JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melanjutkan pembahasan revisi Rancangan Undang-Undang Kepariwisataan pada periode pemerintahan selanjutnya. Pelaku usaha, praktisi, sekaligus pengamat pariwisata memberikan banyak masukan selagi masih ada waktu untuk memperbaiki. Pemerintah yang diwakili Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) bersepakat dengan Komisi X DPR untuk mengoper (carry over) revisi RUU yang tengah dibahas. RUU inisiatif DPR tersebut merupakan Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Nantinya, regulasi ini akan dibahas pada masa pemerintahan selanjutnya. Baca juga: Pengusaha dan Pakar Pariwisata Dukung Penyusunan UU Baru Menurut Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Pauline Suharno, diskusi kelompok terpumpun (FGD) yang dilakukan harus melibatkan seluruh komponen pentaheliks. Mereka adalah pemerintah, akademisi, komunitas, pelaku usaha, dan media. Seluruhnya berpartisipasi sejak awal pembahasan, tidak hanya diikutkan demi legalitas sosialisasi semata. ”Sebab, kebanyakan keputusan dibuat berdasarkan kajian dari akademisi dan konsultan tanpa melibatkan industri. Nanti ketika sudah jadi, mereka (pemerintah dan DPR) baru sosialisasikan ke industri untuk ketok palu, diberi waktu untuk perbaikan, tetapi sangat mepet deadline,” tutur Pauline saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (25/9/2024). Ia mengatakan, para pelaku industri juga memiliki kesibukan lain sehingga pembahasan yang butuh pertimbangan perlu diberi waktu lebih, bukan mendadak. Apalagi kebijakan biasanya perlu ketelitian membaca berjilid-jilid regulasi sehingga perlu meluangkan waktu lebih banyak. Ilustrasi Berolahraga di Tempat Wisata KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA Ilustrasi Berolahraga di Tempat Wisata Pedoman dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan pariwisata dalam RUU Kepariwisataan mengacu pada wisata berkualitas (quality tourism). Sesuai dengan pedoman itu, Pauline berharap pencanangan target bukan lagi pada jumlah atau kuantitas wisatawan. Komponen penghitungan atau standar dapat disesuaikan berdasarkan destinasi. Pendapat senada diutarakan CEO Berbangsa Foundation, yayasan yang mendorong pemberdayaan desa-desa di Indonesia, Vitria Ariani. Pada dasarnya, ia menyetujui bahwa UU Kepariwisataan memang perlu diperbarui. ”Tetapi, jangan cuma tambal sulam yang normatif banget, buat yang implementatif. Enggak usah panjang-panjang. Kita ini terlalu berbusa-busa untuk membuat (regulasi), tetapi ketika sampai tingkat desa, mereka enggak paham,” kata Vitria. Baca juga: GIPI Minta Pengesahan RUU Kepariwisataan Ditunda Pemerintah dan DPR perlu memikirkan dari hulu hingga ke hilir, dari pihak terbawah hingga ke atas, arah pariwisata akan dibawa ke mana. Aturan juga perlu dibuat jelas, jangan ambigu. Sebab, selama ini banyak aturan yang double standard. Ia juga terkadang menyayangkan bahwa orang Indonesia memang berpikir global, tetapi kurang melokal. Vitria mengatakan, RUU Kepariwisataan perlu menjelaskan soal adaptasi teknologi kekinian dan terbarukan dalam mengembangkan pariwisata berkelanjutan. Perencanaan dan pengembangan implementasi empat pilar pariwisata—destinasi, industri, kelembagaan, dan pemasaran—dari hulu ke hilir terkait ekosistem yang terintegrasi dari penyuplai hingga pengguna. Implementasi ini perlu disampaikan dengan basis kelokalan, menggandeng masyarakat dan komunitas guna menghindari gap yang mengedepankan konsep hijau dan berkelanjutan. ”Pariwisata sebagai prioritas pembangunan, bukan hanya sebagai agenda sekunder atau tersier. Desa wisata sebagai destinasi terkecil yang komprehensif dan berstandar global perlu dikuatkan,” ujarnya. Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda (kanan) dan Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih dalam rapat kerja bersama pemerintah dengan agenda pengambilan keputusan terhadap RUU Kepariwisataan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/9/2024). ARSIP KEMENPAREKRAF Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda (kanan) dan Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih dalam rapat kerja bersama pemerintah dengan agenda pengambilan keputusan terhadap RUU Kepariwisataan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/9/2024). Sebelumnya, pemerintah dan Komisi X DPR setuju untuk melanjutkan pembahasan RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU No 10/2009 tentang Kepariwisataan dilanjutkan pada periode 2024-2029 dalam rapat kerja pada Selasa (24/9/2024). Ketentuan pengoperan diatur dalam Pasal 87 Ayat (3) dan Pasal 110 Peraturan DPR No 2/2020 tentang Pembentukan UU. Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengatakan, pihaknya dan pemerintah akan meneruskan RUU No 10/2009, kemudian akan diteruskan ke Badan Legislasi DPR. Alhasil, regulasi itu akan disetujui sebagai RUU operan, lantas masuk menjadi RUU prioritas yang masuk dalam Program Legislasi Nasional 2025. Baca juga: Pemerintahan Jokowi Tolak Teruskan Pembahasan RUU Kepariwisataan Dalam rapat kerja itu pula, Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengemukakan pendapat mini fraksi Partai Golkar. UU No 10/2009 telah berjalan 15 tahun sehingga perubahan banyak terjadi. Penyesuaian perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat sangat diperlukan. ”Sejumlah perubahan, termasuk bencana (pandemi) Covid-19 berlangsung tanpa prediksi. Ini perlu direspons RUU Kepariwisataan guna merumuskan perubahan arah dan jangkauan pengaturan yang lebih menyeluruh dan komprehensif untuk menjawab tantangan di dunia kepariwisataan,” tutur Hetifah. Fraksi Partai Golkar, Hetifah melanjutkan, mendukung pengaturan substansi RUU Kepariwisataan berdasarkan paradigma baru dari wisata massal (mass tourism)ke wisata berkualitas (quality tourism). Substansi RUU telah memberi arah pada pariwisata Indonesia untuk bergerak. ”Masih sangat kurang cukup waktu kajian mendalam terhadap pandangan, catatan, dan argumentasi tim panitia kerja pemerintah dan masih ada hal-hal krusial yang belum dapat diputuskan, antara lain perbedaan cara pandang terhadap pengaruhan RUU mengenai substansi budaya dengan pariwisata,” ujarnya. https://cdn-assetd.kompas.id/dcooc6VeX_XT7_zM02fNFI5W0Bs=/1024x827/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F12%2F9f408713-e806-4d31-a3f0-907ef026a1bb_png.png Penyesuaian muatan Pemerintah dan DPR telah berdiskusi dalam konsinyasi RUU Kepariwisataan. Keduanya bersepakat akan mengkaji lebih dalam terhadap daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diajukan pemerintah dengan melibatkan pemangku kepentingan kepariwisataan. Wakil Menparekraf Angela Tanoesoedibjo mengatakan, beberapa isu cara pandang terhadap konsep 12 aspek ekosistem kepariwisataan dalam RUU Kepariwisataan dengan konsep empat pilar pembangunan dalam UU No 10/2009. Pemerintah berupaya mengakomodasi 12 aspek tersebut dengan mereposisi lokus empat pilar UU awal yang terdiri atas destinasi, industri, kelembagaan, dan pemasaran. Materi muatan dalam pilar destinasi pariwisata, misalnya, mencakup kawasan strategis pariwisata, partisipasi masyarakat dalam pembangunan destinasi pariwisata. Usulan RUU Kepariwisataan inisiatif DPR juga akan disisipkan, yakni daya tarik wisata, pariwisata berbasis budaya dan masyarakat lokal, serta sarana-prasarana. Selain pilar destinasi, ada pula pilar pemasaran pariwisata, kelembagaan kepariwisataan, dan pembangunan. Seluruhnya akan disesuaikan dengan RUU Kepariwisataan yang baru menindaklanjuti pembahasan yang bakal dituntaskan pada pemerintahan selanjutnya. ”Perubahan yang paling fundamental adalah mendudukkan sumber daya manusia pariwisata sebagai fondasi dari empat pilar kepariwisataan sehingga dapat mencakup semua pilar pembangunan kepariwisataan. Selain itu, ditambahkan pula materi muatan RUU inisiatif DPR terkait pendidikan,” kata Angela. Baca juga: Pariwisata Terdampak Pelemahan Daya Beli Masyarakat