Para petani dan buruh mengajukan setidaknya enam tuntutan dalam pelaksanaan demo Hari Tani Nasional 2024, Selasa (24/9/2024). Demo Hari Tani Nasional 2024 yang dipimpin oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Partai Buruh, digelar di depan Istana Negara dan Gedung DPR RI, Jakarta. Exco Pusat Partai Buruh dan Dewan Pengurus Pusat SPI menuturkan, Hari Tani Nasional sebagai momentum yang wajib diperingati untuk memperkuat perjuangan mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan petani, serta orang-orang yang bekerja di pedesaan Indonesia. "Pada Hari Tani Nasional tahun 2024 ini, Partai Buruh dan Serikat Petani Indonesia menyatakan sikap bahwa 'Reforma Agraria Dimanipulasi, Langgar Konstitusi'," ujar mereka dalam rilis yang diterima Kompas.com, Selasa. Hari Tani Nasional diperingati setiap 24 September berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 169 Tahun 1963. Tanggal ini bertepatan dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA 1960).
Ada enam tuntutan pada Peringatan Hari Tani Nasional 2024 yang ditujukan kepada pemerintahan baru. Berikut rinciannya: Pertama, SPI dan Partai Buruh menuntut pemerintah melaksanakan reforma agraria. Ini dilakukan sebagai upaya merombak struktur penguasaan agraria yang timpang, serta memastikan land reform.  Land reform diwujudkan dengan membagikan tanah untuk rakyat yang tak bertanah, petani kecil untuk usaha-usaha pertanian, perikanan untuk kadaulatan pangan, perumahan, pemukiman, dan fasilitas sosial bagi rakyat. Kedua, mereka menuntut pemerintah menghentikan segala Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menggusur tanah rakyat dan membabat hutan hujan Indonesia, seperti food estate dan real estate. Pemerintah juga harus menolak pasar tanah melalui lembaga Bank Tanah dan pemberian Hak Guna Usaha (HGU), serta Hak Guna Bangunan (HGB) kepada orang asing yang diusung IMF World Bank karena bersifat kapitalis dan neoliberal. Ketiga, pemerintah harus melaksanakan Reforma Agraria berdasarkan konstitusi Pasal 33 UUD NRI 1945, UU PA 1960, dan TAP MPR-RI Nomor IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Keempat, pemerintah harus mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja dan peraturan/undang-undang lainnya yang merugikan petani. Misalnya, UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dan UU Perkebunan. Kedua UU tersebut sering dipakai sebagai alasan perampasan tanah, intimidasi, kriminalisasi, diskriminasi hukum kepada petani dan pejuang reforma agraria. Padahal, petani hanya mempertahankan tanah dari klaim kawasan hutan dan area korporasi perkebunan. Kelima, pemerintah dituntut menyelesaikan konflik agraria, menghentikan kriminalisasi, dan diskriminasi hukum terhadap petani. Aksi Pemerintah harus melindungi hak asasi petani sesuai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang-Orang yang Bekerja di Perdesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas). Keenam, pemerintah harus menolak impor pangan. Produk pangan juga perlu berasal dari keluarga petani dalam negeri, bukan food estate atau lumbung pangan terpusat yang dikelola korporasi. Untuk itu, pemerintah harus menyusun kebijakan jangka panjang pertanian Indonesia yang didasarkan pada Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan. Dalam konteks pemenuhan sarana produksi, pemerintah juga harus mendorong petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan beralih dari sistem pertanian yang bercorak revolusi hijau menjadi agroekologi. 

Alasan tuntutan Keenam tuntutan demo pada Hari Tani Nasional 2024 disusun dengan latar belakang Reformasi Agraria yang seharusnya bertujuan mengatasi ketimpangan agraria. Namun, SPI dan Partai Buruh menilai pemerintah justru memperluas ketimpangan agraria, salah satunya dengan memberikan Hak Guna Usaha selama 190 tahun untuk korporasi. Pemerintah juga dinilai membuat kebijakan reformasi agraria dengan UU Cipta Kerja yang menyusahkan petani, masyarakat adat, dan orang yang bekerja dalam pertanian. Pemerintah juga melegalkan penguasaan tanah oleh korporasi. Kondisi ini meningkatkan konflik agraria bagi masyarakat, karena perampasan tanah meluas dan tanpa penyelesaian. SPI dan Partai Buruh juga menyoroti jumlah petani kecil dan rakyat tak bertanah semakin meningkat. Hanya satu persen penduduk Indonesia yang memiliki tanah di dalam negeri.