Kemampuan menyerap aspirasi masyarakat menjadi kunci bagi DPR dan DPD untuk menjaga kepercayaan publik.

Oleh RANGGA EKA SAKTI/ LITBANG KOMPAS

Meski sempat mengalami titik terendahnya, para legislator periode 2019-2024 berhasil menjaga citra positif jelang akhir masa jabatannya di mata publik. Kemampuan menyerap aspirasi masyarakat menjadi kunci bagi DPR dan DPD periode 2024-2029 mendatang untuk terus bisa menjaga kepercayaan warga.

Pandangan masyarakat terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini terekam secara berkala melalui survei Litbang Kompas selama lima tahun terakhir (2019-2024). Berdasarkan hasil survei berkala tersebut, citra kedua lembaga legislatif itu mengalami perbaikan signifikan selama satu periode ini. Jika dibandingkan dari awal pelantikannya pada Oktober 2019, kedua lembaga ini mampu mengubah persepsi publik ke arah yang positif di pengujung masa baktinya (September 2024).

Secara umum, masyarakat memandang DPD relatif lebih positif dibandingkan dengan DPR. Pada pengukuran pertama di Oktober 2019, tercatat 48,5 persen dari responden survei melihat lembaga DPD secara positif. Apresiasi tersebut berselisih lebih dari 10 persen dibandingkan dengan DPR yang mendapat penilaian 38,8 persen.

Selama satu periode, DPD mampu memperbaiki citranya hingga ke level tertingginya selama satu dekade ke belakang. Berdasarkan hasil survei pada September 2024, lebih dari 67,5 persen responden memiliki persepsi positif tentang DPD. Meski, angka ini mengalami sedikit penurunan dibandingkan dengan periode survei Juni 2024 dengan citra positif sebesar 68,6 persen.

https://cdn-assetd.kompas.id/CcDcPTX3FYgvJoEKtANIfq6kK7Q=/1024x2469/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F09%2F29%2F4783cc47-3306-479d-9909-eb6b2391620c_png.png

Citra positif ini menunjukkan bahwa DPD mampu mengelola wibawa lembaga dan anggotanya di benak publik. Tidak terlalu banyak sorotan kasus yang melibatkan para anggota DPD yang dapat memengaruhi persepsi lembaga tersebut di mata masyarakat.

Keberhasilan mengelola wibawa DPD ini menjadi salah satu faktor penting bagieksistensi sebuah lembaga negara. Hal ini karena dalam perjalanan lembaga tersebut, kasus hukum yang melibatkan pimpinan DPD pada 2016 pernah membuat citra lembaga menurun tajam hingga ke angka 41 persen.

Senada dengan DPD, citra DPR juga mengalami dinamika pasang-surut. Sebagai contoh, pada pengukuran periode awal Oktober 2019, citra DPRberada di titik terendahnya selama satu dekade terakhir, yakni 38,8 persen.

Tergerusnya modal kepercayaan masyarakat kala itu tidak terlepas dari pengesahan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UU kontroversial ini dipandang oleh masyarakat, ahli hukum, dan aktivis antikorupsi sebagai upaya pelemahan lembaga antirasuah tersebut.

Dalam revisi UU tersebut, terdapat beberapa poin yang memancing suara kontra, seperti pembentukan Dewan Pengawas KPK yang potensial mengancam independensi KPK karena pemilihannya dilakukan oleh Presiden. Selain itu, kewenangan dewan pengawas memberikan izin penyadapan juga dinilai bermasalah. Pasalnya, penyadapan yang harus dilakukan seizin dewan pengawas yang diawasi oleh presiden bisa membuat upaya penyelidikan kasus korupsi mandek di tengah jalan.

Citra DPR juga pernahmenurun 4,2 persen dari penilaian pada Agustus 2020 ke Januari 2021. Situasi penurunan apresiasi ini bersamaan waktunya dengan pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja yang meninggalkan beberapa catatan.

