Selama DPR 2019-2024, banyak aspirasi masyarakat sipil dan akademisi tak diserap. Aspirasi pengusaha justru sebaliknya.

Oleh IQBAL BASYARI

JAKARTA, KOMPAS - Hari ini, Senin (30/9/2024), menjadi hari terakhir bagi 575 anggota DPR periode 2019-2024 bekerja. Kelemahan DPR selama lima tahun ke belakang yang dinilai tak konsisten menyerap aspirasi publik, diharapkan jadi catatan bagi 580 anggota DPR periode 2024-2029 yang bakal dilantik pada Selasa (1/10/2024). Peran-peran DPR dalam menjalankan fungsi legislasianggaran, dan pengawasan ke depan diminta sesuai dengan suara konstituen sehingga tidak menimbulkan resistensi.

Selama 2019-2024, DPR telah menjalankan berbagai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Sejumlah undang-undang telah disahkan, begitu pula tugas untuk mengawal anggaran di tengah masa pandemi Covid-19. Sementara dalam fungsi pengawasan, DPR mengawasi pelaksanaan ibadah haji hingga membentuk panitia khusus haji.

 

Dalam fungsi legislasi, tak kurang dari 130 rancangan undang-undang telah selesai dibahas bersama pemerintah dalam kurun waktu lima tahun. Sebagian undang-undang itu sudah dinantikan publik sejak lama, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), UU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA), UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), serta UU Aparatur Sipil Negara.

Produk-produk legislasi yang sesuai dengan aspirasi rakyat itu berdampak pada citra positif DPR. Salah satunya, survei pada Juni 2024 yang menempatkan citra positif DPR mencapai 62,6 persen atau meningkat 12,1 persen dibanding survei Desember 2023 (50,3 persen).

https://cdn-assetd.kompas.id/CcDcPTX3FYgvJoEKtANIfq6kK7Q=/1024x2469/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F09%2F29%2F4783cc47-3306-479d-9909-eb6b2391620c_png.png

Citra positif tersebut merupakan yang tertinggi selama DPR periode 2019-2024. Dilihat secara kontekstual, respons positif ini erat kaitannya dengan pembahasan RUU KIA akhirnya disahkan Selasa (4/6/2024). Regulasi ini dinilai meningkatkan perhatian negara kepada kesejahteraan ibu dan anak sehingga mendongkrak citra DPR sebagai salah satu pembentuk UU.

Tetapi tak jarang, produk legislasi yang dihasilkan DPR bersama pemerintah tak sejalan dengan keinginan publik. Pembahasan sejumlah RUU, antara lain RUU Cipta Kerja dan RUU Mahkamah Konstitusi menuai unjuk rasa. Bahkan DPR sempat membatalkan pengesahan RUU Pilkada karena muncul gelombang unjuk rasa di berbagai daerah.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Gerindra Wihadi Wiyanto menilai, DPR periode 2019-2024 telah optimal menjalankan fungsi legislasi. Berbagai produk UU yang dihasilkan telah memberikan kepastian hukum kepada pemerintah untuk memperlancar agenda-agenda eksekutif. Meskipun dalam proses pembahasannya terkadang menimbulkan kontroversi dan ditolak oleh publik. Publik yang tidak sepakat juga dapat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun demikian, DPR juga menjalankan peran dalam menyerap aspirasi rakyat dengan membentuk UU yang dibutuhkan publik. Sejumlah RUU yang sudah sangat lama pembahasannya, seperti UU KIA, TPKS, dan PDP akhirnya bisa disahkan oleh DPR periode sekarang. Berbagai UU yang menguntungkan rakyat itu sekaligus menunjukkan keberpihakan DPR kepada konstituen yang diwakilinya di parlemen.

"Setiap pengesahan undang-undang kemungkinan ada pihak yang diuntungkan dan dirugikan sehingga dapat berdampak pada citra DPR yang naik-turun," ujar Wihadi saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (29/9/2024).

Menurutnya, DPR periode 2019-2024 mampu menciptakan panutan dalam memberikan dukungan produk legislasi kepada pemerintah. Dukungan yang diberikan mayoritas fraksi di DPR itu membuat program-program pemerintah menjadi lebih efektif. Akhirnya, program-program pemerintah yang membutuhkan UU bisa segera dilaksanakan.

"Tentunya DPR periode mendatang sudah mempunyai role model dari DPR yang lama dalam memberikan supporting kepada pemerintahan yang baru, apalagi kan pemerintahan baru ini juga didukung oleh semua fraksi untuk keberlanjutan pembangunan," ujar Wihadi.

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Said Abdullah mengatakan, peran Banggar DPR sangat vital dalam mengawal politik anggaran untuk masyarakat. Sebab berbagai anggaran untuk pembangunan akan dibahas bersama-sama antara DPR dan pemerintah. Dalam pembahasan, masing-masing fraksi juga dapat memastikan anggaran yang ditetapkan memenuhi aspirasi dari masyarakat.

