INDONESIA menunjukkan kepemimpinannya dalam kerja sama Selatan-Selatan dengan menjadi tuan rumah acara South-South Exchange 2024 (SSE 2024), akhir September lalu yang mempertemukan para delegasi dari berbagai negara, yakni Brazil, Ekuador, Indonesia, Kamboja, Kosta Rika, dan Republik Demokratik Kongo untuk menciptakan peluang kemitraan dalam mempercepat aksi iklim global demi mengurangi khususnya dari sektor kehutanan (Forest and Other Land Use/FOLU) di Negara yang berpartisipasi dalam kerja sama Selatan-Selatan.
Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup Joko Tri Haryanto mengatakan sebagai lembaga pemerintah yang mengelola dana (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) serta dana lingkungan secara umum mengajak peserta South-South Exchange untuk dapat berbagi cerita tentang bagaimana pengalaman, tantangan serta peluang dalam mengakses dan mengelola dana tersebut dalam upaya mengurangi Nationally Determined Contribution (NDC). NDC merupakan dokumen Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional yang memuat komitmen dan aksi iklim sebuah negara yang meratifikasi Perjanjian Paris.
"Peluang akses dana REDD+ RBP dapat menjadi pendanaan utama untuk mencapai NDC di sektor FOLU. Negara-negara dengan hutan tropis masih memerlukan akses terhadap pendanaan iklim dalam jumlah yang lebih besar untuk mencapai target NDC-nya. Pengelolaan pendanaan REDD+ RBP ini memerlukan instrumen/skema yang lebih fleksibel untuk mengefisienkan dan mengefektifkan pelaksanaan programnya," ujar Joko seperti dikutip dari keterangan tertulis UNDP, yang diterima Jumat (4/10).
SSE 2024 memberikan wadah bagi negara-negara peserta untuk bertukar wawasan, berbagi pengalaman dan memperkuat kerja sama dalam pengelolaan program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+) dengan pendanaan Pembayaran Berbasis Hasil (Results-Based Payments/RBP) di bawah skema Green Climate Fund (GCF) serta skema pendanaan iklim lainnya.
Penguatan kapasitas arsitektur REDD+ dan pendukungnya dilakukan melalui pematangan elemen arsitektur REDD+ nasional, antara lain, penyesuaian STRANAS REDD+ dengan target NDC, Acuan Tingkat Emisi di Sektor Kehutanan (Forest Reference Emission Level/FREL) yang dijadikan acuan tingkat emisi sub nasional, Kerangka Pengaman REDD+ (Safeguard Information System REDD+), kebijakan pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (Monitoring, Reporting, and Verification/MRV), Sistem Registri Nasional (SRN), serta kebijakan carbon pricing. Di samping penguatan nasional, arsitektur REDD+ di tingkat daerah juga didukung penerapannya dengan pengukuran FREL provinsi, dan pembuatan SIS-REDD+ dan MRV provinsi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan, bahwa Indonesia telah menunjukkan keberhasilan implementasi REDD+ yang meliputi dua proyek di Tingkat Nasional dan dua proyek Sub-Nasional, yaitu:
1. Memperoleh insentif program REDD+ RBP dengan memperoleh pendanaan sebesar 1 03,78 juta US dollar dari Green Climate Fund (GCF) pada tahun 2014 sampai dengan 2016 . Sebagai bentuk upaya pengurangan emisi yang lebih ambisius, Indonesia juga telah menetapkan Program FOLU Net Sink untuk mencapai target NDC sektor FOLU sebesar 60% pada 2030. 2. Kerja sama Bilateral Indonesia-Norway (RBC) dengan target pengurangan emisi 11,7 juta tCO2e (2016-2017) + 20 juta tCO2e (2017-2019) bernilai USD 56 juta + USD 100 juta, serta 2 proyek, 3. FCPF Carbon Fund di Provinsi Kalimantan Timur dengan target pengurangan emisi 22 juta tCO2e (2019-2024) senilai USD 110 juta, 4. BioCF-ISFL di Provinsi Jambi dengan target pengurangan emisi sebesar 14 juta tCO2e (2020-2025) senilai USD 70 juta.
Baca juga : Indonesia Perkuat Komitmen Atasi Dampak Perubahan Iklim di Second NDC
Joko menyebut sebagai salah satu pelopor dalam inisiatif REDD+, Indonesia telah menunjukkan keseriusannya dalam melakukan pengelolaan hutan berkelanjutan. Pada tahun 2007, Indonesia menjadi tuan rumah dan memfasilitasi negosiasi pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of the Parties ke-13 di Bali.
"Melalui pertemuan ini, Indonesia memainkan peran penting karena untuk pertama kalinya konsep REDD+ dikembangkan untuk mencakup pengelolaan hutan berkelanjutan, dan peningkatan karbon stok hutan, serta mendorong adanya insentif pendanaan bagi negara-negara yang berhasil menunjukkan kinerja pengurangan emisinya," terangnya.
Manfaat dari insentif yang didapatkan Indonesia diperuntukkan untuk mendukung kembali implementasi REDD+ dengan mengacu pada Strategi Nasional (STRANAS) REDD+. Program REDD+ yang dituangkan dalam STRANAS tersebut akan dihitung kontribusinya terhadap capaian target NDC yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019–2024.
Melalui kegiatan SSE 2024, Negara partisipan diharapkan dapat meningkatkan pemahaman komprehensif tentang implementasi REDD+ dan pengelolaan dana insentif REDD+ RBP terintegrasi agar dapat memberikan manfaat berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan memberikan kontribusi pada pengurangan emisi.
Dr. Aretha Aprilia, Kepala Unit Lingkungan, UNDP Indonesia mengatakan pihaknya berkomitmen penuh untuk mendukung visi Indonesia dalam mencapai target NDC dan FOLU Net Sink 2030.
"Kemitraan kami dengan pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan internasional lain akan terus fokus pada pemanfaatan pembiayaan inovatif, peningkatan kapasitas dan kebijakan sehingga sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)," ucapnya. (Ind)