Dapatkah kita benar-benar beralih dari bahan bakar fosil ke masa depan yang didominasi oleh energi terbarukan? Untuk menjawabnya, kita harus memeriksa data dan prakiraan ilmiah terkini. Data Global Electricity Review 2024 mencatat pertumbuhan tenaga surya dan angin mendorong listrik energi terbarukan dunia melampaui 30 persen untuk pertama kalinya pada 2023.

Studi dari lembaga lain, seperti World Nuclear Association dan International Hydropower Association, pun serupa. Pembangkit listrik tenaga surya dan angin paling cepat pertumbuhannya. Di sisi lain, penambahan pembangkit listrik tenaga batubara cenderung turun. Adapun sumber energi lain, seperti nuklir, geotermal, gas, dan air, terlihat stagnan dalam dua tahun belakangan ini.

Semua data itu menunjukkan bahwa dunia sedang bergerak menggunakan dua energi saja, yaitu energi angin dan energi surya. Itu tidak bisa dibantah. Pesatnya perkembangan energi angin dan surya itu bisa jadi karena pertimbangan keekonomisannya. Data Bloomberg NEF menyebutkan bahwa pembangkit listrik tenaga surya dan angin lebih murah ketimbang sumber lainnya.

Meski pertumbuhannya energi terbarukan di tingkat global tinggi, Indonesia belum mengalami pertumbuhan serupa. Indonesia masih jauh tertinggal dari negara lain, bahkan di level ASEAN.

Pembangkit listrik tenaga surya dan angin di Indonesia hanya mencapai 0,2 persen pada 2022. Bandingkan dengan Vietnam yang telah mencapai 13 persen pada 2023. Padahal, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk memanfaatkan energi matahari.

Berdasarkan data Global Wind Atlas, kecepatan angin di Indonesia masuk kategori sangat rendah, sampai mendekati nol. Akibatnya, dengan teknologi turbin saat ini, turbin tidak akan berputar cukup cepat untuk menghasilkan listrik yang cukup.

Namun, ini belum tentu merupakan hal yang buruk. Mengapa? Angin yang sepoi-sepoi berarti kita dapat dengan aman membangun pembangkit listrik tenaga surya—yang juga dikenal sebagai pembangkit listrik fotovoltaik (PV) tanpa harus khawatir tentang badai dan topan yang merusak atau berpotensi menghancurkannya.

Energi listrik di Indonesia masih didominasi fosil, terutama batubara, Kontribusi energi surya dan bayu hanya 0,1 persen, jauh lebih rendah dari rata-rata global yang saat ini sudah mencapai 12 persen. EMBER

Energi listrik di Indonesia masih didominasi fosil, terutama batubara, Kontribusi energi surya dan bayu hanya 0,1 persen, jauh lebih rendah dari rata-rata global yang saat ini sudah mencapai 12 persen.

Merujuk pada data Global Solar Atlas, sinar matahari di Indonesia menunjukkan tingkat radiasi dengan level kualitas baik, meskipun bukan yang terbaik. Dengan kualitas baik, Indonesia sejatinya dapat menghasilkan sekitar 1.400 kWh per tahun dari setiap 1 kilowatt panel surya.

Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan potensi signifikan untuk memasang panel surya. Panel surya dapat ditempatkan di atap rumah warga, atap sekolah, atap rumah ibadah, tempat parkir, gedung perkantoran, bangunan pemerintah, lahan bekas tambang yang tidak lagi digunakan, waduk, danau, dan bahkan laut Indonesia yang relatif tenang.

Dengan potensi surya yang sangat besar itu, bagaimana Indonesia dapat memulainya? Saat ini, PLN, perusahaan listrik milik negara, menghasilkan sekitar 300 terawatt jam (TWh) listrik setiap tahun. Sebagai perbandingan, panel surya atap memiliki potensi untuk menghasilkan tiga kali lipat jumlah itu setiap tahun.

