Industri penerbangan yang terpusat pada sejumlah maskapai dan relatif mahalnya harga avtur membuat harga tiket pesawat di Indonesia cenderung mahal. Operator penerbangan menjadi minim kompetisi sehingga harga tiket relatif dapat dikendalikan dengan mudah. Efisiensi usaha dan peran pemerintah sangat penting untuk menciptakan bisnis penerbangan yang sehat dan menguntungkan.
Untuk melihat relatif mahalnya harga tiket penerbangan tersebut dapat dimonitor melalui sejumlah aplikasi traveling yang populer seperti traveloka, agoda, tiket.com, dan trip. Dengan mengisi rencana perjalanan yang sama di keempat aplikasi itu maka akan tampak sejumlah perbedaan harga.
Untuk maskapai yang menyasar penerbangan berbiaya hemat atau low cost carrier (LCC) seperti Super Air Jet, Lion Air, Batik Air, Citilink, dan Pelita Air memiliki kompetisi harga yang relatif ketat. Rentang harganya berkisar antara Rp 1,4 juta hingga di bawah Rp 2 juta sekali perjalanan per penumpang. Semakin cepat membeli tiket maka peluang mendapatkan harga termurah akan semakin besar sekaligus leluasa memilih waktu keberangkatan pesawat.
Hal yang menarik dari tampilan penjualan tiket pesawat di agoda itu, ternyata ada pula maskapai asing, Air Asia yang menawarkan tiket berharga relatif murah. Nominalnya sekitar Rp 1,52 juta dan termasuk yang termurah di antara penerbangan kelas LCC. Harga tiket hemat Air Asia ini tidak terpaut jauh dengan harga tiket Trans Nusa yang sedikit lebih murah lagi di kisaran Rp 1,4 juta.
Sayangnya, maskapai yang bermarkas di Malaysia dan Trans Nusa itu hanya memilki satu jadwal penerbangan menuju Bali sehingga tiketnya kemungkinan akan cepat habis terpesan. Dengan demikian, konsumen akan bergeser membeli tiket penerbangan yang berharga lebih mahal di maskapai lainnya.
Fenomena tersebut menunjukkan betapa harga tiket pesawat itu memiliki fleksibilitas yang tinggi. Keterbatasan jumlah armada di suatu rute penerbangan akan memberikan peluang bagi maskapai yang menyediakan unit pesawat terbanyak pada rute bersangkutan. Hal ini berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang kurang baik dalam jangka panjang. Pasalnya, pihak operator dapat mengatur nominal harga tiket tanpa harus repot-repot bersaing dengan harga tiket dari operator lainnya.
Bahkan, dengan terbatasnya jumlah operator itu juga dapat memicu kerjasama antarpihak operator untuk membangun bisnis kartel yang berorientasi pada profit besar dan penguasaan pasar. Hal ini tentu saja akan menimbulkan persaingan bisnis tidak sehat dan merugikan bagi konsumen secara luas.
Berdasarkan data Asosisasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indoensia (INACA) 2023, menunjukkan bahwa Lion Air grup yang memiliki maskapai Lion Air, Batik Air, Wings Air, dan Super Air Jet menguasai hampir 65 persen penumpang domestik dengan jumlah produksi sebanyak 52,75 juta orang.
Selanjutnya, disusul maskapai plat merah grup Garuda yang terdiri dari maskapai Garuda Indonesia dan Citilink yang memproduksi penumpang sebanyak 17,55 juta orang atau sekitar 26 persen dari proporsi nasional. Posisi ketiga, terpaut sangat jauh ditempati Air Asia Indonesia yang mengusai sekitar 3 persen penumpang nasional. Posisi berikutnya diisi oleh kelompok Sriwijaya grup, Pelita Air, Trans Nusa, Trigana Air, dan Susi Air yang masing-masing hanya menguasai pasar nasional berkisar kurang dari dua persen.
Hal itu menunjukkan bahwa penerbangan domestik Indonesia dikuasai oleh dua kelompok besar, yakni Lion Air Group dan Garuda Indonesia Group. Dominasi ini kemungkinan akan terus membesar seiring dengan kian lebaranya sayap kedua grup ini menjangkau rute-rute internasional. Bahkan, Lion Air Group telah memiliki anak perusahaan yang fokus mengembangkan rute-rute internasional seperti Thai Lion Air, Batik Air Malaysia, Aussie Batik, dan Lion Langkawi.
Relatif mahalnya harga tiket di Indonesia disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya adalah biaya operasional yang relatif tinggi sehingga membuat bisnis penerbangan akan rentan merugi ketika tingkat keterisian penumpangnya atau passanger load factor (PLF) rendah. Dengan PLF yang tidak maksimal maka akan mendorong operator untuk menaikkan harga tiket agar bisnisnya tidak merugi. Langkah ini kemungkinan akan diterapkan pada rute-rute yang sepi penumpang.
Salah satu variabel yang menyebabkan biaya operasional tinggi adalah harga bahan bakar minyak (BBM) jenis avtur relatif mahal di Indonesia. Bahkan, CEO Air Asia Tony Fernandes mengatakan bahwa harga avtur Indonesia merupakan yang termahal di kawasan ASEAN. Harga avtur Indonesia lebih tinggi sekitar 28 persen di kawasan Asia Tenggara.
Berdasarkan data International Air Transport Association (IATA), pada 6 September 2024 lalu menunjukkan bahwa harga jet fuel di seluruh dunia rata-rata sekitar 75,75 dollar AS/barrel. Untuk kawasan Asia and Oceania yang menjadi region wilayah ASEAN dan Indonesia menunjukkan harga rata-rata BBM jet pesawat sekitar 87,30 dollar AS/barrel.
