Perhelatan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024 sudah di depan mata. Di antara 37 provinsi yang akan menggelar pilkada serentak, Jakarta menjadi salah satu pilkada dengan magnet terbesar. Tampaknya, hilangnya ”mahkota” Jakarta sebagai ibu kota negara belum banyak berpengaruh pada konstelasi politik nasional.
Jakarta tetap menjadi episentrum pertarungan politik kekuasaan bagi Indonesia. Bisa jadi karena pusat kekuasaan ekonomi tetap bertumpu di Jakarta, terlebih jika kita melihat kapasitas fiskal provinsi ini yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lain, bahkan yang memiliki sumber daya alam besar.
Di tengah hiruk-pikuk pilkada, seabrek persoalan dihadapi Jakarta. Jakarta sesungguhnya terlalu rapuh untuk bisa menyokong putaran ekonomi dan pembangunan dengan jargon pertumbuhan kota metropolitan.
Begitu banyak dan kompleks masalah yang dihadapi Jakarta sehingga akhirnya berpengaruh pada kualitas hidup warganya. Persoalan lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budaya satu sama lain saling berkelindan menciptakan krisis sosial ekologis dan krisis multidimensi kota yang telah berusia 497 tahun itu.
Persoalan lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budaya satu sama lain saling berkelindan menciptakan krisis sosial ekologis dan krisis multidimensi kota.
Salah satunya, perkara turunnya permukaan tanah Jakarta dan secara bersamaan meningkatnya permukaan air laut akibat krisis iklim dan model pembangunan yang abai dengan daya dukung dan tampung lingkungan. Para ahli menyebut 14 persen Jakarta berada di bawah permukaan laut. Enam pulau di Kepulauan Seribu tenggelam, 23 pulau lainnya terus mengalami abrasi akibat dampak krisis iklim dan eksploitasi pembangunan di darat.
Bahkan, mungkin banyak warga Jakarta yang tidak mengetahui bahwa ada 13 aliran sungai yang melintasi Jakarta. Kondisi sungai-sungai itu sedang tidak baik-baik saja, bersamaan dengan lunturnya kebudayaan sungai dari masa ke masa.
Masalah krusial kota ini yang selalu menjadi perhatian dunia adalah kemacetan, satu paket dengan polusi udara yang saban hari mengepung kota ini. Kondisi tersebut menyebabkan Air Quality Index (AQI) di Jakarta memburuk dan menimbulkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Polusi udara menjadi pembunuh senyap bagi warga Jakarta, khususnya anak-anak dan kelompok rentan.
Bukan hanya dampak pada kesehatan yang diakibatkan oleh polusi udara. Polusi udara juga mengakibatkan kerugian ekonomi. Pada akhirnya kerugian ekonomi kembali ditanggung oleh warga negara. Riset Greenpeace Asia Tenggara dan IQAir telah menghitung kerugian ekonomi akibat polusi udara di Jakarta mencapai Rp 35,1 triliun dalam satu tahun terakhir. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan kerugian ekonomi yang dialami oleh kota lain di dunia, di antaranya Hong Kong, Johannesburg, Taipei, dan Canberra.
Pertanyaan kritis dalam pesta demokrasi bernama pilkada ini adalah apakah para kandidat gubernur dan wakil gubernur telah memahami akar masalah Jakarta serta memiliki agenda untuk menyelesaikan problem struktural ini di tingkat tapak, setidaknya seperti yang dialami warga Rusunawa Marunda, Muara Angke, Pulau Pari, dan kelompok marjinal lainnya.
Tentu sebagai warga negara, kita menyadari bahwa menyelesaikan problem kota yang sengkarut seperti benang kusut tidak bisa secara instan, tetapi kemauan politik penting untuk menyusun peta jalan yang jelas dengan target capaian yang terukur dan pelibatan warga secara bermakna.
Sejauh ini dari visi-misi dan program resmi yang didaftarkan oleh tiga kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta ke KPUD ataupun visi-misi dan program yang muncul dalam bingkai pemberitaan di media masih jauh dalam menjawab atau menyelesaikan problem struktural atau akar masalah Jakarta.
