Ketergantungan subsidi dari pemerintah pusat membuat pemda tak mampu mandiri membiayai penuh seluruh operasional layanan transportasi publik.

Oleh Aguido Adri

Memasuki awal 2025, layanan transportasi umum dengan skema pembelian layanan atau buy the service (BTS) di sejumlah daerah menghadapi tantangan besar. Beberapa layanan berhenti beroperasi, sementara yang lain harus mengurangi aktivitas operasionalnya. Pemerintah pusat dan daerah perlu segera mengatasi persoalan ini sebagai bentuk komitmen untuk menjadikan transportasi umum sebagai prioritas utama dalam mengatasi kemacetan.

Kehadiran layanan BTS berupa BisKita dan Teman Bus dinilai sebagai salah satu upaya untuk mengurangi kemacetan, polusi, hingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, upaya itu seperti masih jauh dari harapan.

Seperti di Kota Bogor, Jawa Barat, BisKita Trans Pakuan berhenti beroperasi per Januari hingga maksimal 30 hari ke depan. Begitu pula di Denpasar, Bali, Trans Metro Dewata berhenti sampai waktu yang belum ditentukan.

Lalu, di Solo, Jawa Tengah, Trans Batik Solo harus mengurangi operasional layanannya karena subsidi dari pemerintah pusat berkurang.

Ketergantungan subsidi dari pemerintah pusat membuat pemda tak mampu mandiri membiayai penuh seluruh operasional layanan transportasi publik sesuai dengan standar pelayanan minimum (SPM).

Kepala Dinas Perhubungan Solo Taufiq Muhammad saat dihubungi, Minggu (5/1/2025), mengatakan, kehadiran Teman Bus dan Trans Batik Solo telah mengubah pola layanan dan mobilitas masyarakat untuk menggunakan transportasi umum.

Namun, berkurangnya subsidi pemerintah pusat dari Rp 80 miliar menjadi hanya Rp 20 miliar pada 2025 membuat layanan Trans Batik Solo di 12 koridor tidak bisa maksimal. Pemerintah pusat hanya memberikan subsidi untuk tiga koridor saja, sisanya Pemkot Solo harus membiayai sembilan koridor.

”Sudah menjadi kebutuhan masyarakat sehingga jangan berhenti. Kami harus putar otak agar layanan Trans Batik Solo terus berlanjut meski subsidi dari pusat berkurang. Saat ini masih berlanjut tetapi ada penyesuaian (pengurangan) layanan, operasionalnya tidak penuh,” kata Taufiq.

Saat ini, kata Taufiq, hanya di koridor 1,5, dan 6 pelayanan operasionalnya secara penuh dari pukul 05.00 hingga pukul 21.00 WIB. Sementara di sembilan koridor lainnya, pelayanan operasional hanya sampai pukul 18.00 WIB.

Di sembilan koridor itu juga hanya dilayani bus sedang dan angkutan penghubung (feeder). Seperti di koridor 1, 3, 4, 5, dan 6 menggunakan bus sedang. Sementara di koridor 2, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 menggunakan feeder.

”Anggaran kami, APBD Kota Solo tidak kuat untuk membiayai secara penuh skema BTS. Kami mengusulkan agar pemerintah daerah dibantu misalnya melalui DAK (dana alokasi khusus) agar transportasi kita tetap berlanjut. Sembari, tentunya, kami daerah memikirkan untuk mencari pendanaan seperti iklan dan lainnya,” kata Taufiq.

Sementara itu, Kepala Dishub Bali I Gusti Wayan Samsi Gunarta mengutarakan, pihaknya masih sangat berharap pemerintah pusat tetap memberikan subsidi hingga Pemprov Bali siap mengambil alih secara bertahap layanan Trans Metro Dewata di enam koridor di Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan.

Jika keuangan daerah siap melalui dana APBD, Pemprov Bali pun siap mengelola layanan Trans Metro Dewata pada Juli 2025.

”Anggaran yang perlu disiapkan sekitar Rp 80 miliar per tahun di enam koridor. Kami siap di bulan Juli. Arahan Pak Gubernur, kami persiapan untuk satu koridor. Secara bertahap koridor lainnya. Sekali lagi, perlu bertahap, tidak bisa sekalian (di enam koridor),” kata Samsi.

