Pilkada serentak menjadi peluang emas bagi orkestrasi pembangunan daerah dan sinkronisasi tata kelola pusat-daerah. Tantangannya, bagaimana mewujudkan pilkada yang akuntabel untuk melahirkan kepala-kepala daerah berkualitas dan berintegritas. Tanpa akuntabilitas itu, cita-cita orkestrasi pembangunan daerah menjadi sia-sia.
Sebab, kompleksitas masalah daerah saat ini, memerlukan kualitas pemimpin perubahan—berkompeten cum berintegritas. Dan, pilkada serentak pada 27 November mendatang menjadi ruang bagi masyarakat daerah untuk memilah dan memilih calon kepala daerah berkualitas ”superman”.
Perjalanan otonomi daerah selama dua dekade masih menghadapi beragam persoalan, antara lain, ketimpangan, kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan peningkatan korupsi. Artinya, pemberian otonomi tidak serta-merta membuat daerah-daerah bergerak atau mencapai kinerja yang sama.
Hal ini terlihat dari kenaikan Indeks Ketimpangan Wilayah yang digambarkan dari capaian gini ratio sebesar 0,379, di awal otonomi ketimpangan 0,341. Artinya, gap antara daerah miskin dan kaya semakin lebar lantaran kemampuan adaptasi daerah (pembangunan, penerapan teknologi dan digitalisasi) berbeda.
Baca juga: Persoalan Kronis Otonomi Daerah
Institusionalisasi inovasi pelayanan publik tidak dilakukan sehingga ”ganti pemimpin ganti kebijakan”. Implikasinya tidak terjadi keberlanjutan inovasi dan inkonsistensi pembangunan, sebab kecenderungan pemimpin terpilih menghapus beberapa inovasi pemimpin sebelumnya.
Penurunan kemiskinan dan IPM juga masih menjadi pekerjaan rumah. Tahun 2024 tingkat kemiskinan mencapai 9,03 persen, di mana target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 berkisar 6,5-7,0 persen.
Artinya, kita belum bisa mencapai target (selisih 2 persen), meskipun dalam jangka panjang Indonesia cukup berhasil mengentaskan warga dari kemiskinan. Capaian IPM tahun 2024 sebesar 73,6, sedangkan target RPJMN adalah 75,54 persen. Menariknya hanya 10 provinsi dari 34 provinsi yang mampu mencapai angka tersebut.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin merajalela dan turut memengaruhi terhambatnya proses pembangunan daerah. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2004-2024 menyebutkan terdapat 167 kepala daerah terjerat kasus korupsi (bupati/wali kota dan wakilnya). Artinya terjadi kemunduran etika dan moralitas pemimpin, terutama kaum terdidik yang berujung pada lahirnya politik menghalalkan segala cara.
Persoalan di atas sebetulnya dapat diselesaikan, jika kepala daerah memiliki kualitas dan integritas, di mana hanya didapati melalui proses pilkada berkualitas pula. Pilkada berkualitas adalah asupan penyehatan demokrasi. Jika asupannya baik, luaran demokrasi juga akan baik. Namun, sayangnya proses pelaksanaan pilkada hari ini masih bermasalah, baik pada proses pencalonan, kampanye ataupun penghitungan suara.
Pada proses pencalonan, sangat rentan dengan kepentingan politik dan munculnya fenomena calon tunggal di mana segelintir elite partai politik berkoalisi dalam jumlah besar. Meskipun ambang batas minimal pencalonan diturunkan melalui Putusan MK No 60/PUU-XXII/2024, tetapi tidak ada ambang batas atas dalam membentuk koalisi pencalonan. Implikasinya membatasi pilihan pemilih dan memunculkan calon kepala daerah tidak berkualitas dan tidak sesuai aspirasi masyarakat.
