SEBUAH capaian dan harapan keberlanjutan program yang akan memajukan para pelaku koperasi dan UKM di masa depan. Mungkin inilah kata yang pas untuk menggambarkan  buku Serial Pengarusutamaan Strategi Pengembangan Koperasi dan UKM yang diterbitkan oleh Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM). 

Perlu diketahui, semasa kepemimpinan Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM), Teten Masduki selama 5 tahun belakangan, seluruh capaian program yang dia lakukan selama menjabat dituangkan dalam 7 serial buku ini. Di dalamnya secara lengkap menggambarkan mengenai seluruh program yang telah dilakukan oleh KemenKopUKM semasa Teten menjabat.

Dalam kesempatan ini, buku serial kedua yang berjudul Rumah Produksi Bersama dan Minyak Makan Merah: Koperasi Modern Memutar Roda Hilirisasi & Industri Menengah Nasional merupakan buku yang layak untuk dipahami dan dicerna oleh pemerintahan baru, khususnya bagi sosok yang akan menduduki kursi MenKopUKM nantinya.

Buku setebal 214 halaman ini dibuka dengan bab awal yang menjelaskan tentang upaya KemenKopUKM untuk mewujudkan industrialisasi UMKM, yang merupakan pengejawantahan dari upaya Presiden Joko Widodo untuk melakukan hilirisasi sumber daya alam di Tanah Air.

Hilirisasi sendiri dapat diartikan sebagai proses mengubah bahan baku mentah menjadi suatu produk sehingga menciptakan nilai tambah. Dalam hal ini, Presiden Jokowi ingin Indonesia tidak lagi hanya mengekspor bahan mentah saja, tapi harus diolah agar Indonesia mendapatkan keuntungan lebih besar dengan menciptakan produk setengah jadi atau pun produk yang sudah jadi.

Pada halaman 14, dikutip pernyataan Presiden Jokowi yang mengatakan, “Sudah lebih dari 400 tahun Indonesia selalu mengekspor bahan mentah, sejak VOC, kirim bahan mentah. Ya, kita dapat, dapat uang tapi kecil sekali. Dulu Indonesia ini pernah booming minyak tahun 70-an, tapi kita tidak mendapatkan nilai tambah dari sana. Tahun 80-an saya ingat kita ini pernah booming kayu, hutan dibabat tapi kita juga tidak mendapatkan nilai tambah dari sana.  Sejarah lama itu tidak boleh terulang lagi, jangan ekspor bahan mentah.”

Harapan untuk melakukan hilirisasi ini nyatanya juga dapat diaplikasikan untuk pelaku koperasi dan UMKM. Hal itulah kemudian yang mendorong MenKopUKM berinisiatif untuk membangun UMKM dan koperasi yang berdaya saing dan mendorong produktivitasnya. Selain itu, hal ini juga dikatakan sejalan dengan agenda besar KemenKopUKM untuk membuat UMKM naik kelas.

Perwujudan dari cita-cita tersebut dilakukan dengan membentuk Rumah Produksi Bersama bagi UMKM untuk melakukan percepatan hiliriasi bagi pelaku UMKM. 

Berkaca dari kondisi UMKM yang kurang dimanfaatkan untuk berkontribusi dalam penciptaan nilai tambah ekonomi, membuat MenKopUKM merasa bahwa keterlibatan UMKM dalam industri, khususnya dalam hal rantai pasok merupakan sebuah keniscayaan untuk mewujudkan hilirisasi UMKM. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan kehadiran Rumah Produksi Bersama.

“Dengan fasilitas ini UMKM bisa mengolah sumber daya alam yang dimiliki untuk industri. Misalnya kita bisa mengolah rumput laut yang diproduksi nelayan menjadi karagenan, ikan gabus bisa kita olah menjadi albumin, dan lain sebagainya. Dengan Rp10 miliar sampai Rp15 miliar kita sudah bisa bikin pabrik-pabrik kecil yang bisa memproduksi barang setengah jadi yang menjadi supply chain ke industri,” kutipan pernyataan Teten di halaman 22.

Dampak positif
Dalam buku ini, dipaparkan tujuan utama dari pembangunan Rumah Produksi Bersama, di antaranya menjamin ketersediaan dan kepastian tersedianya pasokan bahan baku dan bahan penolong dalam produksi, menjamin kuantitas dan kualitas produk UMKM yang sesuai dengan permintaan pasar, memangkas mata rantai produksi sehingga memperkuat daya saing produk UMKM Indonesia di pasar internasional, dan mendorong kinerja UMKM lebih baik agar memberikan dampak positif terhadap kenaikan efisiensi produksi.


Selain itu, tujuan lainnya adalah memberikan ketersediaan alat dan sumber daya manusia yang mumpuni sehingga dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi, memberikan jaminan dan kepastian pengembalian pinjaman dari perbankan atau lembaga keuangan lainnya, memberikan kepastian pemenuhan permintaan pasar baik dalam negeri maupun luar negeri baik kuantitas maupun kualitas produk, serta penguatan pasar dalam negeri dan peningkatan ekspor, sehingga akan menaikkan pendapatan daerah dan menghasilkan devisa bagi negara.

Rumah Produksi Bersama pun bukan hanya sekadar ucapan saja, pada 2022 KemenKopUKM telah membangun tiga Rumah Produksi Bersama yaitu di Kabupaten Kutai Kartanegara (Provinsi Kalimantan Timur) untuk mengolah komoditas jahe, Kabupaten Minahasa Selatan (Provinsi Sulawesi Utara) untuk hilirisasi komoditas kelapa, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk hilirisasi komoditas sapi potong. 

