Peningkatan kapasitas jaringan drainase memerlukan pembebasan seluruh saluran dari hambatan karena penitipan jaringan utilitas, seperti kabel listrik dan pipa gas.
Oleh Firdaus Ali
Manusia-air-iklim akan semakin menjadi nexus kritikal pada sisa waktu peradaban di Planet Bumi yang saat ini dipadati oleh 8,1 miliar jiwa lebih.
Tekanan terhadap ruang yang sering gagal diurus oleh banyak pemerintahan, terutama pemerintah kota, akan semakin menambah kerentanan terhadap bencana iklim, cuaca, dan air (hidrometeorologi) berupa cuaca ekstrem, banjir, genangan, longsor, juga kekeringan parah.
Jakarta yang secara de facto masih merupakan ibu kota NKRI (sampai diterbitkannya keputusan presiden tentang pemindahan ibu kota NKRI ke IKN di Penajam Paser Utara, Kaltim) dihadapkan pada ancaman serius bencana hidrometeorologi yang terus meningkat, baik intensitas, jumlah, maupun durasi kejadiannya.
Krisis iklim, anomali cuaca, dan buruknya praktik tata ruang dan tata kelola air yang terjadi selama ini menjadi kombinasi sangat membahayakan yang dapat memicu berulangnya bencana banjir besar dan rob. Selain mengancam kenyamanan dan keamanan, bencana ini tentu mengganggu aktivitas sosial-ekonomi di kota pesisir seperti Jakarta yang masih merupakan pusat aktivitas dan penentu pertumbuhan ekonomi nasional.
Krisis air dan penurunan muka tanah
Jakarta sudah lama dihadapkan pada tingginya risiko bencana hidrometeorologi. Krisis air, baik berupa kekurangan air bersih perpipaan sepanjang musim maupun kelebihan air yang tidak bisa dikelola sehingga menyebabkan banjir, genangan, dan rob, menjadi tantangan serius sekaligus tugas besar bagi Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Salah satu masalah utama penyebab banjir, genangan, dan rob adalah masih sangat rendahnya cakupan layanan air bersih perpipaan di Jakarta. Perusahan Air Minum (PAM) Jaya hingga saat ini baru melayani sekitar 44 persen dari total jumlah penduduk.
Sementara itu, tingkat kebocoran air (non-revenue water) perpipaan mencapai 47 persen (tertinggi di dunia). Ini setara dengan 9.753 liter/detik (ekuivalen dengan 842.659 meter kubik/hari) yang bisa memenuhi kebutuhan bersih sekitar 5,6 juta jiwa (untuk konsumsi 150 liter/hari).
Ironinya angka kebocoran 47 persen tersebut setara dengan 1,5 kali total kapasitas produksi Instalasi Pengolahan Air Pejompongan 1 dan 2 (6.300 liter/detik).
Apa hubungan rendahnya suplai air bersih perpipaan dengan banjir dan rob? Karena cakupan layanan air bersih perpipaan masih sangat rendah, sebagian besar entitas bisnis serta gedung bertingkat tinggi di Jakarta ”terpaksa” mengambil air tanah dalam (deep groundwater) secara masif yang tidak diimbuhkan kembali.
Kondisi ini menyebabkan dan mempercepat laju penurunan muka tanah (land subsidence), terutama di daerah pesisir Jakarta yang semakin rentan terhadap banjir, genangan, dan rob. Ini masih berlangsung setidaknya di delapan titik rawan di Jakarta Utara.
Pascabanjir besar yang hampir dua pekan tidak surut melanda Jakarta pada 2007, penulis bersama tim peneliti dari Institut Teknologi Bandung terus mengingatkan pemerintah akan bahaya tingginya laju turun muka tanah di Jakarta.
Jakarta menempati peringkat pertama kota pesisir dengan kecepatan laju turun muka tanah tertinggi di dunia dengan rata-rata sekitar 12 cm/tahun. Dalam 20 tahun terakhir, muka tanah di wilayah pesisir sudah turun 2,04 m dan ini sama dengan ketinggian tanggul pantai yang dibangun sejak tahun 2007.
