Praktik politik uang dalam pemilu akan merusak integritas demokrasi dan mendorong korupsi.

 

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas, Syamsul Anwar, dan Hamim Ilyas (dari kanan ke kiri) menggelar konferensi pers terkait pilkada di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Selasa (15/10/2024). Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menegaskan bahwa politik uang dalam bentuk apa pun adalah haram.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas, Syamsul Anwar, dan Hamim Ilyas (dari kanan ke kiri) menggelar konferensi pers terkait pilkada di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Selasa (15/10/2024). Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menegaskan bahwa politik uang dalam bentuk apa pun adalah haram.

YOGYAKARTA, KOMPAS — Jelang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak pada 27 November nanti, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan segala bentuk suap, sogokan, ataupun imbalan untuk memperoleh suara adalah haram. Praktik politik uang dalam pemilu akan merusak integritas demokrasi dan mendorong korupsi.

Hal itu diungkapkan dalam konferensi pers di Kantor PP Muhammadiyah, di Yogyakarta, Selasa (15/10/2024) siang. Hadir sebagai narasumber Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid Syamsul Anwar; Ketua PP Bidang Hukum, HAM, dan Hikmah Busyro Muqoddas; Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Hamim Ilyas; serta Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah Ridho Al-Hamdi.

Hamim menjelaskan, fatwa ini merupakan pandangan keagamaan di Muhammadiyah untuk memperbaiki keadaan saat ini yang banyak dilanda korupsi. Politik uang menjadi salah satu penyebab maraknya korupsi. ”Berdasarkan Al Quran dan Hadits, politik uang atau risywah itu haram, baik yang memberi maupun menerima,” ujar Hamim.

Dampak politik uang, kata Hamim, akan membuat pemimpin yang terpilih hanyalah yang memberi uang. “Kalau terus-menerus menjadi pola, Indonesia bisa dijual karena yang memenangi pemilihan adalah orang yang bisa membayar pemilih,” katanya.

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas (kanan), Syamsul Anwar, dan Hamim Ilyas (tidak tampak) menggelar konferensi pers terkait Pilkada di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Selasa (15/10/2024).

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas (kanan), Syamsul Anwar, dan Hamim Ilyas (tidak tampak) menggelar konferensi pers terkait Pilkada di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Selasa (15/10/2024).

Busyro Muqoddas mengatakan, PP Muhammadiyah prihatin dengan politik uang yang masih marak ditemukan dalam setiap momen pemilu, termasuk pilkada. Birokrasi dari hasil pilkada yang dimenangkan melalui politik uang akan menjadi rawan korupsi.

Karena itu, dia pun menganjurkan kepada masyarakat agar menolak segala bentuk politik uang dalam pilkada serentak nanti. Hal ini sebagai upaya menyelamatkan bangsa, negara, dan umat dari ancaman kleptokrasi atau birokrasi yang korup.

Baca juga: ”Lapar Uang” dan Demokrasi Indonesia

”Masyarakat berhak mendapatkan pemimpin yang cerdas, jujur, dan rekam jejak jelas,” ucap Busyro.

Sementara itu, Ridho Al-Hamdi mengungkapkan, dari hasil kajian PP Muhammadiyah di sejumlah daerah, modal yang diperlukan seorang calon dalam pemilu besar. Dia mencontohkan, untuk menjadi seorang anggota DPRD kabupaten, minimal diperlukan dana Rp 1 miliar.

https://cdn-assetd.kompas.id/qdJl61uaoHezflHWxgtQUaFfOxY=/1024x1308/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F17%2Fb716879a-7172-4111-9a15-89dc0900e286_png.png

Jumlah itu akan lebih besar lagi untuk tingkatan legislatif provinsi atau nasional, yang bisa mencapai angka puluhan miliar rupiah. ”Berdasarkan tren ini, logikanya politik uang bisa lebih besar lagi dalam pilkada nanti,” katanya.

Karena modal yang disiapkan tak sedikit, Ridho mengatakan, para calon kepala daerah tentu tak mungkin hanya mengandalkan uang pribadi. Ujung-ujungnya, calon kepala daerah harus mendapatkan sokongan dari pemilik modal.

Baca juga: Politik Uang dan Komoditas ”Suara Rakyat”

”Ini artinya calon kepala daerah setelah terpilih akan berpikir cara mengembalikan modal itu dan membalas budi kepada pemilik modal melalui kebijakan atau program daerah,” ucapnya.

Hal itulah yang membuat politik uang haram karena memiliki daya rusak terhadap mental masyarakat. Selain itu, masa depan tata kelola birokrasi di daerah juga terancam.