Desa wisata menjadi salah satu skema desa berkelanjutan. Salah satu langkah awalnya adalah memetakan potensi desa.  

Oleh Siwi Nugraheni

Pembangunan perdesaan bertujuan mencapai kesejahteraaan masyarakatnya. Dalam bahasa para pendamping kegiatan pembangunan desa, yang biasanya menggunakan kerangka penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood approach/SLA), adalah mencapai penghidupan yang berkelanjutan. Artinya, penghasilan meningkat, kondisi lingkungan lebih lestari, kesehatan warga makin baik, dan kondisi-kondisi yang makin baik lainnya.

Guna mencapai penghidupan yang berkelanjutan, salah satu hal pertama yang perlu dilakukan adalah memetakan potensi desa. Caranya adalah dengan mengenali berbagai modal yang dimiliki desa. Ini mulai dari modal fisik (antara lain infrastruktur), modal finansial (dana desa), modal lingkungan (bentang alam), sampai modal sosial dan bahkan juga modal budaya/kultural.

Beragam modal tersebut akan digunakan sebagai dasar mengembangkan berbagai kegiatan ekonomi produktif bagi warga desa, baik secara individual maupun komunal sebagai kegiatan usaha di bawah pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Yang terakhir ini sekaligus juga menjadi salah satu sumber pendapatan asli (PAD) desa yang diharapkan dapat menjadi modal finansial mendampingi dana desa.

Baru-baru ini kami berkesempatan mengunjungi sebuah desa wisata di sebuah kaki pegununungan. Dengan bentang alam kaki gunung, dapat diperkirakan jenis wisata yang dikelola BUMDes desa tersebut adalah wisata alam.

Di sana, ada area perkemahan baik untuk camping ala pendaki gunung atau pramuka maupun glamping alias glamorous camping. Ada pula jalur hiking dengan pemandangan alam di pinggir danau dan air terjun.

Desa-desa sekitarnya rupanya juga ada beberapa yang mengambil desa wisata sebagai kegiatan mereka. Berlokasi saling berdekatan membuat desa-desa wisata itu menjual produk wisata senada.

Atas keinginan melakukan diferensiasi produk, desa tempat kami berkunjung menawarkan penampilan musik dan tari yang mereka katakan sebagai khas desa tersebut. Maka, sebuah tarian selamat datang diiringi musik digunakan untuk menyambut pengunjung desa wisata.

Sayangnya, tarian selamat datang diiringi musik  tersebut tidak terlalu berhasil mengirimkan pesan tentang keunikan desa yang diharapkan memberikan nilai tambah dibandingkan desa-desa wisata tetangganya. Alih-alih mengesankan, tarian tersebut untuk sebagian besar pengunjung dirasakan berlebihan.

Dampaknya justru menimbulkan perasaan tidak nyaman pada pengunjung karena disambut bak raja. Paling tidak itu yang dirasakan rombongan kami yang ketika berkunjung mengenakan outfit sangat santai bersiap melakukan hiking.

Sebagai umpan balik kepada pengelola desa wisata, kami mengusulkan untuk menampilkan tari dan musik dalam bentuk yang sedikit berbeda, menjadi lebih melibatkan pengunjung sebagai pelaku. Kami contohkan bagaimana Desa Wisata Nglanggeran di Gunung Kidul mengemas kesenian karawitan dengan memberi kesempatan pengunjung untuk memainkan beberapa instrumen gamelan.

Contoh lainnya adalah permainan angklung di Saung Angklung Udjo di Bandung. Ketika pengunjung ikut melakukan kegiatan seni, unsur mengalami menjadi hal yang lebih menarik bagi pengunjung ketimbang hanya sekadar melihat.

Salah satu kegiatan yang kami lakukan adalah meninjau sungai yang ada di desa tersebut, yang dibuka untuk kegiatan arung jeram. Sayang, cuaca tidak mengizinkan kami mencoba arung jeram.

Namun, informasi yang kami dapat dari kelompok pengelola desa wisata, unit kegiatan arung jeram menjadi salah satu andalan mereka. Produk wisata ini sangat diminati wisatawan, terutama yang berusia muda, sebagai tempat uji nyali.

Dengan semakin populernya sungai tersebut sebagai lokasi arung jeram yang menantang, semakin meningkat pula jumlah peminat yang berkunjung dan menjajal petualangan berperahu karet mengikuti aliran air di sungai tersebut.

Pengolahan bahan pangan lokal menjadi berbagai makanan ringan sebagai oleh-oleh khas dari desa tersebut patut dibanggakan. Area ini masih bisa didorong untuk bisa memiliki kinerja yang lebih baik.

Sebetulnya jenis makanannya bukan baru. Namun karena dibuat dengan bahan-bahan yang dipanen dari desa, produk desa tersebut memberikan kesan makanan alami yang (dianggap) lebih  sehat. Makanan produksi setempat sebagai oleh-oleh menjadi hal yang paling menarik dari desa tersebut.

Dari cerita di atas, ada satu hal yang dapat dicatat ketika kita melakukan pemetaan potensi desa, yaitu perlunya sudut pandang dari pihak calon konsumen, bukan hanya mengandalkan klaim mandiri. Dalam kunjungan kami ke desa wisata di atas, penyambutan pengunjung dengan tari dan musik kontraproduktif. Pengunjung justru merasa kurang nyaman.

Dalam pengembangan ke depan, kami juga menjajaki kerja sama dengan desa-desa sekitarnya yang juga mengusung tema desa wisata, dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Desa Bersama (BUMDesma). Kegiatan-kegiatan yang mirip dapat digabung dan setiap desa dapat berkonsentrasi pada sebuah unit kegiatan yang memiliki keunggulan komparatif.

Dalam kasus desa yang saya ceritakan di atas, area kegiatan glamping dan camping barangkali dapat digabung dengan desa wisata tetangga. Begitu juga dengan kegiatan hiking dan birdwatching. Desa yang bersangkutan dapat menjadi pemimpin dalam kegiatan arung jeram dan penyediaan oleh-oleh. Kolaborasi beberapa desa wisata yang bertetangga, dengan modal bentang alam yang kurang lebih sama diharapkan mendatangkan hasil yang lebih baik.