KOMPAS/SUPRIYANTO
Ilustrasi
Kontestasi Pilkada 2024 memasuki momentum strategis, yaitu masa kampanye yang menghadirkan perjumpaan wacana dan narasi politik antara kandidat dan masyarakat. Tentu di masa ini, kita tidak berharap para kandidat mendominasi mekanisme kampanye melalui serangkaian alat peraga kampanye (baliho, poster, bendera, dll), orasi monolog, sampai penggunaan buzzer di media sosial semata. Semua itu tidak akan menghadirkan ruang-ruang politik yang deliberatif dalam membincangkan isu-isu daerah yang sangat strategis dan fundamental bagi masyarakat.
Isu politik ruang terutama dalam konteks pembangunan struktur dan pola ruang kewilayahan secara materiil ataupun praktik spasial yang berkelidan nanti menjadi bagian utama dari substansi kebijakan politik daerah. Isu-isu dan kebijakan politik terkait perubahan iklim, ekologi, dan industrialisasi sangat berkaitan erat dengan praktik spasial masyarakat.
Di dalam suasana itu, isu politik ruang menjadi sangat fundamental dalam momentum pilkada, yaitu sebagai mekanisme untuk menentukan apa wacana dan siapa aktor politik utama yang secara langsung akan bertanggung jawab atas kebijakan tata ruang dan perencanaan pembangunan daerah.
Baca juga: Web 2.0 dan Kampanye Pilkada Serentak: Mampukah 2024 Lebih Inklusif?
Kandidat yang terpilih akan memegang kendali atas alokasi lahan, distribusi sumber daya, prioritas pembangunan, dan penggunaan ruang publik. Hal ini memengaruhi arah perkembangan daerah, baik dalam hal estetika, fungsi, maupun efisiensi tata ruang.
Maka, pilkada sudah semestinya menjadi arena bagi kandidat untuk mendialektika visi mereka tentang bagaimana ruang kota akan dibentuk. Apakah melalui pembangunan infrastruktur besar, kawasan industri, permukiman, ataukah ruang hijau yang berkorelasi dengan struktur fisik dan sosial kota? Selain itu, juga membentuk persepsi warga tentang kualitas hidup di ruang wilayah tersebut.
Pilkada menjadi momen penting di mana berbagai makna ruang kemudian diperebutkan dan dimanifestasikan melalui kebijakan-kebijakan pembangunan daerah.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS
Papan reklame bergambar wajah kandidat yang akan mengikuti pilkada serentak terpasang di berbagai sisi jalan di Kendari, Sulawesi Tenggara, Kamis (26/9/2024).
Di dalam lanskap politik ruang, persepsi terhadap ruang tidak sekadar soal kewilayahan tertentu (kota/kabupaten ataupun provinsi) dalam ukuran angka dan statistik materiil, teknis-administratif, atau bangunan-bangunan fisik. Persepsi terhadap ruang juga sebagai konstruksi sosial, politik, dan budaya yang penuh dengan makna, kepentingan, dan kekuasaan yang memengaruhi praktik spasial dalam sebuah lokus.
Secara sederhana, ruang dibentuk melalui interaksi sosial, hubungan kekuasaan, dan simbolisme yang tecermin dalam kehidupan sehari-hari (Lefebvre, 1991; Soja, 1996). Di dalam perspektif itu, setiap ruang, baik itu lingkungan maupun ruang publik, dipenuhi dengan makna yang diciptakan oleh dialektika antar-aktor-aktor politik, masyarakat, sampai korporasi.
Misalnya kebijakan pembangunan kota yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi senantiasa memproduksi ruang-ruang kota melalui industrialisasi, perdagangan, dan lain-lain yang sarat dengan kapitalisasi ruang.
Pemanfaatan ruang kota sering kali mencerminkan kepentingan ekonomi dan politik.
Melalui analisis di atas, maka pilkada tidak hanya menentukan tata letak fisik ruang-ruang bangunan diletakkan dan dibangun, tetapi juga bagaimana makna ruang dibentuk dan melahirkan praktik sosial dan ekonomi. Pemerintah daerah yang dipilih melalui pilkada akan menetapkan kebijakan terkait distribusi sumber daya, akses terhadap layanan publik, dan pembangunan infrastruktur yang memengaruhi siapa yang memiliki kendali atas ruang kota dan siapa yang terpinggirkan.
Maka, sejalan dengan itu, konstruksi ruang sosial yang terbentuk adalah dinamika masyarakat modernisasi dan industrial. Sebaliknya, ruang-ruang yang didominasi ideologi ekologi, keberlanjutan lingkungan selalu berkaitan dengan upaya pembangunan ruang-ruang.
Pemanfaatan ruang kota sering kali mencerminkan kepentingan ekonomi dan politik. Ruang-ruang tertentu diberi prioritas untuk dikembangkan atau dilindungi, sementara ruang-ruang lain mungkin dibiarkan atau dialihkan untuk kepentingan bisnis besar. Termasuk dalam menghadapi kontestasi ruang, perebutan terhadap hak-hak atas ruang, konflik agraria, keterasingan masyarakat setempat akibat pembangunan dan modernisasi melalui kapitalisasi ruang (Harvey, 2008).