Pembenahan

Pembenahan angkutan umum dimulai tahun 2005 oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Setahun setelah beroperasi jalur bus Transjakarta koridor Blok M-Kota sebagai penanda awal modernisasi angkutan umum di Indonesia.

Program pembangunan angkutan umum dengan skema pembelian layanan (BTS) sejak tahun 2020 hingga akhir tahun 2024 sudah ada 14 kota mendapatkan subsidi dengan skema pembelian layanan dari APBN. Kota Bogor menjadi kota percontohan program BTS untuk selanjutnya dikembangkan di kota lainnya di Indonesia.

Adapun 14 kota itu seperti Medan (Trans Metro Deli), Palembang (Trans Musi Jaya), Bogor (Trans Pakuan), Purwokerto (Trans Banyumas), Bandung (Trans Metro Pasundan), Yogyakarta (Trans Yogya, 3 koridor, 44 bus), dan Surakarta (Batik Solo),

Lalu, Surabaya (Trans Semanggi Surabaya), Denpasar (Trans Metro Dewata), Banjarmasin (Trans Banjar Bakula), Makassar (Trans Mamminasata), Depok (Trans Depok), Bekasi (Trans Patriot), dan Balikpapan (Balikpapan City Trans/Bacitra).

Merujuk data Direktorat Angkutan Jalan Ditjen Hubdat, pemerintah pusat memberikan subsidi pada 2020 sebesar Rp 56.9 miliar di lima kota. Pada 2021 sebanyak Rp 292 miliar di 10 kota. Pada 2022 sebesar Rp 550 miliar di 10 kota. Pada 2023 sebesar Rp 625 miliar. Dan, pada 2024 dianggarkan sekitar Rp 500 miliar.

Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, mengatakan, meski program pembangunan transportasi publik terus berjalan, saat ini Indonesia masih mengalami krisis transportasi umum. Apalagi berkaca dari berhentinya skema BTS di Denpasar dan Kota Bogor krisis transportasi umum semakin nyata. Begitu pula dengan berkurangnya layanan operasional di Kota Solo.

Pangsa angkutan umum di Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota lainnya di Indonesia masih kurang dari 20 persen. Bandingkan dengan Singapura, Hong Kong dan Tokyo sudah lebih 50 persen. Lalu, Kuala Lumpur dan Bangkok sekitar 20 persen hingga 50 persen.

”Penyediaan layanan transportasi umum perkotaan masih jauh di bawah kota–kota metropolitan lainnya. Keterbatasan sistem angkutan umum perkotaan mengakibatkan hambatan pertumbuhan ekonomi,” kata Djoko.

Krisis transportasi umum ini pun berdampak pada kemacetan karena penggunaan transportasi pribadi, konsumsi bahan bakar minyak (BBM) tinggi, polusi, hingga pengeluaran biaya transportasi ikut membengkak.

”Transportasi umum membuat kota, kehidupan, dan planet kita menjadi lebih baik. Tanpa transportasi umum, jalanan akan macet, udara menjadi abu-abu karena kabut asap, dan ekonomi akan melambat,” kata Djoko.

 

Menurut Djoko, kasus di Kota Bogor dan Kota Denpasar jangan sampai menular ke kota lainnya. Dua kasus ini harus menjadi lampu merah untuk pemda dan pemerintah pusat untuk berkolaborasi dan bersinergi terutama tetap memberikan subsidi melalui berbagai skema pendanaan.

Kemampuan fiskal di sejumlah daerah memang tak sebesar Jakarta. Namun, penyelenggaraan angkutan umum di daerah tergantung dari kemauan politik (political will) kepala daerah.

Selain itu, pemerintah pusat juga harus memberikan stimulan awal atau bantuan dana alokasi khusus (DAK) angkutan umum bagi daerah yang sudah secara mandiri menyelenggarakan angkutan umum. DAK harus diberikan agar pemenuhan kebutuhan angkutan umum di daerah tercukup.

”Ini (DKA) yang belum ada dan tidak dijalankan. Ini bisa membantu pemda. Lalu, pemerintah pusat dapat mengalihkan sebagian anggaran subsidi BBM untuk penyelenggaraan angkutan umum di daerah,” ujar Djoko.

