Target pembangunan 3 juta rumah per tahun setara dengan membangun 8.220 unit per hari.
Oleh BM LUKITA GRAHADYARINI
JAKARTA, KOMPAS — Ambisi pemerintah membangun 3 juta rumah per tahun dinilai perlu lebih realistis. Skema gotong royong penyediaan rumah yang dicanangkan pemerintah perlu diimbangi dengan regulasi dan strategi yang jelas, hingga bauran kebijakan pembiayaan perumahan.
Beragam pertanyaan dan keraguan terkait program 3 juta rumah per tahun mengemuka dalam rapat kerja Komisi V DPR dengan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman di Jakarta, Senin (4/11/2024).
Anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Lasarus, mengemukakan, masalah kekurangan (backlog) rumah adalah problem menahun. Angka kekurangan rumah tidak berkurang signifikan meski program penyediaan rumah terus digulirkan.
Dalam waktu lima tahun terakhir, alokasi anggaran pemerintah untuk pembiayaan perumahan mencapai Rp 119 triliun. Namun, total realisasi penyediaan rumah hanya bisa mencakup 2,17 juta unit. Pada periode 2024-2029, pemerintah justru menargetkan penyediaan 3 juta unit rumah setiap tahun.
”Untuk bisa mencapai program 3 juta rumah per tahun, setiap hari harus bisa membangun rumah sebanyak 8.220 unit. Untuk mencapai 3 juta rumah pada tahun 2025 dengan anggaran pemerintah Rp 5 triliun tentu jauh panggang dari api,” ujarnya.
Ia mengilustrasikan, kebutuhan anggaran untuk bantuan stimulan perumahan swadaya sebanyak 3 juta unit mencapai Rp 60 triliun, tidak termasuk pembangunan rumah tapak. Sementara itu, hingga saat ini belum ada dokumen terkait peta jalan pencapaian 3 juta rumah per tahun.
Menurut Lasarus, penyediaan lahan merupakan hal mendasar dari proses penyediaan perumahan rakyat. Namun, penyediaan lahan perumahan kerap menuai persoalan hukum. Oleh karena itu, masalah lahan perlu disikapi hati-hati, terutama lahan yang dihibahkan untuk perumahan rakyat.
”Lahan yang dihibahkan menjadi hak milik masyarakat. Jika alas hak atas tanah bermasalah, akan timbul persoalan dalam penyediaan perumahan. Program 3 juta rumah begitu besar, perlu diantisipasi agar status hukum rumah tidak bermasalah di kemudian hari,” lanjutnya.
Anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Mori Hanafi, mengemukakan, target program 3 juta rumah per tahun tidak didukung anggaran pemerintah yang memadai. Kolaborasi pemerintah melibatkan swasta dinilai tidak akan memadai untuk mengejar program besar itu. Di sisi lain, rencana pemerintah menggunakan lahan-lahan sitaan koruptor juga dinilai terbatas.
”Program 3 juta rumah per tahun merupakan harapan dan target besar, tetapi berat dilaksanakan dengan anggaran yang terbatas. (Pemerintah) perlu lebih realistis dan rasional. Kalau ini terjadi kegagalan, maka kegagalan kita bersama,” kata Mori.
Menteri Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait mengemukakan, sejauh ini sudah ada enam perusahaan menyatakan komitmen untuk membantu penyediaan perumahan rakyat serta perorangan yang mau menyerahkan tanahnya. Pihaknya sedang menyiapkan instrumen gotong royong program rumah rakyat.
Skemanya bisa kombinasi. Misalnya, satu perusahaan menyediakan lahan. Perusahaan lain membangun perumahannya. Perusahaan lain lagi menyediakan isi rumah.
”Diperlukan kelenturan, tetapi tidak melanggar hukum, misalnya tanahnya dari perusahaan, tetapi yang bangun pemerintah atau sebaliknya. Model pembiayaan harus legal, tetapi memungkinkan semua pihak bisa bergotong royong,” ujarnya.