Hampir sebagian besar gagasan yang ditawarkan bersifat parsial, penyelesaian di hilir, bahkan gagal paham atas akar masalah yang terjadi. Akibatnya, muncul solusi-solusi yang bersifat teknis dan di level permukaan. Bahkan, gimik di luar nalar.
Alasan pemindahan ibu kota negara yang mengemuka adalah ketidakmampuan lagi Jakarta menanggung beban pembangunan, kerusakan lingkungan hidup, dan krisis iklim. Oleh karena itu, tahun pertama pascaterpilihnya kepala daerah Jakarta menjadi sangat krusial untuk merancang agenda dan peta jalan yang jelas dan terukur untuk menangani krisis iklim dan kerusakan lingkungan hidup di Jakarta.
Pemerintah Jakarta sesungguhnya telah memiliki kebijakan yang baik, antara lain Jakarta Resilient Strategy (2019) dan Peraturan Gubernur Nomor 90 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD). Regulasi yang sudah tersedia ini menunggu political will untuk dijalankan oleh pemerintahan terpilih nanti.
Regulasi yang sudah tersedia ini menunggu ’political will’ untuk dijalankan oleh pemerintahan terpilih nanti.
Ada delapan agenda yang disuarakan oleh organisasi dan komunitas warga yang tergabung dalam Komite Keadilan Perkotaan kepada kandidat kepala daerah Jakarta untuk dijalankan jika terpilih. Di antaranya, mempercepat pemulihan lingkungan hidup dan memperkuat ketahanan iklim melalui kebijakan yang berfokus pada pengurangan emisi dengan upaya konkret, mencabut atau merevisi kebijakan pembangunan yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan memperburuk dampak krisis iklim.
Hal tidak kalah penting, bagaimana pelibatan warga secara bermakna dalam seluruh proses pembangunan dan penataan ruang Jakarta, khususnya warga yang selama ini termarjinalkan oleh sistem ekonomi dan politik.
Baca juga: Politik Hiburan dalam Pilkada 2024
Jared Diamond dalam Collapse telah mengingatkan bahwa bertahan atau runtuhnya sebuah peradaban manusia pada abad ini akan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antaranya adalah kerusakan lingkungan hidup, perubahan iklim, dan juga bagaimana manusia menyikapinya.
Pemimpin dalam konteks tertentu memiliki kekuasaan untuk menghentikan kerusakan lingkungan dan krisis iklim melalui kebijakannya atau sebaliknya membuat kebijakan ekonomi dan politik yang justru membawa rakyatnya pada pemusnahan peradaban.
KPUD Jakarta menyebut sebanyak 8.214.007 DPT Jakarta, 51 persen di antaranya adalah generasi Z dan milenial. Dari survei yang dilakukan oleh Urban Justice, Greenpeace Indonesia, terkait persoalan yang menjadi perhatian kaum muda Jakarta, 88,1 persen kelompok usia di bawah 24 tahun khawatir akan dampak krisis iklim.
Bertahan atau runtuhnya sebuah peradaban manusia pada abad ini akan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antaranya adalah kerusakan lingkungan hidup, perubahan iklim, dan juga bagaimana manusia menyikapinya.
Sebanyak 57,8 persen gen Z berpendapat pentingnya krisis iklim ini ditangani dengan baik, melalui kebijakan pemerintah. Dari data ini, sesungguhnya dapat ditangkap pesan kuat untuk para kandidat agar secara serius menangani isu lingkungan hidup dan krisis iklim jika terpilih nanti.
Perlu diingat, warga atau pemilih muda bukanlah sekadar angka untuk hanya didulang suaranya. Warga dan kaum muda itu berwajah, bernama, berjenis kelamin, dan di dalamnya terdapat kelas sosial dan ekonomi, termasuk hak-hak yang melekat padanya sebagai manusia.
Kebijakan yang berpihak kepada masyarakat miskin kota dan kelompok marjinal lainnya menjadi syarat untuk dapat memulihkan Jakarta dari krisis multidimensi, dan pilkada menjadi salah satu momentumnya. Pada akhirnya, sebagai warga, memilih bersuara menjadi keniscayaan untuk terus mengawasi pemerintahan. Hal itu adalah peran dan bukti partisipasi politik sebagai warga negara yang taat pada konstitusi.
*Khalisah Khalid, Ketua Pokja Politik Greenpeace Indonesia