Pengalihan subsidi itu, kata Djoko, menjadi salah satu cara karena dari data Kementerian ESDM 2012 menunjukkan sekitar 93 persen subsidi BBM dinikmati warga mampu atau memiliki kendaraan pribadi. Sementara angkutan barang menikmati 4 persen dan angkutan umum hanya 3 persen.

Sumber pendanaan juga bisa melalui pajak kendaraan bermotor. Sumber pendanaan ini bisa diterapkan karena sudah tercantum dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Restribusi Daerah.

Dalam pasal itu menyebutkan hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan pungutan tambahan pajak menurut persentase tertentu atau opsen PKB yang dialokasikan paling sedikit 10 persen untuk pembangunan moda dan sarana transportasi umum.

Namun, untuk menerapkan pendanaan transportasi umum melalui PKB ini, kata Djoko, pemda memerlukan peraturan Menteri Dalam Negeri.

Sumber potensi pendanaan lainnya yang belum banyak dilakukan oleh pemda yaitu memasang iklan di terminal, halte, dan badan bus.

Selanjutnya, kepala daerah dapat meminta bantuan armada bus ke pihak swasta dan BUMN untuk meringankan beban subsidi dari APBD.

Pemerintah pusat dan daerah juga harus belajar dari negara Perancis yang mampu memanfaatkan corporate social responsibility (CSR) perusahaan swasta dan tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) BUMN untuk membeli armada bus dan kepentingan pelayanan angkutan publik.

Prioritas

Pengamat sosial politik dan kebijakan publik dari Institut Teknologi dan Bisnis Visi Nusantara Bogor, Yusfitriadi, mengatakan, berhentinya layanan transportasi publik di Kota Bogor dan Kota Denpasar bukan tak mungkin menular di daerah lainnya ke depan.

Menurut Yusfitriadi, hal itu bisa sangat terjadi karena selama ini stimulan yang diterima pemda tidak dibarengi dengan kesiapan perencanaan pendanaan untuk keberlangsungan dan keberlanjutan transportasi umum.

Parahnya lagi, transportasi umum belum menjadi kebijakan prioritas di Indonesia. Padahal, dari program BTS perlahan muncul ekosistem menggunakan transportasi umum. Sayangnya, ekosistem yang sudah berjalan baik itu justru tidak dioptimalkan pemerintah. Komitmen pemerintah menghadirkan transportasi umum pun dipertanyakan.

Berdasarkan evaluasi Direktorat Angkutan Jalan pada 2024, keberadan Teman Bus mengubah kebiasaan warga dalam bertransportasi.

Evaluasi itu menyebutkan sebanyak 69 persen sebelumnya menggunakan sepeda motor beralih ke transportasi umum. Lalu, ada 31 persen tidak memiliki sepeda motor memilih menggunakan transportasi umum. Kemudian ada 26 persen yang memiliki mobil dan 74 persen tidak memiliki mobil menggunakan transportasi umum.

”Transportasi publik ini kebutuhan dasar dan wajib. Harus menjadi kebijakan prioritas, kebijakan utama pemerintah dan masuk dalam APBN dan APBD. Kebijakan transportasi publik ini harus kuat dulu di legislatif dan yudikatif. Komitmen pusat dan daerah patut dipertanyakan,” kata Yusfitriadi.

Menurut Yusfitriadi, berhentinya layanan transportasi umum atau tidak maksimalnya pengelolaan layanan akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat.

”Pengeluaran dari sisi transportasi itu memengaruhi kesejahteraan warga. Biaya hidup mereka semakin besar karena sudah tersedot untuk transportasi dan dampak turunannya dari kemacetan. Tahun baru ini, awan gelap bagi transportasi umum di Indonesia,” ujarnya.

Ketiadaan dan berkurangnya layanan transportasi umum akan membuat warga kembali menggunakan transportasi pribadi sehingga kemacetan akan semakin parah. Kesejahteraan warga pun semakin terancam. Masyarakat harus siap dengan dampak kerugian besar secara ekonomi seperti pengeluaran biaya transportasi yang semakin tinggi.