TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat kinerja DPR 2019-2024 memiliki sederet panjang hal negatif di bidang agraria. Kinerja anggota legislatif yang baru saja menuntaskan masa tugasnya tersebut tidak pernah melakukan evaluasi mendasar terhadap pelaksanaan agenda reforma agraria Pemerintahan Presiden Jokowi selama lima tahun terakhir.
Akibatnya, implementasi reforma agraria jalan di tempat. "Bahkan pelaksanaanya dimanipulasi sebatas bagi-bagi sertifikat dan menciptakan liberalisasi agraria melalui pasar tanah," kata Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, dalam siaran pers, Kamis 2 Oktober 2024.Berdasarkan catatan KPA selama 2015-2023, Presiden Jokowi melalui Menteri ATR/BPN hanya mampu menertibkan tanah bekas HGU dan HGB seluas 77 ribu hektare dari 7,24 juta hektare tanah yang terindikasi telantar. Sedangkan DPR periode itu juga tidak melakukan dialog partisipatif dan bermakna bersama perwakilan petani, rakyat dan organisasi masyarakat sipil untuk mengurai dan membenahi masalah konflik agraria yang terus meningkat di berbagai wilayah dari waktu ke waktu.
Hasilnya, kata dia, "Konflik agraria lima tahun terakhir terus menumpuk, menjadikan satu dekade Pemerintahan Presiden Jokowi sebagai era tertinggi letusan konflik agraria dengan 2.939 kasus (2015-2023)."
DPR, bersama pemerintah, disebut justru menjadi motor utama lahirnya UU Cipta Kerja (UUCK) yang telah mengamputasi puluhan kebijakan pro rakyat di bidang agraria dan mengkhianati UU Pokok Agraria (UUPA). "Alih-alih melahirkan produk legislasi yang memenuhi harapan kaum tani dan gerakan reforma agraria," kata Dewi. DPR juga dinilai gagal menjalankan fungsinya sebagai pengawas dan pengontrol jalannya pemerintahan. Berbagai kebijakan investasi dan pembangunan yang mengarah pada praktek-praktek perampasan tanah berjalan tanpa peringatan keras dari wakil rakyat di parlemen.
Beberapa kebijakan itu dituturkan Dewi adalah pembentukan Lembaga Bank Tanah, percepatan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN); Pengampunan Ketelanjuran Bisnis Ilegal Kehutanan, Tambang dan Sawit; Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK); Food Estate; impor pangan; HPL, HGU 190 tahun dan HGB 180 tahun di IKN; Perhutanan Sosial (PS) dan kebijakan Distribusi manfaat (Perkebunan Sosial) di wilayah-wilayah konflik akibat klaim PTPN; dan suburnya praktik korupsi agraria-mafia tanah yang semakin meminggirkan kehidupan kaum tani, nelayan, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan lainya.
Secara teknis, persoalan klasik kelembagaan yang telah berlangsung sejak Orde Baru juga dianggap menjadi salah satu hambatan kinerja monitoring dan evaluasi yang dilakukan DPR RI selama ini. "Terutama mengenai terpisah-pisahnya pembagian komisi yang memantau Kementerian/Lembaga di bidang agraria, seperti Kementerian ATR/BPN, Kementerian LHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Desa PDTT, dan Badan Geo Spasial," kata Dewi.
Atas catatan kritis di atas, Dewi mengingatkan seluruh Anggota DPR dan DPD terpilih periode lima tahun ke depan secara serius dan konsekuen bekerja untuk mengedepankan kepentingan rakyat dan agenda reforma agraria. DPR dan DPD sudah selayaknya mengembalikan mukanya sebagai wakil rakyat yang memiliki peran strategis dalam pembentukan hukum, anggaran pembangunan, dan mengawasi kinerja pemerintahan sesuai dengan mandat UUPA 1960.
Sebelumnya, Direktur Land Reform Direktorat Jenderal Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN Rudi Rubijaya mengklaim reforma agraria sudah mencapai target yang diatur RPJMN 2020-2024 seluas 9 juta hektare. Pemerintah juga melegalisasi aset melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), sertifikasi tanah, transmigrasi, serta pendaftaran tanah ulayat. Rudi menyebutkan capaian legalisasi aset sudah seluas 10,7 juta hektare atau 238 persen dari target 4,5 juta hektare. Dari sisi bidang tanah, saat ini terdaftar 117 juta lebih bidang tanah.