Khusus wilayah Indonesia, berdasarkan data dari Jet-a1-fuel.com menunjukkan harga bahan bakar pesawat jet per 11 September 2024 sebesar 86,4 dollar AS/barrel. Dengan estimasi nilai kurs dollar AS sekitar Rp 15.400 maka harga avtur tersebut senilai Rp 1.330.560 per barrel. Bila dibuat satuan lebih kecil maka harganya sekitar Rp 8.368 per liter berdasarkan harga pasar yang dilaporkan oleh Jet-a1-fuel.com
Nominal itu terpaut cukup jauh dengan harga avtur untuk pesawat penerbangan domestik yang di suplai PT Pertamina. Berdasarkan laman onesolution.pertamina.com terlihat harga pengisian bahan bakar di sejumlah bandara di Indonesia, di mana harga rata-rata per hari ini (11/9) lebih dari Rp 13.500 per liter. Nominal harga ini menunjukkan adanya gap harga yang sangat jauh dengan data global yang disampaikan oleh Jet-a1-fuel.com dan juga IATA.
Perbedaan harga tersebut kemungkinan disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya karena bahan baku minyak bumi Indonesia yang sebagian besar adalah impor asing. Berdasarkan data bp Statistical Review of World Energy 2022, produksi minyak bumi Indonesia pada tahun 2021 sebesar 692 ribu barrel per hari. Padahal, kebutuhan konsumsi produk-produk turunan minyak bumi per hari mencapai 1.471 ribu barrel. Artinya, setiap hari terjadi defisit sekitar 770 ribu barrel dan kekurangan ini harus didatangkan dari impor sejumlah negara. Hal ini memicu harga produk BBM minyak rentan bergejolak setiap saat.
Dari semua produk BBM yang dihasilkan dan dikonsumsi untuk sektor transportasi, proporsi avtur secara nasional hanya sekitar 5,69 persen pada tahun 2023. Berdasarkan data handbook of energy and economic statistic of Indonesia (HEESI) 2023, menunjukkan proporsi konsumsi avtur cenderung mengecil. Proporsi tertinggi terjadi pada tahun 2018 hingga sekitar 8,70 persen dengan total penjualan avtur mencapai 5,72 juta kiloliter. Namun, setelah itu proporsinya kian susut seiring hadirnya pandemi Covid-19. Tahun 2023 mulai bangkit dan mampu menyerap avtur hingga sebesar 4,33 juta kilo liter.
Berdasarkan data HEESI 2023, harga energi per unit jenis BBM berfuktuasi, termasuk juga untuk jenis avtur. Pada tahun 2023, harga avtur berkisar Rp 2,85 juta per barrel atau sekitar Rp 17.900 per liter. Nominal ini jauh berbeda dengan harga avtur saat permintaannya tinggi pada tahun 2018 yang senilai Rp 1,71 juta per barrel atau sekitar Rp 10.700 seliter.
Dengan harga avtur saat ini yang cenderung lebih murah dari tahun lalu, mengindikasikan bahwa industri penerbangan nasional tengah berusaha bangkit kembali seperti masa kejayaan sebelumnya. Semakin tingginya frekuensi penerbangan dan jumlah penumpang yang semakin banyak maka tingkat pemintaan avtur juga kian tinggi. Keekonomian penyediaan energi akan lekas tercapai sehingga akan menekan harga avtur menjadi lebih murah lagi.
Untuk sekarang ini, tingkat keuntungan bisnis pesawat relatif sangat kecil dan berisiko tinggi merugi. Ilustrasi dari Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi) Alvin Li menunjukkan bahwa komponen avtur menyumbang sekitar 35 persen dari seluruh biaya operasional. Sebagai ilustrasinya, Maskapai layanan penuh (full service carrier/FSC) jurusan Jakarta-Medan dengan PLF hingga 100 persen memiliki margin keuntungan sebesar 10,7 persen. Namun, bila PLF hanya terisi 70 persen maka margin kerugian mencapai 27,5 persen. Dapat dibanyangkan apabila PLF kurang dari 70 persen maka kerugiannya akan lebih dalam lagi. (Kompas.id, 19 Juli 2024)
Untuk maskapai bertarif rendah (LCC), dengan PLF 100 persen diperkirakan masih akan mengantongi margin kerugian sebanyak lima persen. Dengan PLF kurang dari 100 persen maka kerugiaanya akan semakin besar. Hitungan PLF 70 persen margin kerugiannya akan mencapai 50 persen.
Kalkulasi tersebut menunjukkan bahwa tingkat risiko rugi maskapai penerbangan sangat tinggi. Perlu upaya pembenahan dari sisi penyedia jasa agar biaya operasionalnya kian rendah. Namun, hal ini perlu campur tangan pemerintah karena industri penerbangan ini lekat dengan sejumlah daya dukung operasional berstandar internasional.
Oleh karena itu, pemerintah menyiapkan sejumlah langkah efisiensi penerbangan dan berupaya penurunan harga tiket. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam keterangannya di Kantor Presiden, Jakarta, Senin, 4 April 2022, menyebutkan ada lima langkah untuk mencapai target itu. Pertama, efisiensi operasi biaya pesawat. Kedua, pembebasan bea masuk dan pembukaan larangan terbatas barang impor tertentu. Ketiga, perhitungan ulang skema tarif. Keempat, evaluasi pendapatan kargo. Kelima, insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP).
Dengan rencana tersebut harapannya biaya operasional penerbangan dapat kian mengecil, tercipta efisiensi usaha yang sehat, harga tiket menjadi turun, serta mendorong minat konsumen untuk berpergian dengan pesawat terbang. Industri penerbangan kian sehat serta ekonomi daerah dapat turut terakselerasi kemajuannya seiring tingginya mobilitas masyarakat dengan angkutan udara. (LITBANG KOMPAS)