JAKARTA, KOMPAS — Kontestasi pemilihan kepala daerah bakal semakin dinamis karena sebagian besar diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon dengan jumlah dukungan partai politik yang bervariasi. Meski sejumlah calon mendapatkan dukungan dari koalisi partai yang besar, hal itu tidak serta-merta menjadi penentu kemenangan. Kuatnya sosok serta gagasan setiap kandidat menjadi faktor lain yang akan diintensifkan untuk menggenjot perolehan suara. Di Pulau Jawa, misalnya, pemilihan gubernur dan wakil gubernur (Pilgub) pada lima provinsi mayoritas diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon. Ada empat pasangan yang berkompetisi di Jawa Barat (Jabar) serta tiga pasangan di Jawa Timur (Jatim) dan Jakarta. Sementara itu, di Jawa Tengah (Jateng) dan Banten, pilgub masing-masing diikuti oleh dua pasangan kandidat. Baca Berita Seputar Pemilu 2024 Baca Berita Seputar Pemilu 2024 Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya. Kunjungi Halaman Pemilu Dari beberapa pasangan calon tersebut, jumlah dukungan parpol juga bervariasi. Hal itu tidak hanya memunculkan pertarungan antara kandidat yang diusung oleh koalisi besar dan calon yang diusung satu partai, tetapi juga kompetisi antarcalon yang sama-sama didukung banyak partai. Contohnya, di Jawa Barat, pasangan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan yang didukung oleh sembilan partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), antara lain Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), akan melawan tiga pasangan, antara lain Ahmad Syaikhu-Ilham Akbar Habibie yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Nasdem. Selain itu, ada pula Acep Adang Ruhiat-Gitalis Dwi Natarina yang diusung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), serta Jeje Wiradinata-Ronal Surapradja dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Di Jawa Timur, pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak yang didukung 14 parpol, sebagian besar berasal dari KIM, akan melawan Tri Rismaharini-KH Zahrur Ashar Asumta yang diusung PDI-P, Partai Hanura, dan Partai Ummat, serta pasangan Luluk Nur Hamidah-Lukmanul Khakim dari PKB. Adapun di Jakarta, pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang diusung 15 partai anggota KIM plus, akan menghadapi Pramono Anung-Rano Karno dari PDI-P serta Dharma Pongrekun-Kun Wardana yang merupakan pasangan calon independen. Baca juga: Persaingan Elektabilitas Bakal Cagub Jateng Ketat, Parpol Masih Gamang Tentukan Kandidat (17) Adapun di Jateng, terdapat dua pasangan yang akan saling berhadapan, yakni Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maimoen yang didukung sembilan partai, sebagian besar dari KIM, serta Andika Perkasa-Hendrar Prihadi yang diusung PDI-P. Sama halnya dengan di Jateng, kontestasi Pilgub Banten juga diikuti oleh dua pasangan. Mereka adalah Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi yang mendapatkan dukungan dari PDI-P, Golkar, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Nasional (PKN), Parti Buruh, Partai Ummat, dan Partai Gelora, serta pasangan Andra Soni-Achmad Dimyati Natakusumah yang diusung Gerindra, PKS, Demokrat, Nasdem, PKB, PAN, PSI, Partai Garuda, Partai Prima, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P Said Abdullah saat dihubungi dari Jakarta, Senin (23/9/2024), mengatakan, di berbagai daerah kandidat usungan partainya memang harus berhadapan dengan koalisi besar KIM. Hal itu tidak bisa dilihat sebagai wujud permusuhan politik lantaran KIM merupakan gabungan parpol pengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang memenangi Pilpres 2024. Koalisi di daerah-daerah terbentuk karena proses demokratis, bahkan sempat ada perubahan peta imbas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah. Di berbagai daerah kandidat usungan partainya memang harus berhadapan dengan koalisi besar KIM. Hal itu tidak bisa dilihat sebagai wujud permusuhan politik lantaran KIM merupakan gabungan parpol pengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang memenangi Pilpres 2024. Ketua DPP PDI-P Said Abdullah. KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU Ketua DPP PDI-P Said Abdullah. Selain itu, menurut dia, persaingan di pilkada tidak hanya terkait kekuatan koalisi parpol pendukung, tetapi justru dipengaruhi kuat oleh figur yang akan berkontestasi. Parpol dan koalisi ibarat menjual sosok para kandidat yang memiliki prestasi, rekam jejak, dan kemampuan komunikasi politik mereka dengan pemilih. Di luar itu, terdapat strategi pemenangan, dukungan logistik, serta jaringan sosial yang menjadi faktor-faktor lain yang menentukan kemenangan. PDI-P pun mengusung sejumlah kader yang memiliki kesosokan kuat. Mereka di antaranya adalah dua mantan menteri, yakni Tri Rismaharini dan Pramono Anung, serta mantan Panglima TNI Andika Perkasa. “Tidak bermaksud mengerdilkan partai pengusung, tetapi apa pun itu, pemilih tetap melihat figur yang diusung,” kata dia. Tidak bermaksud mengerdilkan