Untuk itu, menjadi sangat penting bahwa masyarakat sedari awal hadir untuk terlibat dalam merumuskan wacana soal ruang-ruang wilayah, mendiskusikan rencana tata ruang, dan pembangunan ke depan.
Sejatinya pilkada sebagai instrumen justifikasi politik publik, preferensi kepentingan masyarakat daerah yang dapat menghadirkan dialektika politik ruang yang seperti apa dan bagaimana diwacanakaan dan dibangun dengan para kandidat. Kandidat pilkada sering kali berperan dalam membangun narasi tentang pembangunan kota, yang kemudian memengaruhi bagaimana masyarakat memandang ruang kota.
Visi pembangunan kota modern, berkelanjutan, atau ramah lingkungan, misalnya, dapat menjadi bagian dari kampanye politik yang membentuk persepsi publik tentang apa yang dianggap sebagai kota ideal. Persepsi yang terbangun sering kali menjadi alat legitimasi penguasaan ruang oleh kelompok-kelompok yang lebih berkuasa.
Kandidat yang berhasil menang memiliki mandat untuk mengontrol ruang kota dan legitimasi tersebut sering digunakan untuk melaksanakan proyek-proyek besar yang mungkin menguntungkan segelintir elite ekonomi dan politik (Smith, 1984).
Kebijakan ruang yang dilaksanakan setelah pilkada dapat memperkuat kekuatan politik tertentu di kawasan tertentu. Misalnya dengan mengarahkan proyek-proyek pembangunan ke daerah-daerah yang mendukung kandidat tersebut, atau sebaliknya, mengabaikan kawasan yang tidak memberikan dukungan politik.
Baca juga: Pilkada 2024, Momentum Penguatan Otonomi dan Pembangunan Daerah
Maka, kemudian menjadi sangat penting bagi masyarakat untuk dapat mencerna wacana pembangunan daerah. Apakah pengembangan komersial dan industrialisasi demi pertumbuhan ekonomi wilayah semata atau lebih mendominasi pada upaya peningkatan ruang hijau dan infrastruktur sosial untuk mengatasi ketimpangan dan isu-isu keberlanjutan lingkungan.
Persepsi ruang ini akan memengaruhi bagaimana masyarakat memandang daerah mereka dan ruang mana yang dianggap penting bagi perkembangan sosial dan ekonomi kota. Kepala daerah terpilih memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan pembangunan kota, terutama dalam mengontrol proyek-proyek besar seperti pembangunan jalan tol, kawasan perumahan, pusat bisnis, atau tempat rekreasi.
Pilkada menjadi mekanisme di mana berbagai aktor (pengembang, masyarakat, pemerintah, dan organisasi sipil) berupaya memengaruhi bagaimana ruang ini akan dikelola dan dikembangkan. Kandidat yang memiliki hubungan dengan pengembang besar sering kali memiliki agenda pembangunan yang lebih berorientasi pada investasi komersial dan privatisasi ruang publik, yang dapat membatasi akses masyarakat terhadap ruang-ruang kota.
Sebaliknya, kandidat dengan pendekatan populis atau inklusif mungkin akan menekankan aksesibilitas ruang kota bagi semua kalangan. Terutama memperjuangkan ruang bagi masyarakat marjinal, seperti permukiman informal, wilayah kumuh, atau kelompok masyarakat miskin untuk mendapatkan hak-hak atas ruang secara fisik ataupun sosial.
Kebijakan kepala daerah terpilih akan menentukan apakah ruang-ruang ini akan digusur atau diberdayakan melalui program-program revitalisasi atau pengembangan yang inklusif.
Di dalam beberapa kasus, ruang-ruang yang dihuni oleh masyarakat miskin sering kali dianggap sebagai penghalang pembangunan dan kemudian menjadi sasaran penggusuran demi proyek modernisasi atau infrastruktur besar. Potret itu sangat terlihat pada kebijakan tata ruang yang dihasilkan sering kali memiliki implikasi terhadap kelestarian lingkungan dan urbanisasi.
Baca juga: Pilkada dan Kepemimpinan Daerah
Pertumbuhan kota yang tidak terkontrol, penggundulan lahan, alih fungsi lahan untuk kapitalisasi ruang serta pembangunan infrastruktur besar yang mengabaikan dampak ekologis menjadi isu yang sering kali terabaikan dalam proses politik.
Kandidat yang memahami pentingnya integrasi aspek ekologis dalam pembangunan kota akan lebih cenderung merumuskan kebijakan yang berkelanjutan, seperti menjaga ruang terbuka hijau, melindungi kawasan hutan kota, dan mengelola dampak negatif dari pembangunan yang cepat.
Di sisi lain, kebijakan yang inklusif dapat mendorong program-program peningkatan kualitas hidup dan penyediaan ruang publik yang dapat diakses oleh semua kalangan, termasuk masyarakat marjinal.
Maka, sekali lagi, dalam konteks politik ruang, pilkada tidak hanya menjadi arena kontestasi kekuasaan, tetapi juga arena di mana dialektika pembangunan sudah dibicarakan secara terbuka yang nanti memengaruhi konstruksi dan produksi ruang sosial masyarakat. Bagaimana rencana pembangunan daerah akan sangat menentukan kontekstualisasi kehidupan sosial masyarakat ke depan.
Galang Geraldy, Dosen FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya