang memungkinkan implementasi model tarif fleksibel (harian, mingguan, bulanan), variasi produk tiket, khusus sesuai profil target misalnya pelajar dan manula.
EIPTJ juga menjadi tindak lanjut amanat Pergub No 63/2020 tentang Penugasan kepada Badan Usaha Milik Daerah untuk Menyelenggarakan Sistem Integrasi Pembayaran Antar Moda Transportasi, BUMD seperti PT Transjakarta, PT MRT Jakarta, dan Jakpro bersama PT Moda Integrasi Transportasi Jabodetabek (MITJ) membentuk perusahaan patungan, yaitu PT JakLingko Indonesia.
”Tiga BUMD itu memiliki tugas menyelenggarakan sistem integrasi pembayaran antarmoda transportasi serta integrasi data dan informasi terkait transportasi. Kita tidak akan mungkin mengintegrasikan tarif sebelum mengintegrasikan sistem pembayaran. Jakarta sudah mengintegrasikan sistem pembayaran itu. Pergub No 550/2022, tarif Rp 10.000 selama tiga jam dengan menggunakan MRT, LRT, dan BRT,” tuturnya.
Saat ini, integrasi transportasi Jabodetabek juga semakin diperluas dengan kerja sama dengan PT KCI. Kartu KCI sudah bisa dipakai untuk Transjakarta MRT, LRT.
”Inklusivitas transportasi Jakarta tidak lagi koridor base, tetapi ketika membangun sistem transportasi umum sudah berbicara area base sekaligus mencakup angkutan umum. Setengah kilo dari titik perjalanan sudah menemukan sistem angkutan umum massal. Saat ini sudah mencapai 87,2 persen,” ujarnya.
Pengamat kota, Yayat Supriatna, mengatakan, perlu ada kelembagaan yang kuat untuk mewujudkan integrasi layanan transportasi. Sehebat apa pun aturan dan inovasi yang dilakukan jika pemerintah daerah dan DPRD tidak memiliki visi misi yang sama, Jakarta dan sekitar masih akan macet.
Tidak seperti DKI Jakarta memiliki anggaran besar mencapai Rp 4,5 triliun, di kawasan Bodetabek yang memiliki anggaran kecil untuk transportasi sulit mewujudkan basis transportasi sesuai standar minimum. Oleh karena itu, urusan transportasi berbasis jalan perlu ada kelembagaan kuat yang bisa mengintegrasikan Jabodetabek sehingga masyarakat mau beralih ke transportasi publik.
”Dengan UU Khusus Jakarta, seharusnya Transjakarta bisa diberikan kebebasan untuk mengelola transportasi di Jabodetabek dengan menyediakan jalur khusus. Jakarta kota global adalah Jakarta kota transportasi massal,” ujar Yayat.
Menurut Yayat, isu utama yang perlu diperhatikan dalam integrasi sistem elektronifikasi dan infrastruktur antarmoda di Jabodetabek adalah kemampuan Pemprov Daerah Khusus Jakarta membangun atau membentuk holding company transportasi wilayah aglomerasi Jabodetabek. Tanpa badan pengelola yang memiliki otoritas yang kuat secara kelembagaan dan finansial, integrasi dan sinergi sistem pelayanan sulit terwujud.
Hal utama lain yang perlu diperhatikan pula adalah biaya transportasi. Seharusnya biaya transportasi 10 persen dari pendapatan. Namun, kenyataannya biaya transportasi bisa lebih dari 10 persen dan telah menjadi beban pengeluaran terbesar masyarakat komuter.
”Tarif integrasi Rp 10.000 sekali jalan (PP 20.000) jika ditotal selama 25 hari kerja sekitar 500.000. Pertanyaan kapan tarif integrasi ini bisa berlaku antara transportasi pengumpan ke transportasi BRT, MRT, LRT, dan KRL?” kata Yayat.
Melihat pula kebutuhan masyarakat saat ini yang sangat mengandalkan ojek daring karena kendala first mile-last mile, menurut Yayat, jika ingin memperluas jaringan transportasi, operator ojek daring bisa dilibatkan sebagai transportasi penghubung. Catatannya, operator ojek daring harus masuk dalam skema tarif integrasi. Meski begitu keterlibatan ojek daring sebagai transportasi penghubung harus dikaji lebih dalam.
Masalah selanjutnya yang perlu dibenahi adalah kecepatan rata-rata kendaraan angkutan umum. Bus Transjakarta, misalnya, saat melintas di jam sibuk pagi dan sore hanya mampu menempuh kecepatan 21,25 kilometer per jam.
Sementara kecepatan BRT Trans Pakuan hanya 15,30 km per jam, Trans Jabodetabek kecepatannya rata-rata 26,90 km/jam, kecepatan Transpatriot 23,25 km/jam. Secara umum, transportasi umum di Jabodetabek hanya memiliki kecepatan rata-rat 23,61 km/jam.
”Daya tarik integrasi tarif dan kemudahan layanan perlu dukungan pada aspek kecepatan dan kelancaran. Mudah, murah, tetapi macet tidak menarik bagi konsumen. Waktu tempuh dan kecepatan masih menjadi persoalan,” kata Yayat.