Pada 2023, pembangunan Rumah Produksi Bersama dilanjutkan di Kabupaten Batubara (Provinsi Sumatera Utara) untuk hilirisasi komoditas cabai merah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk hilirisasi komoditas susu, Kabupaten Tanah Laut (Provinsi Kalimantan Selatan) untuk hilirisasi komoditas karet, Kabupaten Jembrana (Provinsi Bali) untuk hilirisasi komoditas kakao, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Provinsi Sulawesi Selatan) untuk hilirisasi komoditas garam, Kabupaten Sukoharjo (Provinsi Jawa Tengah) untuk komoditas Rotan, Kabupaten Manggarai Barat (Provinsi NTT) untuk hilirisasi komoditas bambu, dan Kabupaten Garut (Provinsi Jawa Barat) untuk hilirisasi komoditas Kulit. Sementara. Pada tahun ini, pembangunan Rumah Produksi Bersama dilakukan di Aceh dengan komoditas nilam. 

Fondasi
Teten menegaskan bahwa Rumah Produksi Bersama tidak berhenti di hilirisasi, tapi sesungguhnya menjadi fondasi untuk membangun industri menengah untuk menciptakan UMKM naik kelas masuk ke teknologi, UMKM jadi industrialisasi, dan UMKM yang dapat menjadi basis industri nasional.

Ucapan tersebut juga bukan hanya isapan jempol belaka. Pasalnya di buku ini juga diperlihatkan contoh nyata penerapan Rumah Produksi Bersama komoditas garam yang terletak di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Rumah Produksi Bersama komoditas kakao di Jembrana Bali, dan komoditas rotan di Sukoharjo.

Kehadiran Rumah Produksi Bersama di Pangkajene dan Kepulauan misalnya, yang berhasil memproduksi total 750 ton garam dan mencatat angka penjualan 687 ton. Sementara di Jembrana, kehadiran Rumah Produksi Bersama telah meningkatkan kapasitas maksimal produksi kakao mencapai 150 kilogram per hari. Terakhir adalah komoditas rotan, dengan hasil produksi berupa rotan fitrit, rotan poles, dan furnitur dengan kapasitas produksi 247 ton per bulan.

Ketiganya hanyalah contoh kecil dari upaya untuk menaikelaskan UMKM dengan cara menggali potensi sumber daya alam lokal yang berlimpah dan berkualitas yang dituangkan secara gamblang dalam buku ini.

Beralih ke bab kedua yang menceritakan capaian dari KemenKopUKM di bawah kepemimpinan Teten. Minyak Makan Merah namanya. Berawal dari fenomena kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng yang ramai disorot oleh media pada 2022 lalu, inovasi untuk mengembangkan minyak goreng yang murah namun memiliki gizi yang baik dan aman untuk dikonsumsi masyarakat.

Terdapat beberapa faktor mengapa minyak makan merah ini dikatakan layak untuk dikembangkan. Selain untuk menanggulangi kelangkaan minyak goreng, minyak makan merah adalah functional food yang bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan, salah satunya sebagai fungsi farmasi untuk mengatasi stunting atau gizi buruk.

Hal lain yang tak kalah penting, ini bisa menjadi pemberdayaan petani di tingkat bawah, mereka dapat ikut serta dalam industri hilir minyak sawit lewat teknologi pengolahan CPO menjadi minyak makan merah yang lebih terjangkau biayanya.

Tak perlu waktu lama, pada 14 Maret 2024, Presiden Jokowi meresmikan Pabrik Percontohan Minyak Makan Merah Pagar Merbau yang terletak di Deli Serdang, Sumatra Utara.  Kapasitas pabrik ini adalah 10 ton CPO per hari dengan target menghasilkan 7,8 ton minyak makan merah per hari. 

Dalam sambutannya, Presiden menyatakan kehadiran pabrik ini diharapkan bisa memberikan nilai tambah yang signifikan bagi petani sawit, terutama yang sudah berbentuk koperasi.

Secara lengkap buku ini menjelaskan berbagai keunggulan dari Minyak Makan Merah, mulai dari teknologinya yang terjangkau, kandungan vitamin yang akan menyehatkan masyarakat, keterjangkauan harga, dan lain sebagainya.

Salah satu hal yang juga ditekankan dalam inovasi Minyak Makan Merah adalah hilirisasi komoditas kelapa sawit. Keberadaan Minyak Makan Merah memiliki efek berganda yang akan menguntungkan baik itu bagi petani sawit yang akan menyuplai bahan baku yang tidak akan lagi hanya mendapat harga jual murah dari menjual CPO, pemberdayaan koperasi yang akan mengelola sekaligus memproduksi Minyak Makan Merah, sampai dengan keterjangkauan harga minyak goreng bagi masyarakat.

Bukti nyata dari semua hal tersebut sudah dirasakan langsung oleh Koperasi Pujakesuma yang menyatakan bahwa keberadaan pabrik Minyak Makan Merah telah membuat koperasi tidak lagi hanya bergerak di sektor simpan pinjam saja tetapi juga dapat memiliki pabrik, dan ikut serta dalam hilirisasi di industri sawit nasional yang selama ini hanya dihuni oleh para pemodal besar. 

Secara garis besar, buku ini memperlihatkan upaya nyata dari KemenKopUKM untuk mewujudkan UMKM naik kelas dan juga transformasi koperasi menuju korporasi. Sekali lagi, buku ini harus dipahami secara baik oleh pemerintahan baru nantinya agar keberlanjutan program ini diteruskan, sehingga impian untuk membuat UMKM dan koperasi sejahtera sekaligus memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat dapat terlaksana. (H-2)