FOTO/ISTIMEWA
RM.id Rakyat Merdeka - Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus syarat ambang batas dukungan partai politik dalam pencalonan Presiden-Wakil Presiden atau Presidential Threshold (PT). Putusan MK tersebut dinilai menjadi angin segar dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Anggota Komisi II DPR Ahmad Irawan mengapresiasi putusan MK itu. Hanya saja, putusan itu baru keluar setelah melalui proses uji materi yang sangat panjang. Setidaknya, syarat PT ini telah digugat sebanyak 33 kali.
“Putusan MK tersebut tentu akan menjadi bagian pertimbangan kami dalam merevisi Undang-Undang Pemilu. Ini menjadi constitutional engineering terhadap kehidupan demokrasi konstitusional kita,” kata Ahmad Irawan di Jakarta, Jumat (3/1/2024).
Diketahui, UU Pemilu membatasi hanya partai politik (parpol) atau gabungan parpol dengan jumlah kursi 20 persen parlemen atau 25 persen suara sah nasional pemilu legislatif yang berhak mengajukan Capres dan Cawapres. PT ini memang menjadi polemik setelah Pemerintah dan DPR bersepakat untuk melaksanakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden-Wakil Presiden secara serentak.
Baca juga : Prospek Ekonomi RI 2025 Semakin Cerah
Politisi Fraksi Partai Golkar meyakini, MK telah bekerja secara profesional dan independen. “Putusan MK tersebut bagi kami sebagai pembentuk undang-undang sama saja dengan berbagai putusan MK sebelumnya. Kami hormati karena putusannya bersifat akhir dan mengikat (final and binding),” lanjutnya.
Meskipun demikian, politisi berlatar belakang pengacara ini memberikan catatan terhadap putusan MK tersebut. Dalam hal ini terkait dengan konsistensi MK dalam melihat ketentuan syarat ambang batas pencalonan Presiden-Wakil Presiden ini. Sebab selama ini, MK berpandangan, tidak ada konstitusi yang dilanggar dengan adanya PT tersebut. Namun pandangan tersebut akhirnya runtuh setelah uji materi yang ke-33.
“Jadi pada akhirnya, belum tentu yang diputuskan oleh MK dalam proses pengajuan undang-undang itu merupakan suatu kebenaran konstitusional. Sejarah dan waktu yang akan mengujinya,” paparnya.
Irawan berpandangan, setidaknya ada dua alasan pokok terkait putusan MK yang kemudian memberikan kedudukan hukum dan dikabulkan. Pertama, terbatasnya alternatif pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang ditawarkan. Kedua, secara faktual dalam beberapa Pilpres terdapat nominasi beberapa partai politik dalam pengusulan pasangan calon sehingga membatasi pilihan pemilih. Dua alasan tersebut yang mendasari MK berpendapat inkonstitusional.
Baca juga : BNI Akan Optimalkan Dana Murah Via Ekspansi Digital
“Nanti perlu kita pelajari lagi secara lengkap putusannya. Putusan MK kan kasus konkret. Saya kira ini baik sebagai bahan evaluasi dan penyusunan Undang-Undang Pemilu ke depan,” pungkasnya.
Sebelumnya, MK memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold (PT) dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Enika Maya Oktavia dan sejumlah mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Baca juga : Program Sekolah Gratis Dipatok Jalan Tahun Ini
“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Suhartoyo.
Terpisah, anggota Komisi II DPR Indrajaya mengatakan, sistem proposional terbuka dalam pemilu memang ditentukan secara kuantitatif dengan perolehan suara pemilih. Namun, kualitas peserta tetap harus menjadi faktor utama.
”Maka, penghapusan PT merupakan upaya untuk membuka konstitusionalitas semua warga yang akan menaikkan derajat demokrasi kepemiluan di Indonesia,” ujar Indrajaya.
Indra mengatakan, putusan MK yang akhirnya mencabut PT setelah 33 kali di-uji materikan bukan semata-mata faktor keterlambatan, tapi pertimbangan matang. “Membangun suatu peradaban tidak boleh gegabah atau grusa-grusu. Ini adalah kemenangan bangsa dan negara. Putusan MK final dan mengikat sehingga harus dilaksanakan,” kata Indra.