Studi potensi PV surya Indonesia memperkirakan bahwa potensi listrik dari panel surya atap sekitar 1.000 TWh listrik; PLTS terapung air tawar 64 TWh dalam 250 kilometer persegi; PLTS terapung laut 180.000 TWh dalam 700.000 km persegi; agrivoltaic atau panel surya di lahan pertanian 2.700-8.100 TWh dalam 11.000-31.000 km persegi; dan panel surya di tambang batubara tua yang tidak aktif 600 TWh dalam 2.300 km persegi.

Memasang panel surya atap adalah langkah pertama yang paling umum dalam transisi ke energi surya.

Untuk lebih mendalami tempat-tempat potensial untuk panel surya ini, pertama-tama mari kita sebut yang termudah, yakni atap bangunan: rumah, gudang atau gedung. Para ahli dari Departemen Perubahan Iklim, Energi, Lingkungan, dan Air (DCCEEW) Australia menyatakan bahwa memasang panel surya atap adalah langkah pertama yang paling umum dalam transisi ke energi surya.

Menurut kurva pertumbuhannya, panel surya atap secara konsisten menyediakan bagian listrik terbesar setiap hari. Namun, mereka juga menekankan pentingnya menerapkan peraturan untuk memastikan bahwa standar teknis instalasinya terpenuhi dan pemasangan tidak mengganggu jaringan listrik yang ada.

Lokasi potensial lain untuk pemasangan panel surya adalah di sawah dan pertanian. Misalnya, Jawa Barat, khususnya wilayah Karawang, memiliki hamparan sawah yang luas. Pendekatan ini juga dapat diterapkan di wilayah mana pun yang menanam tanaman seperti kopi, anggur, atau tanaman pendek lainnya dengan tingginya di bawah 2 meter.

Proyek pembangunan PLTS Cirata di Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023). PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara ini berkapasitas 192 MWp dan mampu memproduksi 245 juta kWh energi bersih per tahun serta melistriki lebih dari 50.000 rumah.KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Proyek pembangunan PLTS Cirata di Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (26/9/2023). PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara ini berkapasitas 192 MWp dan mampu memproduksi 245 juta kWh energi bersih per tahun serta melistriki lebih dari 50.000 rumah.

Pendekatan inovatif

Korea Selatan dan Jepang telah mulai menerapkan metode yang dikenal sebagai kolokasi atau agrivoltaic, di mana struktur ditempatkan di atas tanaman untuk mendukung pemasangan panel surya. Metode ini menawarkan manfaat tambahan dengan menyediakan dua aliran pendapatan bagi petani—pendapatan harian dari listrik yang dihasilkan oleh panel dan pendapatan musiman dari panen tanaman setiap tiga atau empat bulan.

Memperkenalkan praktik ini di Indonesia dapat menjadi cara yang inovatif dan efektif untuk meningkatkan pendapatan petani. Petani dapat terus menanam padi saat panel surya dipasang di atas tanaman mereka, dengan pengelolaan naungan yang cermat untuk memastikan fotosintesis dan hasil panen tanaman tidak terganggu.

Pendekatan inovatif lain dengan menggunakan tambang batubara yang tidak aktif, yang banyak terdapat di Sumatera dan Kalimantan. Mengembalikan permukaan lahan ke keadaan semula setelah tambang ditutup hampir mustahil karena kerusakan yang parah. Sebaliknya, kita dapat secara strategis menutupi area ini dengan panel surya atau membangun pumped hydro storage sebagaimana dilakukan Australia di Kidston, Queensland.

Selain itu, karena lokasi penambangan telah memiliki infrastruktur listrik yang mapan, tidak perlu berinvestasi dalam jaringan baru—cukup tingkatkan jaringan yang sudah ada dan distribusikan listrik ke kota-kota dan desa-desa terdekat. Pendekatan ini sangat menjanjikan dengan potensi menghasilkan hingga 600 TWh per tahun, dua kali lipat dari yang diproduksi PLN saat ini.

Baca juga: Pegiat Energi Surya Fokus pada Edukasi

Di antara semua metode yang potensial, PLTS terapung menawarkan harapan terbesar. Menurut pemetaan teknis global PLTS terapung laut, hanya ada dua lokasi ideal di dunia untuk PLTS terapung, yaitu pantai barat Afrika dekat Nigeria dan kepulauan Indonesia. Wilayah-wilayah ini sangat menguntungkan karena posisi ekuatornya, yang menghindari jalur badai.