Sebelumnya, Maruarar mencanangkan Gerakan Nasional Gotong Royong Bangun Rumah untuk Rakyat sebagai bagian dari program pembangunan 3 juta rumah per tahun. Gerakan goyong royong itu merupakan kolaborasi hibah untuk penyediaan rumah murah dan gratis bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Pencanangan gerakan nasional itu ditandai dengan peletakan batu pertama (groundbreaking) pembangunan rumah gratis di Desa Sukawali, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten (Kompas, 2/11/2024). Lahan seluas 2,5 hektar merupakan hibah dari PT Bumi Samboro Sukses. Sementara pembangunan rumah merupakan hibah dari pengembang Agung Sedayu Group.
Menurut Maruarar, gotong royong penyediaan rumah diakui merupakan cara yang tidak biasa. Akan tetapi, langkah itu merupakan upaya mengejar program 3 juta rumah per tahun dengan keterbatasan anggaran yang turun dari Rp 14 triliun pada tahun 2024 menjadi Rp 5 triliun pada 2025.
Data Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman menunjukkan, hingga Oktober 2024, capaian pembangunan perumahan oleh pemerintah mencapai 94.086 unit dari target 145.976 unit. Pembangunan itu terdiri dari rumah susun 2.298 unit (69 tower) dari target 7.745 unit, rumah khusus 1.426 unit dari target 2.732 unit, serta realisasi rumah swadaya 90.402 unit dari target 135.319 unit.
Sementara itu, bantuan prasarana sarana umum perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah adalah 21.159 unit dari target 20.850 unit.
Dari sisi pembiayaan, capaian bantuan pembiayaan perumahan melalui kredit pemilikan rumah fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (KPR-FLPP) sejumlah 177.961 unit dari target 200.000 unit, serta 4.411 unit Tapera dari target 7.525 unit.
Anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Reni Astuti, mengingatkan, hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan belum ada basis data perumahan yang lengkap. Oleh karena itu, dalam sisa waktu dua bulan mendatang, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu memperkuat basis data itu terlebih dulu, diikuti kebijakan pembangunan rumah yang konkret.
Ia menilai, program perumahan rakyat harus memiliki definisi yang jelas, yakni rumah untuk dimiliki, disewa, atau dihuni. Di sisi lain, kerja sama pemerintah dengan pihak lain terkait penyediaan rumah memerlukan kejelasan mekanisme.
”Jika ada kolaborasi, siapa yang akan menggawangi? Struktur organisasinya seperti apa?” ujar Reni.
Maruarar mengemukakan, hingga kini belum ada data terkait kebutuhan rumah, dan pemerintah menggunakan acuan data dari Badan Pusat Statistik. Pihaknya sudah meminta Badan Pusat Statistik untuk menerbitkan data terkait kebutuhan perumahan.
”Sampai sekarang tidak ada basis data terkait kebutuhan perumahan. Saya bekerja dalam situasi itu. Yang saya lakukan sekarang, kami kolaborasi dengan swasta untuk membangun ekosistem perumahan bagi masyarakat yang belum punya rumah, dan kedekatan antara rumah dan tempat kerja,” katanya.
Anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Yasti Soepredjo Mokoagow, mengemukakan, gotong royong melibatkan pengusaha dinilai tidak akan mampu mengejar target 3 juta rumah. Dukungan anggaran pemerintah diperlukan agar program bisa berjalan dengan baik.
Pembangunan rumah dan kawasan permukiman harus pula memperhitungkan konektivitas. Terdapat ratusan ribu rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang dibangun pada era pemerintahan Joko Widodo (2014-2024) justru tidak bisa dimanfaatkan karena tidak ada konektivitas.
Ketua Umum HUD Institute Zulfi Syarif Koto saat dihubungi secara terpisah, Senin, mengungkapkan, pemerintah perlu menghidupkan lagi program hunian berimbang sebagai cara yang lebih efektif untuk mempercepat penyediaan perumahan rakyat. Program hunian berimbang mewajibkan pengembang rumah mewah untuk membangun rumah menengah dan rumah sederhana dengan perbandingan 1:2:3.
Kewajiban pengembang perumahan komersial membangun rumah dengan komposisi seimbang antara rumah mewah, menengah, dan sederhana berbanding 1:2:3 tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman serta UU No 20/2011 tentang Rumah Susun.
”Tentu, harus ada insentif bagi pengembang yang melaksanakan kewajiban hunian berimbang, yakni dengan kemudahan perizinan,” ujarnya.