Untungnya, DPR mampu membuktikan kinerjanya ke masyarakat dalam beberapa waktu ke depan. Hal ini tecermin dari peningkatan citra positif DPR yang relatif konsisten. Pada puncaknya, tepatnya pada pengukuran di Januari 2022, tidak kurang dari 62,2 persen dari responden survei yang merespons positif ketika ditanya soal kerja-kerja DPR.

Sayangnya, citra positif ini tak bertahan lama. Pada pengukuran periode selanjutnya di Juni 2022, hanya 48,1 persen dari responden survei yang memandang DPR secara positif. Penurunan ini bersamaan waktunya dengan momentum pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sempat memicu kontroversi di ruang publik.

Aspirasi jadi kunci

Tren ini masih terus berlangsung hingga Oktober 2022. Berdasarkan survei Litbang Kompas pada periode ini, hanya sekitar 44,4 persen responden yang puas dengan kinerja DPR. Jika ditelaah lebih dalam, rendahnya citra positif DPR di mata masyarakat ini berakar pada ketidakpuasan dalam hal penyerapan aspirasi.

https://cdn-assetd.kompas.id/EtjdgRP6CPWMW7oTxDV63wbU3_c=/1024x2813/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F09%2F29%2F00142193-20f3-4839-ac8b-085c65dca9e1_png.png

Merujuk pada survei Oktober 2022, sebagian besar responden (78,7 persen) menilai DPR masih belum mendengarkan aspirasi masyarakat. Bahkan, sekitar sepertiga dari responden tersebut merasa DPR sama sekali tidak mendengar dan memperjuangkan pendapat publik.

Apabila citra DPR menurun setiap muncul UU kontroversial, citra ini terbukti meningkat apabila warga merasa muncul produk legislasi yang dirasa sesuai dengan tuntutan. Salah satu contohnya terlihat pada pengukuran yang dilakukan pada Juni 2024. Saat itu, citra positif DPR mencapai 62,6 persen atau meningkat 12,1 persen dibandingkan dengan survei Desember 2023 (50,3 persen).

Peningkatan tersebut menandai titik tertinggi kepuasan DPR selama periode 2019-2024. Dilihat secara kontekstual, respons positif dari masyarakat ini erat kaitannya dengan sejumlah produk UU yang mendapat sambutan hangat. Salah satu UU yang mampu mendongkrak citra DPR adalah UU Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak.

Regulasi ini positif karena dinilai menunjukkan peningkatan perhatian pada kesejahteraan ibu dan anak. Dalam UU ini, terkandung beberapa pasal yang mendukung keterlibatan ibu dan ayah dalam mendukung tumbuh kembang anak secara maksimal, utamanya di fase krusial 1.000 hari pertama.

Naiknya apresiasi ini menjadi momentum bagi DPR untuk menyelesaikan sejumlah RUU lainnya, seperti RUU Kementerian Negara dan RUU APBN 2025 sebagai bekal transisi pemerintahan mendatang. Berkaca dari penilaian ini, aspek pemenuhan aspirasi menjadi harapan paling utama dari masyarakat terhadap anggota legislatif periode 2024-2029.

Hasil survei Kompas September 2024 menunjukkan, lebih dari separuh responden menyatakan bahwa penyerapan aspirasi menjadi hal yang paling perlu untuk dibenahi selama lima tahun ke depan. Pemenuhan aspirasi masyarakat ini harus menjadi komitmen utama DPR, sebagaimana saat DPR memutuskan untuk mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengaturan pencalonan kepala daerah.

Sebagai wakil rakyat, menyerap aspirasi dari warga merupakan salah satu tanggung jawab utama dari para legislator. Tanpa keberpihakan kepada publik, sulit bagi DPR dan DPD untuk bisa menjaga citra positif di mata masyarakat. Tentunya, hal ini hanya bisa dimulai apabila kedua lembaga ini mau untuk mendengarkan warga secara lebih saksama. (Litbang Kompas)