Fenomena ini juga menandakan kaderisasi partai politik belum berjalan optimal. Proses perekrutan partai politik yang sering menerapkan pendekatan ”asal comot” terhadap kandidat yang dianggap sebagai ”mesin politik”. Hal ini terlihat munculnya calon kepala daerah yang tidak sesuai dengan aspirasi dan harapan masyarakat (dinasti politik). Proses ini cenderung mengabaikan aspek legitimasi, komitmen, kapasitas, dan misi perjuangan.
Pada saat kampanye masih rentan politisasi bantuan sosial, politik uang, misinformasi, penyebaran hoaks, serta materi kampanye lebih mengedepankan hiburan dan minim edukasi politik yang berpotensi menjadi hambatan bagi partisipasi dan kesadaran memilih calon pemimpin. Maraknya praktik negatif, seperti pemanfaatan anggaran publik untuk kepentingan elektoral, tekanan fisik untuk memilih calon tertentu, pemanfaatan birokrasi aparatur sipil negara (ASN), dan tawaran posisi strategis membuat penyelenggaraan pilkada makin bermasalah.
Pilkada berkualitas adalah asupan penyehatan demokrasi. Jika asupannya baik, luaran demokrasi juga akan baik.
Praktik culas dan menghalalkan segala cara dalam penyelenggaraan pemilu perlu dihentikan. Proses penegakan hukum bagi yang melanggar juga mestinya berjalan untuk menghindari lebih banyak lagi potensi kecurangan pilkada dan meminimalisasi penguasa yang tidak kompeten (tidak memahami masalah daerah).
Pada saat penghitungan dan pemungutan suara pun masih bermasalah, seperti partisipasi pemilih rendah, kendala bagi penyandang disabilitas untuk menggunakan hak suara, surat suara telah tercoblos, hingga kecurangan dalam penghitungan suara (potensi penggelembungan suara) yang akan menguntungkan salah satu kandidat. Untuk mengatasi tantangan tersebut, kolaborasi pemerintah, lembaga pemilihan, partai politik dan masyarakat sipil perlu dilakukan.
Di sisi teknis, pilkada serentak juga memberikan tugas cukup berat bagi penyelenggara, mengingat pemilihan presiden dan legislatif berdekatan dengan penyelenggara pilkada serentak. Banyaknya insiden kematian petugas (181 penyelenggara) dan 4.770 penyelenggara pemilu mengalami kecelakaan kerja atau sakit (beban berat penyertaan pemilu). Masalah kapasitas dan kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU), administrasi tata kelola serta payung hukum regulasi perlu dipersiapkan agar tidak menimbulkan masalah selama proses dan setelah pilkada.
Terdapat enam prasyarat untuk mendukung pelaksanaan pilkada agar melahirkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas berdasarkan prinsip periodic and genuine elections. Keenam prasyarat ini harus dilakukan secara bersamaan dan tidak bisa memilih parsial.
Pertama, tersedianya kerangka hukum yang demokratis. Pelaksanaan pilkada hari ini dengan kerangka hukum yang sudah tiga kali berubah (UU Nomor 8/2015; UU Nomor 10/2016, dan UU Nomor 6/2020).
Undang-Undang (UU) Nomor 1/2015 bukan UU yang ideal, sebab hasil dari Perppu Nomor 1/2014 disahkan menjadi UU. Dari sisi kerangka hukum sudah banyak norma yang tertinggal dari realitas dan dinamika politik.
Kedua, penyelenggara pemilu independen dan berintegritas. Artinya, penyelenggaraan pemilu bersandar pada kode etik penyelenggara dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab (tidak memihak dan transparan). Namun, kondisi hari ini pemilu gagal mewujudkan cita-cita demokrasi karena dipengaruhi manipulasi/malapraktik akibat pelanggaran-pelanggaran pemilu.
