JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan dan Badan Anggaran DPR sepakat memangkas target pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi 5,2 persen. Sebelumnya, pada APBN 2016, pertumbuhan ekonomi dipatok 5,3 persen. Koreksi tersebut dihasilkan dalam rapat Panitia Kerja tentang Asumsi Dasar Rancangan APBN Perubahan (RAPBN-P) 2016 di Jakarta, Rabu (8/6). Panitia kerja terdiri dari unsur Badan Anggaran DPR dan Kementerian Keuangan. Rapat membahas asumsi dasar yang telah disepakati sehari sebelumnya oleh Komisi XI DPR dan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro. Asumsi dasar mencakup pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Kesepakatan pada rapat kerja di Komisi XI DPR meliputi pertumbuhan ekonomi 5,1 persen, inflasi 4 persen, suku bunga SPN 3 bulan sebesar 5,5 persen, dan nilai tukar rupiah Rp 13.500 per dollar AS. Kesepakatan di tingkat panitia kerja asumsi dasar RAPBN-P 2016 menguatkan semua kesepakatan tersebut, kecuali pertumbuhan ekonomi yang dikoreksi menjadi 5,2 persen. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menyatakan, target pertumbuhan ekonomi 2016 sebesar 5,3 persen cukup berat dicapai. Revisi ini dengan pertimbangan pelambatan pertumbuhan ekonomi global dan Tiongkok, risiko kenaikan suku bunga di AS, dan harga komoditas yang masih rendah. "Ekspor kita juga masih agak tertekan. Konsumsi rumah tangga juga belum kembali pada kecepatan normal. Jadi, kami bisa melihat target 5,3 persen sulit tercapai. Apalagi pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2016 baru 4,9 persen. Jadi, target 5,2 cukup masuk akal," kata Suahasil. Secara terpisah, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta A Tony Prasetiantono berpendapat, perekonomian tahun ini lebih sulit dari dugaan semula. Tiongkok sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia masih melanjutkan tren pelambatan pertumbuhan ekonomi. Ada pula risiko suku bunga di AS yang akan naik, sektor riil yang lesu, permintaan kredit melemah, dan kredit macet yang meningkat. "Ini semua bertali-temali menyulitkan pertumbuhan ekonomi kita. Saya perkirakan angka 5,1 persen lebih realistis daripada 5,2 persen," kata Tony.     Defisit melebar Risiko terbesar jika pertumbuhan ekonomi meleset di bawah target, lanjut Tony, adalah pelemahan daya serap tenaga kerja. Dampaknya, jumlah pengangguran berpotensi meningkat. Sejalan dengan itu, angka kemiskinan juga berpotensi bertambah. Sementara dari sisi fiskal, tambah Tony, risiko terbesar berupa defisit yang melebar dari asumsi RAPBN-P 2016 sebesar 2,48 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Tahun lalu, defisit 2,5 persen terhadap PDB. "Tahun ini, jika pengampunan pajak tidak sesuai harapan, defisit bisa melejit hingga 3 persen terhadap PDB. Inilah titik tertinggi yang diizinkan Undang-Undang tentang Keuangan Negara. Utang pemerintah bisa kian bengkak untuk menutup pelebaran defisit," kata Tony. Sementara itu, Bank Dunia mengoreksi turun proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini menjadi 2,4 persen. Pada Januari, pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan 2,9 persen. Dalam siaran persnya, Bank Dunia mendasarkan koreksi tersebut atas sejumlah risiko, yakni pelambatan pertumbuhan di negara-negara maju, harga komoditas yang tetap rendah, perdagangan global yang lemah, dan arus modal yang berkurang. Laporan Prospek Ekonomi Global menyebutkan, negara berkembang dan negara berkembang pengekspor komoditas berusaha keras beradaptasi dengan harga minyak yang jatuh dan komoditas utama lainnya. Hal ini menyebabkan separuh dari revisi pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi global. "Melambatnya pertumbuhan ekonomi tahun ini kembali menegaskan pentingnya negara menerapkan kebijakan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan penduduk termiskin," kata Presiden Kelompok Bank Dunia Jim Yong Kim. (LAS)