partai pengusung, tetapi apa pun itu, pemilih tetap melihat figur yang diusung. Faktor figur ini, lanjut Said, menjadi penyebab kerap munculnya fenomena split ticket voting atau perbedaan pilihan pendukung partai dengan kandidat yang dipilih. Ada kecenderungan rakyat memilih calon yang berbeda dengan yang diusung partai pilihannya karena calon dari partai lain dianggap lebih bisa memenuhi harapan. ”Faktor split ticket voting dalam pilkada ini cukup besar, karena belum tentu aras elite sejalan dengan aspirasi grass root-nya. Mempertimbangkan situasi ini, saya kira pilkada akan semakin dinamis,” ujarnya. Manajemen yang kotraproduktif Ketua DPP PKB Syaiful Huda juga meyakini bahwa kontestasi pilkada akan berlangsung dinamis sekalipun ada kandidat-kandiat yang diusung oleh mayoritas parpol. Menurut dia, dukungan banyak parpol bisa memunculkan kelemahan dari segi manajemen yang kontraproduktif di lapangan. Sementara itu, mesin politik dari kandidat yang hanya diusung satu partai akan lebih solid karena memiliki semangat untuk mengalahkan koalisi besar. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Syaiful Huda KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Syaiful Huda Huda melanjutkan, kontestasi pilkada juga tidak bisa dilepaskan dari peran figur yang diusung. Kendati tak memiliki dukungan dari banyak parpol, kandidat yang bisa mengelola aspirasi dan keinginan publik tetap berpeluang menang. Hal tersebut yang akan digencarkan oleh para pasangan calon dari PKB sepanjang masa kampanye. Langkah untuk memperkuat kesosokan kandidat di masa kampanye, menurut dia, akan semakin optimal karena dinamika di setiap daerah pun berbeda. Di Jabar, misalnya, ada kecenderungan anomali pilihan rakyat pada hari pencoblosan dengan hasil survei. Ia meyakini, masih akan ada perubahan sekalipun berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga, saat ini pasangan Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan memimpin perolehan elektabilitas, bahkan ada yang mencapai 77 persen. Langkah untuk memperkuat kesosokan kandidat di masa kampanye, menurut dia, akan semakin optimal karena dinamika di setiap daerah pun berbeda. Begitu juga di Jatim, meski pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak merupakan petahana, tingkat elektabilitasnya dinilai belum dominan karena masih banyak rakyat yang tidak puas dengan kepemimpinan mereka lima tahun terakhir. ”Jadi, peran figur dengan program yang relevan, tim yang solid, mesin partai, serta jaringan sukarelawan yang efektif, itu akan jadi penentu betul,” kata Huda. Kekuatan struktur partai Politisi senior Gerindra yang juga Ketua Tim Pemenangan Ridwan Kamil-Suswono, Ahmad Riza Patria tidak memungkiri bahwa faktor figur berperan penting dalam pertarungan di pilkada. Namun, kandidat yang kuat akan semakin berpeluang menang jika didukung oleh koalisi partai yang juga besar. Sebab, setiap partai memiliki struktur hingga ke tingkat RT/RW di setiap daerah. Partai juga memiliki saksi yang akan bekerja untuk mengawal perolehan suara di tempat pemungutan suara. ”Yang paling penting, partai juga memiliki pengalaman dalam rangka mencari dukungan warga,” kata Ahmad Riza. Ia mengakui, besarnya dukungan partai memang memiliki kelebihan dan kekurangan bagi pasangan calon di pilkada. Salah satu contohnya, soal pengaturan kerja di lapangan. Akan tetapi, itu bisa diatasi oleh KIM yang sudah pernah berkoalisi pada Pilpres 2024 lalu. ”Kami sudah punya pengalaman (berkoalisi), semakin lama sinergi kami pun semakin baik,” ujar Ahmad Riza. Sekalipun demikian, ia juga melihat bahwa kontestasi Pilkada 2024 akan berlangsung dinamis. Terlebih jumlah calon yang berkontestasi semakin banyak setelah adanya putusan MK mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah. Walau persaingan akan lebih berat, ia meyakini pilkada akan berjalan kondusif dan tidak memunculkan polarisasi masyarakat. https://cdn-assetd.kompas.id/1Srb9zxScF-yaHrPZT455BV41UQ=/1024x1496/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F15%2F4481f518-69ff-46a2-961b-529b7b4244ae_png.png Baca juga: Bagaimana Peta Kompetisi Pilkada Setelah Pendaftaran Calon Ditutup? Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting Aditya Perdana mengatakan, pertarungan di Pilkada 2024 khususnya di Jawa masih akan dinamis. Tidak ada jaminan pasangan kandidat yang sudah unggul dalam survei elektabilitas bakal memenangi pilkada di daerahnya masing-masing. Sebab, pertarungan baru akan dimulai setelah memasuki masa kampanye. ”Para calon yang tidak diunggulkan memiliki kesempatan untuk menginjak gas (saat kampanye),” kata Aditya. Selain itu, tambahnya, di beberapa daerah mesin partai juga belum bekerja secara optimal. Menurut dia, langkah tersebut umumnya akan gencar di masa kampanye, bahkan pekan-pekan terakhir jelang pemungutan suara. Kerja partai, terutama di daerah-daerah yang menjadi basis pemilihnya bisa jadi akan mengubah kondisi secara signifikan dibandingkan dengan yang tertangkap di survei.