Pembentukan Kementerian Perumahan harus diikuti transformasi program perumahan rakyat.

Oleh BM LUKITA GRAHADYARINI

JAKARTA, KOMPAS — Rencana pembentukan Kementerian Perumahan pada Kabinet Prabowo-Gibran mendatang dinilai harus memiliki visi lebih maju dibandingkan kementerian perumahan di era sebelumnya. Dibutuhkan transformasi kebijakan agar bisa mengatasi masalah perumahan dan perkotaan sesuai kebutuhan masa depan.

Indonesia hingga kini dirundung persoalan kekurangan (backlog) rumah. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2023 yang dirilis Badan Pusat Statistik menunjukkan ada 9,9 juta rumah tangga yang belum memiliki rumah, sedangkan rumah tangga yang tidak punya akses hunian layak sebanyak 26,9 juta rumah tangga.

 

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Jakarta, Nirwono Joga, mengemukakan, pembentukan Kementerian Perumahan harus lebih maju dan tidak mengulang muatan politis pada program-program kementerian perumahan terdahulu. Kementerian Perumahan harus mampu membuktikan keberpihakan pada program pembangunan rumah rakyat, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah yang didominasi generasi Z dan milenial.

Kementerian Perumahan harus mampu bertransformasi menciptakan program perumahan yang tepat sasaran, melalui pemanfaatan lahan atau aset pemda untuk perumahan. Lahan pemerintah yang berada di lokasi strategis dan dekat dengan transportasi publik perlu dimanfaatkan multifungsi, seperti pembangunan rumah susun di atas pasar, stasiun, puskesmas, dan kantor kecamatan.

”Transformasi dilakukan dengan meningkatkan fungsi mixed use lahan-kota. Pola ini akan menyelesaikan begitu banyak masalah, mulai dari kemiskinan, kekurangan rumah, hingga masalah tengkes,” ujar Nirwono, saat dihubungi, Selasa (15/10/2024).

https://cdn-assetd.kompas.id/KRW3mIh4tfn33e7xmyLusp3ZBsU=/1024x1433/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F06%2F10%2Fae9908fe-0dd1-4f69-b1a7-277d891bf173_png.png

Ia menyoroti program pembangunan 3 juta rumah per tahun yang diusung pemerintah mendatang, yakni meliputi 2 juta rumah di perdesaan dan 1 juta hunian vertikal di perkotaan. Program 3 juta rumah per tahun itu dinilai ambisius, mengingat selama satu dekade terakhir, pembangunan hunian vertikal di perkotaan rata-rata hanya 77.000 unit per tahun.

Nirwono menambahkan, program 3 juta rumah per tahun perlu dikaji agar jangan terpaku pada target jumlah unit yang bakal dibangun, melainkan ketepatan sasaran hingga nilai tambah yang diperoleh masyarakat.

”Program perumahan harus realistis. Target sasaran jauh lebih penting dibandingkan target jumlah rumah yang akan dibangun. Tujuan membangun rumah bukan sekadar angka, melainkan menyasar masyarakat yang benar-benar membutuhkan,” katanya.

Muatan lokal

Pembangunan rumah di perkotaan harus menyasar masyarakat berpenghasilan rendah dan masyarakat berpenghasilan tanggung. Pembangunan rumah susun di perkotaan dapat melibatkan pengembang-pengembang besar dan nasional.

Sedangkan, pembangunan rumah di desa menyasar masyarakat agar memiliki hunian layak, dengan melibatkan pengembang dan kontraktor lokal. Tolok ukur keberhasilan program perumahan adalah peningkatan kesejahteraan, pengurangan tengkes, ruang produktivitas generasi muda, dan munculnya destinasi baru wisata yang menggerakkan ekonomi lokal.

Nirwono menambahkan, program rumah di perdesaan diharapkan tidak lagi menerapkan desain rumah massal. Pembangunan rumah di perdesaan disesuaikan dengan karakteristik daerah dan kearifan lokal. Konsep rumah tradisional dinilai akan memberikan nilai tambah, dan mendorong geliat ekonomi sebagai tujuan desa wisata baru.

Program perumahan harus menyesuaikan dengan kebutuhan hunian 5-10 tahun mendatang. Pengembang harus mengubah pola pikir pembangunan rumah yang sesuai dengan karakteristik wilayah, serta kehidupan perkotaan dan perdesaan di masa depan. Kebijakan perumahan harus bertransformasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat di kota dan desa.

”Transformasi pembangunan perumahan merupakan kesempatan untuk membenahi perkotaan, membenahi perumahan yang sekarang agar sesuai dengan kebutuhan masa depan,” ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Satuan Tugas Perumahan presiden terpilih Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, mengemukakan, kekurangan rumah di Indonesia masih sangat besar. Program perumahan 3 juta rumah per tahun terbagi atas 2 juta rumah di perdesaan dan 1 juta rumah di perkotaan. Program 1 juta rumah di perkotaan terbuka untuk kontraktor, pengembang nasional, serta perusahaan asing.

”Program 3 juta rumah per tahun yang digulirkan pemerintahan Prabowo-Gibran ditargetkan mampu menyediakan 15 juta rumah dalam kurun 5 tahun ke depan,” ungkapnya.

https://cdn-assetd.kompas.id/Z6LYV4Iv08D0FfSiQCkkk7BPknU=/1024x1943/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F12%2Fe6655b09-6a07-42d3-a5a4-50f3f65c6b5c_png.png

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Real Estat Indonesia (REI) Joko Suranto mengemukakan, perumahan selama ini belum menjadi prioritas pembangunan, meskipun sektor properti sudah membuktikan kontribusinya kepada pertumbuhan ekonomi (PDB) Indonesia sekitar 14-16 persen, serta menyerap tenaga kerja 14 juta-17 juta orang.

Dalam konsep Propertinomic yang diusulkan REI, sektor properti bisa menjadi pendulum ekonomi. Keberadaan Kementerian Perumahan mencerminkan simbol keberpihakan, kepastian berusaha, ketersediaan anggaran, dan terobosan terhadap masalah-masalah yang terjadi. Program 3 juta rumah dipandang sebagai strategi jalan keluar mengatasi persoalan perumahan.

Menurut Corporate Secretary PT Intiland Development (Tbk) Theresia Rustandi, program pembangunan perumahan di perkotaan harus terintegrasi. Semakin terbatas lahannya di perkotaan membutuhkan pendayagunaan aset lahan milik pemerintah. Selain itu, kepastian kriteria masyarakat yang berhak membeli atau menyewa rumah di atas lahan pemerintah.

Pengembang siap berperan membangun gedung rumah susun. Di sisi lain, butuh terobosan material agar biaya pembangunan rumah susun tidak mahal dan harganya terjangkau. Terobosan teknologi dan inovasi diperlukan agar produksi rumah bisa cepat. Pembangunan rumah susun juga perlu diikuti tata kelola secara profesional, mengingat program perumahan merupakan program jangka panjang.

”Pengelolaan harus dilakukan secara profesional, baik itu rumah susun segmen menengah, menengah bawah, maupun menengah atas,” ucapnya.

Theresia menambahkan, peruntukan rumah susun di atas lahan pemerintah juga diharapkan menerapkan pola subsidi silang, yakni peruntukannya untuk menengah bawah, serta ada yang dijual secara komersial.