Baca juga: Pemilu, Demokrasi, dan Pemerintahan Indonesia
Ketiga, diikuti peserta pemilihan yang kompetitif dan bersaing dalam arena kontestasi yang adil dan setara. Faktanya, pilkada serentak hari ini membuat isu daerah semakin tenggelam oleh hiruk-pikuk kompetisi daerah lain yang lebih dinamis dan kontroversional. Narasi dan gagasan program tidak muncul karena ruang politik lebih didominasi politik Jakarta dan Jawa.
Keempat, penegakan hukum yang dilakukan efektif dan berkeadilan sebagai instrumen penting untuk menerapkan prinsip bebas, jujur dan adil. Hal ini bertujuan agar setiap pelanggaran, kecurangan, dan perbuatan yang melanggar kode etik diselesaikan melalui perundang-undangan.
Kelima, birokrasi dan aparat keamanan yang netral dan profesional. Faktanya Komisi ASN dibubarkan, di saat yang sama banyak menghadapi situasi ketidaknetralan birokrasi, termasuk aparat keamanan (TNI dan Polri).
Terakhir, pemilih yang berdaya kritis dan terinformasi baik (well informed voters) sehingga mampu membuat keputusan secara bermakna. Enam hal ini yang mesti dihadirkan dalam sistem pemilihan kepala dan wakil kepala daerah.
Untuk mengembalikan tujuan otonomi daerah, yakni kesejahteraan masyarakat, tantangan yang dihadapi pemimpin daerah akan semakin berat. Pemimpin daerah diharuskan memiliki wawasan luas, transformatif dan inovatif agar mampu memajukan daerahnya. Pemimpin yang harus memiliki visi dan misi yang jelas tentang masa depan daerah yang dituangkan dalam dokumen perencanaan daerah (disusun dan dikonsultasikan bersama masyarakat).
Pemimpin daerah juga diharuskan memiliki wawasan keindonesiaan dan kedaerahan agar mampu menjadi teladan bagi masyarakat (transformatif, tidak tersangkut korupsi, perusakan lingkungan dan berkomitmen pada HAM).
Ketegasan dan keberanian dalam menentukan arah kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat sangat diperlukan (mampu menggerakkan mesin birokrasi; paham teknologi dan memiliki sense of entrepreneur) agar mampu mengembangkan usaha BUMD dan usaha lainnya. Artinya di tangan pemimpin ini aset pemda membuat APBD (pendapatan) semakin meningkat.
Transformasi model dan gaya kepemimpinan menjadi suatu keharusan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan setiap daerah. Pola pikir yang adaptif menjadi kunci agar tidak terjebak dalam cara berpikir tradisional dan kaku. Pemimpin daerah sebagai ”orangtua daerah” semestinya selalu mengarah pada program kerja yang menjadikan masyarakat sejahtera, di mana metode pendampingan menjadi sangat diperlukan.
Baca juga: Jangan Cederai Pilkada
Dalam menghadapi peluang, pemimpin daerah juga harus mampu mengidentifikasi sektor-sektor berpotensi untuk mendorong pertumbuhan dan pembangunan. Pemerintah daerah memiliki akses terhadap sumber daya (alam dan manusia) yang harus dikembangkan menyesuaikan keadaan geografis dan demografisnya.
Dengan demikian untuk mendapatkan pemimpin berkualitas ini, terdapat strategi yang dapat dilakukan pertama, kejelasan koridor hukum di setiap tahapan, menyempurnakan peraturan teknis, dan meningkatkan kapasitas SDM pelaksana pilkada.
Kedua, memperkuat pendidikan politik bagi seluruh peserta dan pemilih, serta mengajak kampanye yang dapat menyehatkan proses demokrasi. Terakhir, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan KPU sebagai penyelenggara pemilu perlu menjaga integritas pilkada dan penegakan hukum bagi pasangan calon yang terbukti melanggar untuk menjaga kepercayaan rakyat pada demokrasi dan legitimasi kepemimpinan.
Sarah Nita Hasibuan, Analis Kebijakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah