Program 3 juta rumah per tahun dengan anggaran minim membutuhkan sejumlah terobosan.
Oleh BM LUKITA GRAHADYARINI
JAKARTA, KOMPAS — Dengan anggaran terbatas dan target pembangunan rumah sebanyak 3 juta unit per tahun membutuhkan konsep dan strategi yang jelas. Pemerintah menyiapkan skenario efisiensi agar target membangun rumah sebanyak 3 juta unit per tahun bisa tercapai di era pemerintahan Prabowo-Gibran. Dukungan lintas kementerian dan lembaga amat dibutuhkan.
Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Hamka Baco Kady, mengaku terkejut dengan loncatan program pembangunan 3 juta rumah per tahun. Oleh karena itu, perlu dirumuskan konsep yang jelas untuk implementasinya. Sejak 2019 sampai 2024, pembangunan rumah hanya mampu terealisasi 2.177 unit dengan alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang digulirkan mencapai Rp 119,9 triliun.
Dalam rapat tersebut, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait mengatakan, program 3 juta rumah per tahun membutuhkan gotong royong seluruh pihak. Pada 2025, anggaran kementerian yang ia pimpin untuk pembangunan perumahan tercatat Rp 5,078 triliun, atau turun dibandingkan tahun 2024 yang sebanyak Rp 14,3 triliun.
”Anggaran kami tahun 2025 turun dari Rp 14,3 triliun (di 2024) menjadi Rp 5,078 triliun, dan mesti bangun 3 juta rumah. Apakah anggaran ini layak untuk membangun 3 juta rumah? Bayangkan, berarti kita mesti kerja 25 kali lipat untuk mencapai target 3 juta rumah,” kata Maruarar.
Di sisi lain, imbuhnya, upaya membangun 3 juta rumah per tahun memerlukan terobosan untuk efisiensi. Di antaranya, penerapan mekanisme pembelian terpusat (central purchasing) yang biasa dilakukan pengembang swasta dalam pembelian material perumahan. Saat ini, terdapat ratusan material bahan properti untuk rumah.
Pembelian terpusat diharapkan menghemat biaya produksi sehingga harga rumah turun dan rakyat bisa membeli rumah dengan harga lebih murah. Dicontohkan, pembelian semen untuk program 3 juta rumah ditaksir menghabiskan biaya lebih dari Rp 10 triliun sehingga dengan pembelian langsung dari pabrik semen bisa didapat diskon harga untuk menekan biaya material.
Maruarar menambahkan, efisiensi juga dilakukan dengan pemanfaatan rumah-rumah susun yang masih kosong dan belum banyak dihuni. Pihaknya sedang menjajaki pemanfaatan rumah susun sewa. Saat ini, banyak rumah susun terbengkalai di sejumlah daerah karena minim penghuni.
Dicontohkan, rumah susun sederhana sewa (rusunawa) Pasar Rumput yang diserahkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di era Joko Widodo ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebanyak 1.984 unit, tercatat baru terisi sekitar 400 unit untuk relokasi korban kebakaran Manggarai. Selain itu, dua tower rumah susun di Rancaekek, Bandung, yang juga belum terisi, serta rusun di Batang yang baru terisi 2 tower dari total 10 tower.
Rusunawa Pasar Rumput yang dikelola PD Pasar Jaya masih menyisakan 1.400 unit kosong. Rumah susun tersebut sedang dipasarkan dengan harga sewa 3,5 juta per bulan. Namun, tarif itu dinilai sulit untuk menyasar rakyat kecil di Jakarta. Dari hasil kesepakatan pihaknya dengan Pejabat Gubernur DKI Jakarta, besaran tarif tersebut dibatalkan, dan tarif sewa diturunkan menjadi Rp 1,25 juta per bulan yang disesuaikan dengan kebutuhan operasional rusun, yakni Rp 18 miliar per tahun atau 1,5 miliar per bulan.
Upaya lain adalah pemanfaatan tanah sitaan dari koruptor untuk dialihfungsikan bagi perumahan rakyat, termasuk aparatur sipil negara (ASN), serta anggota TNI dan polri. Dari penjajakan awal dengan Kejaksaan Agung, terdapat sekitar 1.000 hektar lahan di Banten hasil sitaan dari kasus korupsi.
”Butuh keputusan politik agar lahan sitaan ini bisa diambil negara dan dikembalikan kepada rakyat melalui harga rumah murah,” kata Maruarar.
Ketua Komisi V DPR RI Lazarus menyampaikan, ia mengapresiasi cara berpikir baru yang digagas Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman untuk mendorong keterjangkauan rumah. Pihaknya akan membuat rapat gabungan dengan kementerian/lembaga terkait perumahan, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Dalam rapat itu, ia menggarisbawahi, terdapat perbedaan-perbedaan mendasar antara mengurus perusahaan dengan mengurus negara. Oleh karena itu, perlu pendalaman terkait regulasi dan aturan main (dalam mewujudkan target pembangunan 3 juta rumah per tahun).
”Tolong didalami di internal kementerian bahwa mengurus perusahaan dan negara terdapat perbedaan-perbedaan. Pemikiran besar ini tolong dielaborasi, juga dalam kaitannya dengan aturan main, undang-undang yang mengikat. Ibarat buku, ini masih kata pengantar,” ucap Lazarus.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian 2009-2014, MS Hidayat, yang juga pernah menjabat Ketua Realestate Indonesia (REI) 1989-1992, mengemukakan, diperlukan keberpihakan hukum untuk menyerahkan dan memanfaatkan tanah-tanah hasil sitaan dari koruptor bagi pembangunan rumah rakyat. Selama ini, hukum kerap diperjualbelikan sebagai barang komoditas.
”Mudah-mudahan bisa diikuti dengan kepatuhan terhadap hukum,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ”Program Tiga Juta Rumah” dengan para pemangku kepentingan, Senin (28/10/2024), di Jakarta.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Djunaidi Abdillah mengapresiasi upaya pencapaian program 3 juta rumah per tahun yang diusung pemerintah. Namun, penyediaan perumahan rakyat oleh pengembang pada lahan negara dinilai masih sulit diterapkan. Ini karena sebagian besar pengembang menggunakan kredit untuk proyek pembangunan rumah, sedangkan, perbankan lebih tertarik memberikan kredit jika ada agunan berupa lahan. Lahan negara dinilai lebih tepat dimanfaatkan untuk pembangunan rumah susun sewa, ketimbang rumah susun milik.