Banjir rob menjadi peristiwa berulang, terutama saat pasang maksimum. Ketinggian pasang air laut mencapai + 2,85 m di atas muka air rata-rata Peil Priok (PP/pengukur ketinggian air laut di Tanjung Priok), sementara ketinggian rata-rata tanggul pantai yang ada adalah + 2,5 m PP.
Bahkan pada beberapa lokasi masih ada yang tingginya hanya + 2,20 m PP. Tidak heran selama belum terbangun tanggul pantai dengan ketinggian di atas + 4,5 m PP, pesisir Jakarta tidak akan terlindungi dari ancaman banjir rob.
Pemanasan global telah berkontribusi pada kenaikan elevasi muka air laut rata-rata (5-6 mm/tahun). Kondisi ini semakin memperparah kerentanan wilayah pesisir Jakarta terhadap rob. Dari total panjang pantai di Jakarta yang harus dilindungi tanggul, yaitu sekitar 39 km, masih ada sepanjang 16,76 km (43 persen) yang belum ditanggul sama sekali.
Hanya dibutuhkan Rp 3 triliun untuk menyelesaikan tanggul ini dibandingkan dengan potensi kerugian ekonomi yang bisa mencapai delapan kalinya.
Pengendalian banjir dari hulu
Pemprov DKJ juga berupaya melakukan penanganan banjir dan genangan yang tidak kalah rumitnya selama ini. Di luar kejadian cuaca ekstrem, banjir dan genangan di Jakarta terutama disebabkan gagalnya pengendalian air limpasan (run off).
Limpasan ini berasal dari hulu 13 sungai yang melintasi Jakarta ataupun diakibatkan ketidakmampuan sistem jaringan drainase kota untuk menampung dan mengalirkan air limpasan karena hilangnya bidang/fungsi resapan air.
Jakarta harus bersinergi saling menguntungkan dengan daerah hulu untuk menperbaiki dan menambah sistem retensi air limpasan. Revitalisasi dan pembangunan bendungan/waduk/embung/situ serta pemulihan atau penambahan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru adalah solusi mendesak, sambil secepat mungkin menyelesaikan normalisasi Ciliwung yang terbengkalai.
Penanganan banjir dan genangan dalam wilayah kota harus segera menjadi prioritas. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan dan penambahan kapasitas alir seluruh jaringan drainase.
Peningkatan kapasitas jaringan drainase memerlukan pembebasan seluruh saluran dari hambatan karena ”penitipan” jaringan utilitas, seperti kabel listrik dan telekomunikasi serta pipa air dan gas. Jaringan utilitas kota tersebut harus dipindahkan pada satu sistem Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) bawah tanah yang bisa ditempatkan di median jalan.
Pengurangan beban air limpasan dari setiap persil/bangunan melalui sistem penampungan dan resapan air hujan bawah tanah adalah pilihan terbaik untuk kota Jakarta yang sulit membebaskan lahan untuk membangun kali/sungai/waduk/situ baru di permukaan tanah.
Untuk jangka panjang, Jakarta harus memprioritaskan membangun reservoir air bawah tanah ukuran besar seperti yang dilakukan Tokyo, Hong Kong, Shanghai, dan banyak kota besar lainnya di dunia. Selain untuk penanganan banjir dan air limpasan yang dialihkan ke reservoir bawah tanah, fasilitas itu juga dapat digunakan sebagai alternatif sumber air baku untuk PAM Jaya, untuk penyiraman taman kota, serta cadangan air bagi pemadaman kebakaran yang jamak terjadi di Jakarta.
Masalah lain yang tak kalah mendesak adalah memastikan tidak ada lagi sampah yang dibuang ke badan-badan dan saluran air yang juga menyebabkan sumbatan dan menurunnya kapasitas alir saluran drainase kota.
Banjir, genangan, dan rob ini selalu berujung pada kemacetan parah yang pasti menyebabkan pemborosan bahan bakar minyak (BBM), polusi udara, dan hilangnya waktu produktif serta kenyamanan masyarakat. Kesemuanya itu akan berujung pada rendahnya produktivitas Kota Jakarta.
Selamat datang Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih DKJ, mari kita nyalakan semangat menuju Jakarta Kota Global dan Pusat Pertumbuhan Ekonomi Nasional.