Dalam wawancara dengan ”Kompas”, Ketua DPR Puan Maharani menjawab soal citra DPR, pembahasan RUU hingga dinamika di DPR.
Oleh KURNIA YUNITA RAHAYU
Jarum jam menunjukkan pukul 09.30 WIB saat Puan Maharani memasuki area Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (27/9/2024). Hari itu, Ketua DPR sekaligus Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut menerima kunjungan dari Ketua Parlemen Nasional Papua Niugini Job Pomat. Dalam pertemuan, Puan dan Pomat menandatangani nota kesepahaman terkait kerja sama parlemen kedua negara yang berlangsung tidak hanya pada periode ini, tetapi juga akan dilanjutkan pada periode lima tahun mendatang.
Selama masa kepemimpinannya, Puan menunjukkan komitmen terhadap diplomasi antarparlemen dengan semua negara. Menurut dia, diplomasi Indonesia harus dilakukan secara seimbang. Artinya, tidak hanya memperhatikan persaingan antarnegara besar, tetapi juga negara-negara tetangga yang berada di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik.
Selain memperkuat diplomasi parlemen, Puan yang kembali terpilih sebagai anggota DPR periode 2024-2029 menyadari bahwa kinerja DPR dalam fungsi legislasi, pengawasan, serta anggaran juga masih perlu diperkuat. Tokoh yang berpeluang besar untuk kembali memimpin DPR karena partainya mendapatkan kursi terbanyak berdasarkan hasil Pemilu 2024 itu percaya diri, salah satunya karena lembaga legislatif itu mengalami tren peningkatan citra di hadapan publik.
Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas pada Oktober 2019, Puan memulai kepemimpinannya dengan citra positif DPR sebesar 38 persen. Kemudian, ia menutup masa jabatan dengan persentase citra positif DPR yang naik menjadi 58 persen pada September 2024.
Lantas, bagaimana evaluasi dan proyeksi kerja DPR di mata Puan? Berikut petikan wawancara Kompas dengan Puan pada Jumat siang.
Jelang akhir periode 2019-2024, terdapat tren kenaikan citra positif DPR. Kendati demikian, ada pula sejumlah pekerjaan rumah, terutama soal fungsi legislasi yang masih jauh dari target Program Legislasi Nasional, yakni dari 263 RUU yang ada di Prolegnas 2020-2024, baru 26 yang tuntas dibahas dan disahkan. Bagaimana evaluasi Anda?
Ya, kami mengapresiasi kalau kinerja DPR selama lima tahun ini ada peningkatan citra dari kerja yang kami lakukan secara bergotong royong. Terima kasih kepada masyarakat bahwa kerja-kerja konstitusional di lembaga legislatif ini mendapatkan apresiasi. Bahwa masih ada kekurangan, tentu saja, insya Allah nantinya pada periode yang akan datang DPR harus terus memperbaiki dirinya.
Perbaikan itu dilakukan secara bergotong royong karena DPR merupakan lembaga yang melaksanakan tugas bersama-sama, secara kolektif kolegial. Jadi, harus ada komitmen bersama di antara semua partai politik atau perwakilan partai, yaitu fraksi yang ada di DPR, untuk dapat melaksanakan tugas-tugasnya di DPR, yaitu fungsi legislatif, anggaran, dan pengawasannya secara bersama.
Kalaupun dari fungsi legislasi masih ada kekurangan, fungsi legislasi itu, kan, dilakukan bersama-sama, bukan hanya DPR, melainkan juga pemerintah. Dan, kalaupun hal itu sudah dilakukan melalui mekanisme yang ada, secara terukur, dan dilakukan dengan sebaik-baiknya, dan mungkin masih ada kekurangan, tentu saja karena memang (itu dilakukan secara) kolektif-kolegial, mekanismenya sudah dilakukan dengan perdebatan yang saya rasa sudah cukup konsisten dan cukup padat, tentu saja ke depan harus tetap diperbaiki.
Saya berharap, karena memang sudah dilakukan sesuai aturan dan mekanisme yang ada, ya, ke depan mungkin memang perlu ada perbaikan-perbaikan. Saran-saran atau masukan tentu saja akan kami dengarkan.
Pembahasan sejumlah RUU menjadi kontroversi karena dibahas kilat dan minim partisipasi publik yang bermakna, contohnya RUU Mahkamah Konstitusi, RUU Kementerian Negara, RUU Dewan Pertimbangan Presiden. Mengapa masih ada pembahasan RUU yang melewatkan prinsip partisipasi publik yang bermakna, padahal itu sudah diadopsi ke UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan?
RUU yang disahkan itu telah melewati prosedur dan mekanisme pembahasan sesuai ketentuan. Kalau dianggap ada hal-hal yang kurang memenuhi aspek peraturan perundang-undangan, tersedia mekanisme konstitusional untuk mengujinya.
Ada sejumlah RUU yang menjadi perhatian publik, tetapi tidak kunjung dituntaskan, misalnya RUU Perampasan Aset dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Padahal, DPR periode ini juga membuat UU yang diapresiasi publik, yakni UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. RUU apa saja yang akan jadi prioritas lima tahun mendatang?
Fungsi legislasi DPR merupakan kerja kolektif kolegial, baik internal DPR yang terdiri dari fraksi-fraksi maupun bersama pemerintah, sehingga diperlukan satu kesepakatan bersama dalam menjalankan mekanisme pembentukan undang-undang.
Selama lima tahun terakhir, jarang ada friksi antara DPR dan pemerintah seperti periode-periode sebelumnya. Hal itu tidak terlepas dari koalisi partai politik pendukung pemerintah mendominasi di parlemen. Dalam konteks tersebut, bagaimana Anda mengelola fungsi pengawasan oleh legislatif terhadap kerja eksekutif?
Fungsi pengawasan tentu saja dilakukan secara internal di dalam gedung DPR yang dilakukan dalam mekanismenya di komisi dan AKD (alat kelengkapan Dewan). Ada perdebatan-perdebatan yang pasti sudah dilakukan di ruang-ruang komisi dan AKD yang ada, dan dilakukan secara kolektif kolegial.
Jadi, kalau kemudian di akhirnya (terjadi) musyawarah dan mufakat, atau kemudian didapatkan titik temu, ya, itu merupakan satu hal yang menurut kami adalah hal yang cukup baik untuk dilakukan, daripada kemudian tidak ada satu jalan keluar atau titik temu yang terbaik. Adapun ke depan, secara konstitusi fungsi kontrol DPR harus dilakukan lewat tiga fungsi DPR (legislasi, pengawasan, dan anggaran).
Sebagai perempuan politisi, bagaimana Anda melihat tantangan keterwakilan perempuan di DPR? Pada periode 2024-2029, jumlah perempuan anggota DPR terpilih naik walaupun belum mencapai 30 persen dari total jumlah anggota DPR. Mayoritas perempuan yang terpilih juga masih terkait dengan dinasti politik.
Mereka yang terpilih sudah melewati proses kontestasi, dipilih langsung oleh rakyat. Kita berharap keterwakilan perempuan di parlemen segera mencapai 30 persen. Tentu, kita berharap keterwakilan itu tidak hanya dari kuantitas, tetapi juga kualitas. Dengan demikian, perempuan akan maksimal mewarnai semua proses di DPR RI.