Selama lima tahun lalu Baleg DPR cenderung menjadi tempat mempercepat pembahasan rancangan undang-undang, khususnya yang terkait kepentingan elite.

Oleh Kurnia Yunita Rahayu

JAKARTA, KOMPAS — Anggota Badan Legislasi DPR beramai-ramai mengkritik kinerja legislasi pada periode 2019-2024 yang kerap meninggalkan prinsip partisipasi publik yang bermakna. Sejumlah rancangan undang-undang diakui dibahas kilat karena terkait dengan kepentingan elite. Ke depan, dibutuhkan perumusan metode internal agar proses legislasi dilakukan sesuai kaidah peraturan perundang-undangan serta memprioritaskan kepentingan masyarakat.

Otokritik terhadap kinerja Badan Legislasi (Baleg) DPR muncul sepanjang rapat pleno evaluasi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020-2024 di Gedung Nusantara 1, Jakarta, Senin (28/10/2024). Rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia itu berlangsung sekitar tiga jam. Selain mengevaluasi Prolegnas yang dibuat oleh DPR periode sebelumnya, Baleg DPR periode 2024-2029 yang baru mulai bekerja itu juga mempersiapkan penyusunan Prolegnas Tahun 2025-2029 serta Prolegnas Prioritas Tahun 2025.

Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Almuzzammil Yusuf, mengatakan, kinerja Baleg perlu diperbaiki. Berkaca pada periode lalu, Baleg menjadi sorotan publik lantaran proses legislasi kerap meninggalkan prinsip partisipasi publik yang bermakna dalam perumusan undang-undang. ”Kemarin itu, ada undang-undang (yang dibahas) tiga hari, seminggu, satu hari, di mana partisipasi publiknya?” katanya.

Almuzzammil yang telah menjadi anggota Baleg sejak tahun 2004 mengatakan, praktik pembahasan rancangan undang-undang (RUU) secara kilat dan sama sekali tidak melibatkan publik tidak pernah terjadi sejak 20 tahun lalu. Sebelumnya, setiap RUU yang dibahas di Baleg minimal didiskusikan bersama di tiga kampus di tiga daerah yang berbeda. Ia pun mengklaim, Baleg sebelumnya pun konsisten untuk tidak memasukkan RUU ke prolegnas prioritas tahunan jika belum ada naskah akademik dan draf RUU terkait.

 

”Kalau RUU judulnya (baru) masuk, lalu seminggu kemudian selesai, lho siapa yang ada di belakang RUU ini,” kata Almuzzammil.

Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Muslim Ayub, menambahkan, kinerja Baleg periode lalu juga menunjukkan ketimpangan dalam pembahasan RUU. Ada sejumlah RUU yang pengusulan, pembahasan, serta pengesahannya tuntas dalam waktu beberapa hari saja karena terkait dengan kepentingan elite. Contohnya, RUU Dewan Pertimbangan Presiden dan RUU Kementerian Negara. 

Tak pernah terjadi

Sejumlah RUU yang bisa dibahas dalam waktu singkat itu, kata Muslim, umumnya berada dalam daftar kumulatif terbuka. Adapun dalam Prolegnas 2020-2024, dari total 256 daftar RUU yang ada, ada 193 yang masuk daftar kumulatif terbuka. Artinya, mayoritas RUU yang ada di prolegnas merupakan rancangan legislasi yang hanya mewakili kepentingan elite.

”Sementara ada beberapa RUU yang mewakili kepentingan masyarakat sampai sudah berulang tahun kelima, kesepuluh. Misalnya, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat,” katanya.

Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Saleh Partaonan Daulay, mengatakan, tidak bisa dimungkiri bahwa Baleg merupakan lembaga politik. Bukan hal yang aneh jika setiap anggotanya bermanuver politik terkait dengan pembahasan RUU. Akan tetapi, sepanjang periode 2019-2024 terdapat kejanggalan dalam proses kerja di Baleg.

”Ada beberapa RUU yang kalau dibahas secara reguler di komisi-komisi itu panjang (waktu) pembahasannya, tetapi saat ditarik ke Baleg (menjadi) lebih cepat. Padahal, logikanya pembahasan di Baleg semestinya lebih panjang karena jumlah anggota Baleg lebih banyak dari komisi,” ungkap Saleh.

Oleh karena itu, tambahnya, Baleg cenderung berperan sebagai tempat untuk mempercepat pembahasan RUU. Meski tidak menyebutkan secara detail, ia membenarkan bahwa ada sejumlah RUU yang terkendala di komisi-komisi lalu dipindahkan ke Baleg agar pembahasannya bisa dipercepat.

Perlu ketentuan baru

Untuk menghindari berulangnya kinerja Baleg yang menjadi sorotan masyarakat, menurut Saleh, perlu ada ketentuan yang disepakati secara internal. Ketentuan tersebut terkait dengan konsistensi pembahasan RUU yang sudah ada di prolegnas. Menurut dia, tidak boleh ada lagi RUU yang secara mendadak dimasukkan ke daftar kumulatif terbuka.

”Jadi, prolegnas harus benar-benar (RUU) yang kita perjuangkan. Kalau tidak begitu, tidak usah buat prolegnas,” kata Saleh.

Selain itu, Saleh juga mengusulkan agar Baleg lebih intens berkomunikasi secara formal dengan komisi-komisi dan pemerintah. Dalam komunikasi tersebut, baik Baleg, komisi, maupun pemerintah dapat mendiskusikan soal poin spesifik yang akan dibahas dari sebuah RUU. Dengan demikian, diharapkan waktu pembahasan setiap RUU bisa dipercepat karena para pembentuk UU sudah sama-sama memahami poin pembahasan secara spesifik.

Perlu diapresiasi

Dihubungi secara terpisah, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, berharap, kritik yang disampaikan oleh para anggota Baleg 2024-2029 benar-benar merupakan keinginan untuk mewujudkan perubahan di parlemen, khususnya dalam konteks pembentukan UU. Menurut dia, hal tersebut merupakan langkah yang perlu diapresiasi, karena Baleg mengakui bahwa kinerja Baleg pada periode sebelumnya tidak memperhatikan pastisipasi publik yang bermakna.

Kendati demikian, tambah Lucius, sejumlah kritik dan ide perbaikan itu harus dibuktikan dalam penyusunan prolegnas. Sebab, penyusunan prolegnas semestinya juga membuka ruang bagi masyarakat untuk mengusulkan RUU.

Adapun tantangan berikutnya adalah memperjuangkan usulan publik tidak hanya masuk daftar RUU yang ada di prolegnas, tetapi juga ke prolegnas prioritas tahunan. Jika itu tidak dilakukan, menurut dia, kritik soal minimnya partisipasi publik yang bermakna pada Baleg periode lalu tidak berarti apa-apa.

”Kalau ruang yang disediakan Baleg bagi publik untuk memberikan masukan hanya sekadarnya saja alias formalitas, jangan-jangan keprihatinan terhadap kinerja Baleg yang lama hanya omon-omon saja,” kata Lucius.