NILAI-NILAI budaya dan kebangsaan harus menjadi fondasi moral dalam pemanfaatan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang berkembang pesat di Tanah Air. "Apa yang harus dipersiapkan untuk menjawab sejumlah tantangan yang hadir bersama penggunaan kecerdasan buatan di Indonesia harus segera diantisipasi," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, saat membuka diskusi daring bertema Masa Depan Teknologi AI di Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (25/9). Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Hokky Situngkir (Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika), Marsudi Wahyu Kisworo (Guru Besar, Rektor Universitas Pancasila-Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) dan Bambang Riyanto Trilaksono, (Founder KORIKA-Guru Besar Institut Teknologi Bandung) sebagai narasumber. Selain itu hadir Kresna Dewanata Phrosakh (Anggota Komisi I DPR RI) dan Ratih Ibrahim (Psikolog Klinis, CEO & Direktur Personal Growth) sebagai penanggap. Harus diakui, ujar Lestari Moerdijat, saat ini pemanfaatan AI sudah memengaruhi pola hidup, antara lain dalam pekerjaan dan cara berkomunikasi sehari-hari. Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, kemajuan AI jangan sampai menghambat pemahaman nilai-nilai kebudayaan dan kebangsaan kita. Karena itu, jelas Rerie yang juga Legislator NasDem dari Dapil Jawa Tengah II (Demak, Kudus, Jepara), kita harus mempersiapkan sumber daya manusia yang mampu memahami dan mengoperasikan AI dengan benar. Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap perkembangan teknologi yang terjadi saat ini dapat bersanding dengan nilai-nilai budaya dan kebangsaan yang kita miliki. Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Hokky Situngkir, mengungkapkan bahwa saat ini sepertiga warga Indonesia setiap hari hidup di depan gawai. Selain itu, tambah Hokky, warga Indonesia saat ini tercatat dalam tiga besar pengguna aplikasi Whatsapp dan berada pada posisi empat besar pengguna aplikasi Youtube. "Indonesia masuk dalam pasar raksasa digital di era kapitalisme. Apakah kita mau sebagai pasar semata?" ujar Hokky. Luasnya wilayah dan populasi Indonesia, kata dia, menciptakan potensi dan peluang yang besar untuk memperkaya khasanah AI di dunia. Menurut Hokky, AI itu bersifat ofensif dan bisa menggantikan peran manusia. Di sisi lain, AI harus dengan data untuk di-generate lebih lanjut. Untuk mengimbangi AI yang ofensif, jelas Hokky, harus dikembangkan digital safety. Sepanjang terjadi keseimbangan antara faktor ofensif dan defensif itu, tambah dia, pemanfaatan AI akan berjalan dengan baik. Diakui Hokky, saat ini pemerintah sedang menggodok sejumlah aturan dan undang-undang yang bertujuan untuk melindungi warga negara dalam pemanfaatan teknologi. Dewan Pengarah BRIN, Marsudi Wahyu Kisworo mengungkapkan saat ini dunia dikuasai bisnis yang berbasis digital. Jadi, ujar dia, kita tidak bisa hindari perkembangan itu. "Masa depan kita tidak bisa lepas dari AI. Meski banyak profesi yang hilang, akan muncul profesi-profesi baru," tegas Marsudi. Diakui, AI yang banyak dipakai masyarakat saat ini pada umumnya merupakan kecerdasan buatan yang masih berada di level rendah. Pada 2050, jelas Marsudi, diperkirakan dunia sudah masuk pada penggunaan super AI hingga super human AI. Marsudi mengungkapkan, sejumlah tokoh dunia saat ini takut pada perkembangan AI yang sangat cepat, karena dikhawatirkan kecerdasan AI pada suatu saat melebihi kecerdasan manusia. Guru Besar Institut Teknologi Bandung, Bambang Riyanto Trilaksono, berpendapat sejumlah sektor seperti reformasi birokrasi, pendidikan, riset, Kesehatan, dan ketahanan pangan merupakan sektor-sektor yang bisa dikedepankan dalam pemanfaatan AI. Bambang menganalogikan AI dengan sistem sensor yang biasa digerakkan otak manusia. Kecerdasan buatan, jelas Bambang, akan semakin berkembang karena data berlimpah dan algoritma yang membaik. Anggota Komisi I DPR RI, Kresna Dewanata Phrosakh, mengingatkan bahwa kemajuan AI tidak bisa dibendung. Jadi, tegas dia, apa pun yang terjadi kita tidak boleh tertinggal dengan kecepatan perkembangan teknologi. Sistem perundang-undangan kita, jelas anggota Fraksi Partai NasDem DPR itu, harus mampu memberikan perlindungan kepada setiap warga negara dari dampak pemanfaatan teknologi.