Di Indonesia, beberapa lokasi terbaik dapat ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatera, sedikit di utara Jawa, antara Madura dan Jawa, antara Jawa dan Selat Bali, di sebelah timur Kalimantan, di teluk-teluk Sulawesi, dan di sekitar Kepulauan Maluku.

Contoh yang berhasil adalah PLTS terapung di Waduk Cirata, Jawa Barat, dengan proyek-proyek serupa yang akan datang direncanakan untuk Saguling di Jawa Barat dan Karangkates di Jawa Timur.

https://cdn-assetd.kompas.id/dUPCNIg4ofFvYPzijTdEgSujOLI=/1024x825/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F10%2F29%2F52875469-2ad2-4d90-968a-3947b1eca19e_png.png

Dengan begitu banyak lokasi dan metode potensial untuk menerapkan PLTS, kita harus mengatasi tantangan intermitensi. Dalam 5-10 tahun terakhir, banyak pihak yang mengkhawatirkan intermitensi energi surya, yang sering kali mengutip ketidakandalannya.

Untuk mengatasi hal itu, kita perlu berinvestasi dalam penyimpanan energi, yaitu menyimpan kelebihan energi saat jumlahnya melimpah. Energi yang tersimpan ini kemudian dapat digunakan saat produksi energi surya rendah atau permintaan tinggi sehingga memastikan pasokan listrik yang konsisten dan andal.

Di Indonesia, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) pumped storage menawarkan potensi yang signifikan untuk penyimpanan energi. Selain hemat biaya, PLTA juga melimpah. Karena kemampuan menyimpan energi dalam jumlah yang besar, tidak seperti baterai portabel kecil yang digunakan dalam kendaraan listrik, pumped storage sangat cocok untuk mendukung sistem kelistrikan skala besar.

Dengan potensi sebesar 820 TWh di seluruh negeri, dan Indonesia hanya membutuhkan 10-15 TWh, pumped storage menawarkan solusi praktis untuk mengelola energi terbarukan yang intermiten dan memastikan stabilitas jaringan. Para insinyur dan perencana dengan mudah menemukan lokasi terbaik berada di Sulawesi Tengah, Papua Barat, Bukit Barisan di Sumatera, dan lokasi potensial lainnya, termasuk di Jawa dan Kalimantan.

Baca juga: Kualitas Baterai Tentukan Daya Saing PLTS

Hasil studi terbaru the Australian National University mengungkap bahwa dengan skenario jaringan listrik tenaga surya 100 persen di Indonesia dapat dicapai dengan biaya yang kompetitif. Studi tersebut mempertimbangkan jaminan keandalan dan keseimbangan antara permintaan dan pasokan listrik per jam selama sepuluh tahun.

Biaya produksi listrik dengan skenario tersebut sebesar 7-10 sen dollar AS per kWh. Biaya ini kompetitif dengan alternatif bahan bakar fosil atau tarif listrik PLN saat ini.

Namun, meskipun statistik dan bukti ilmiah menjadi dasar, implementasinya merupakan tantangan yang berbeda—tantangan yang bergantung pada faktor krusial: manusia. Untuk berhasil mengadopsi energi surya, pertama-tama kita harus menciptakan permintaan pasar yang akan mendorong pembangunan pabrik panel surya besar-besaran di Indonesia.

Cara paling efektif untuk melakukannya adalah dengan memulai dari hal kecil, seperti mempermudah masyarakat memasang panel surya di atap rumah. Perusahaan juga dapat berkontribusi dengan melengkapi gedung kantor atau gudang mereka dengan instalasi panel surya. Dengan mendorong adopsi akar rumput yang luas, kita membuka jalan bagi transisi yang lebih besar menuju energi terbarukan, menjadikan tenaga surya sebagai bagian integral dari kehidupan kita sehari-hari.

David Firnando SilalahiPegawai Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; Kandidat doktor pada The Australian National University