Namun, ada keterbatasan dari sisi kewenangan DPR untuk mengawasi anggaran negara. Putusan MK Nomor 35/PUU-XI/2013 telah membatasi kewenangan DPR dalam membahas Rancangan APBN hanya sampai pada tingkat program. Padahal, sering kali permasalahan penggunaan anggaran berada di satuan tiga ke bawah. Banggar cenderung menemukan "missing link" antara tujuan tujuan strategis dan rencana besar dengan pelaksanaan anggaran dan program teknis.

"Perlu diatur jalan baru agar pengawasan dalam menjalankan fungsi anggaran bisa lebih efektif tanpa menabrak putusan MK," tutur Said.

Di sisi lain, ia berharap Banggar DPR periode mendatang diisi oleh anggota-anggota yang memiliki kapasitas yang mumpuni dalam politik anggaran. Anggota yang ditugaskan sebaiknya memiliki pemahaman tentang ekonomi makro, kebijakan fiskal, dan sistem akuntansi negara. Hal ini untuk mengimbangi mitra kerja Banggar DPR, yakni Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Bank Indonesia yang memiliki jam terbang tinggi dalam ketiga hal tersebut.

Wakil Ketua Banggar DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Cucun Ahmad Syamsurijal menambahkan, DPR periode 2019-2014 menghadapi tantangan besar dalam menjalankan fungsi anggaran. Sebab pada medio 2019 hingga 2021, Indonesia dilanda pandemi Covid-19. Situasi ini membutuhkan politik anggaran yang tangguh untuk menghadapi situasi sulit tersebut.

Adapun dalam fungsi pengawasan, kata Cucun, DPR bahkan telah membentuk Panitia Khusus (Pansus) Haji. Namun, ia menilai fungsi pengawasan tersebut cenderung tidak dihormati oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Padahal, pembentukan pansus itu merupakan bagian dari fungsi pengawasan dan check and balance yang dilakukan DPR ke Pemerintah.

"Masing-masing pihak harus bisa saling menghargai fungsi dan peran masing-masing saat DPR melakukan fungsi pengawasan," ujar Cucun.

Sementara itu, Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi menilai, fungsi legislasi dan pengawasan DPR periode 2019-2024 cenderung lemah. DPR tidak konsisten untuk terus menyuarakan kepentingan rakyat. Beberapa produk legislasi bahkan tidak selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat sehingga menimbulkan resistensi publik.

IPC mencatat, hanya separuh aspirasi dari rakyat yang diserap oleh DPR. Rinciannya aspirasi dari masyarakat sipil yang diserap yakni 256 aspirasi dari 576 keseluruhan aspirasi. Sedangkan dari kalangan akademisi hanya 99 aspirasi yang diserap dari total 209 aspirasi. Sementara hampir semua aspirasi dari pengusaha justru diserap, yakni 300 dari 309 aspirasi.

"Ini menunjukkan DPR tidak konsisten membawa aspirasi masyarakat dan lebih mengakomodasi kepentingan kelompok bisnis dan pemerintah," katanya.

Di sisi lain, fungsi pengawasan DPR justru sangat lemah. Selama lima tahun, DPR tidak mampu membangun keseimbangan sebagai pihak yang mestinya mengoreksi kebijakan pemerintah. DPR justru sering mengikuti kemauan pemerintah dan cenderung menjadi "stempel" kebijakan yang diusulkan pemerintah.

Selain itu, hak-hak DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan juga tidak dioptimalkan. Dalam periode ini, DPR hanya sekali membentuk pansus yakni Pansus Haji. Padahal, banyak masalah yang mestinya bisa diawai oleh DPR seperti tragedi Kanjuruhan, kebocoran data pribadi, dan judi daring yang bisa dibawa ke dalam pansus hingga menggunakan hak untuk menyatakan pendapat.

Adapun dalam fungsi anggaran, lanjut Hanafi, DPR mestinya mempertanyakan kebutuhan anggaran dari tiga kementerian/lembaga dengan porsi anggaran terbesar. Sebab anggaran "jumbo" untuk Kementerian Pertahanan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Kepolisian Negara RI tidak berdampak langsung pada pelayanan publik.

Oleh karena itu, ia berharap ada perbaikan yang dilakukan oleh DPR periode 2024-2029 mendatang. Para wakil rakyat harus terus konsisten menyarankan aspirasi masyarakat dan tidak membuat produk yang bertentangan dengan suara konstituen. Penguatan fungsi pengawasan juga dapat dilakukan dengan memberikan ruang kepada anggota untuk menyuarakan aspirasi dari konstituen yang diwakili tanpa ada kekhawatiran sanksi apabila sikapnya berbeda dengan fraksi.