Dokumentasi - Dirresnarkoba Polda Metro Jaya Kombes Pol. Donald Parlaungan Simanjuntak memamerkan narkoba yang disembunyikan tersangka di dalam mobil, Rabu (11 Juni 2024).

Dokumentasi - Dirresnarkoba Polda Metro Jaya Kombes Pol. Donald Parlaungan Simanjuntak memamerkan narkoba yang disembunyikan tersangka di dalam mobil, Rabu (11 Juni 2024). /Foto: ANTARA/Ilham Kausar./

PORTAL LEBAK - Anggota Komisi III DPR RI Abdullah menilai sanksi pemecatan Direktur Reserse Narkoba (Dirnarkoba) Polda Metro Jaya, Kombes Pol Donald Parlaungan Simanjuntak yang terbukti memeras warga negara Malaysia yang menonton Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 sudah tepat.
 

Menurutnya, keputusan pemecatan tersebut harus didasarkan pada bukti yang sangat kuat karena Polri tidak bisa lalai dalam memutuskan memecat anggotanya. "Oleh karena itu, pemecatan itu didukung dengan bukti-bukti yang cukup. Ini adalah tindakan yang tepat," kata Gus Abduh, sapaan akrabnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.

Lebih lanjut, lanjutnya, Kombes Pol Donald merupakan atasan polisi yang diduga memeras penonton DWP dengan menggunakan tes narkoba. “Tes narkoba sebenarnya bagus, tapi kalau disalahgunakan jadi jelek,” pungkasnya. Ditegaskan pula, sidang etik tetap dilanjutkan terhadap pelaku lainnya setelah Kombes Pol Donald dijatuhi hukuman pemecatan.
Lanjutnya, uji coba juga harus dilakukan secara transparan dan tidak ada yang disembunyikan sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat. tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Tidak boleh ada keraguan di masyarakat. Sidang etik harus transparan. Masyarakat kita semakin cerdas dan kritis," ujarnya.

Gus Abduh juga kembali menegaskan, pelaksanaan persidangan etik tidak boleh selektif dan tidak boleh ada pembedaan atau perlakuan khusus terhadap terduga pelaku.

“Mereka harus diperlakukan sama dalam sidang etik. “Mereka yang terbukti melakukan pelanggaran etika harus dihukum,” ujarnya. Ia menambahkan, setelah sidang etik digelar, pelaku juga harus dituntut pidana atas tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 dan Pasal 36 KUHP. "Apalagi jumlah punglinya cukup besar yakni Rp 2,5 miliar," ujarnya. Ia menegaskan, pemerasan tidak hanya mencoreng nama baik kepolisian, tapi juga merusak citra Indonesia di mata dunia karena korban pemerasan adalah warga negara Malaysia.


“Masyarakat internasional akan menganggap Indonesia, khususnya kepolisian, sebagai pemeras dan tidak bermoral. Faktanya, pungutan liar hanya dilakukan oleh sebagian anggota kepolisian saja, bukan oleh Polri secara organisasi, ujarnya. Lebih lanjut, ia juga mengapresiasi tindakan keras Polri dalam menangani kasus pungli. memeras penonton DWP Malaysia karena meminta Polri mengusut dan menutup kasus terlebih dahulu. Sebelumnya, dalam sidang pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian (KEPP) yang digelar pada Selasa (31/12), juri menerapkan sanksi pemecatan tidak jujur ​​( PTDH) atau memecat Donald dan kepala unitnya. (kanit) yang juga diadili.