Pelni sebagai BUMN penopang transportasi antarpulau menghadapi tantangan besar: peremajaan armada tua dan peningkatan kapasitas layanan.
Oleh Yosepha Debrina Ratih Pusparisa
PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) atau Pelni berperan sebagai penopang utama kebutuhan transportasi masyarakat, khususnya di kalangan kelas menengah ke bawah. Dalam banyak kasus, kapal Pelni menjadi satu-satunya pilihan moda transportasi yang tersedia.
Suntikan modal telah didapat guna mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Namun, Pelni tidak dapat hidup mandiri jika terus dibebankan beragam fungsi yang menghambatnya bertumbuh. Pemerintah perlu mengkaji isu ini agar perusahaan pelat merah ini juga berpeluang menghasilkan keuntungan dan dapat berinovasi.
Dalam sebuah forum dialog dengan media, Direktur Utama Pelni Tri Andayani mengemukakan, saat ini ada 26 kapal yang beroperasi. Dari jumlah itu, 13 unit memasuki usia pensiun pada 2025. Jumlahnya akan terus meningkat seiring berjalannya waktu.
”Nah, karena 26 kapal itu kami dulu belinya dari Jerman, kami mengacu pada usia teknis maksimum 30 tahun,” ujar Andayani di Jakarta, Jumat (10/1/2025).
Meski sudah melewati ambang batas usia, tetapi pihaknya berupaya menjamin keselamatan dan keamanan armada dengan melakukan perawatan dan perbaikan di galangan kapal atau docking. Kapal-kapal tua tidak dapat digunakan selamanya meskipun perbaikan dan perawatan dilakukan secara berkala.
Alhasil, Andayani bersama jajaran direksi mengajukan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 1,5 triliun pada 2024. Dana yang akan cair pada 2025 ini akan digunakan sebagai uang muka pembuatan tiga kapal baru. Kapal ini dapat mengangkut 1.000 penumpang dan 75 kontainer. Harga setiap kapal sekitar Rp 1,5 triliun.
Pada 2025, Pelni pun akan kembali mengajukan PMN hingga Rp 2,5 triliun untuk pengadaan kapal-kapal baru lagi. Kekurangan dana pelunasan atas tiga kapal pertama sebesar Rp 500 miliar akan ditutup dengan biaya perusahaan.
Ketiga kapal yang mulai dikerjakan pada tahun ini diprediksi tuntas pada 2028. Alhasil, sembari menanti kapal ini jadi, Andayani masih akan mengajukan PMN untuk mengantrekan pembuatan kapal-kapal lain. Pada 2026, Pelni akan mengajukan PMN Rp 4,8 triliun untuk pengadaan kapal baru lainnya.
Semua kapal eksisting merupakan aset langsung nontunai atau inbreng yang diakomodasi Presiden BJ Habibie. Saat itu pemerintah menyediakan dengan kerja sama antara Indonesia dan Jerman melalui government to government (G2G).
”Beberapa hal dalam pembahasan bersama Menteri Perhubungan yang lalu, Bapak Budi Karya Sumadi, akhirnya diputus PMN tunai bukan PMN inbreng,” kata Andayani.
Dari 11 negara yang disurvei sebagai bakal calon produsen kapal Pelni, pihaknya mengerucutkan menjadi enam negara, yang terdiri dari tiga negara Eropa dan tiga negara Asia. Namun, hingga kini, jajaran direksi Pelni belum memutuskan produsen mana yang akan menggarap proyek ini.
Selain usia kapal yang sudah tua, kapasitas kapal pun makin tidak mumpuni menampung tingginya permintaan penumpang. Jika biasanya Pelni hanya mengajukan permohonan dispensasi kapasitas penumpang sebesar 150 persen dari batas maksimum kapal ke Kemenhub, kini trennya mulai berubah.
Selama dua tahun terakhir, Andayani melanjutkan, permintaan itu diajukan hampir sepanjang tahun. Itu artinya, mobilitas masyarakat menggunakan kapal Pelni pun meningkat, tidak hanya sekadar pada musim puncak berlibur (peak season).
Sudah selayaknya Pelni mengantongi PMN dari pemerintah karena perusahaan pelat merah itu telah ditugasi melayani rute-rute antarpulau. Daerah yang dilalui pun banyak yang tidak dijangkau perusahaan swasta karena besarnya biaya yang digelontorkan dan pertimbangan keuntungan yang tipis dibandingkan dengan rute pelayaran lain.
Pengajar maritim Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Raja Oloan Saut Gurning, menilai, Pelni mengemban tugas berlebih dari negara. Imbasnya, perusahaan BUMN ini kurang berkembang dan minim inovasi.
”Saya melihat Pelni sebagai contoh (perusahaan) menjalankan PMN yang seharusnya menguntungkan, ternyata enggak. Jadi beban,” ujar Saut.
Pelni memang dibentuk pemerintah sehingga dapat melaksanakan fungsi pemerintah. Namun, Pelni perlu mengurangi jasa-jasa yang bersifat penugasan.
”Untuk melakukan fungsi-fungsi publik yang andal, unit usaha BUMN harus diberi kemampuan agar tetap sehat dan bisa untung serta berinvestasi guna memperbarui kapal-kapalnya. Alhasil, Pelni dapat mengejar fungsi-fungsi lain, tidak hanya (penugasan) negara,” kata Saut.
Pelni memang dapat bertugas melayani masyarakat sebagai penghubung antarpulau, khususnya Indonesia bagian timur dengan ragam pulau. Namun, BUMN ini perlu melihat potensi-potensi baru, seperti pengiriman kargo atau kontainer. Angkutan pariwisata jarak pendek, misalnya, juga dapat dilirik sebagai alternatif pemasukan lain.
Ketua Forum Pembiayaan Infrastruktur Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Muhammad Saifullah mendorong Pelni melakukan hal yang sama. Kebutuhan transportasi laut memberi kepastian bagi operator kapal mengantongi pendanaan investasi karena didasari kebutuhan publik.
Pelni memang semestinya diapresiasi dan didukung pemerintah guna mengganti kapal-kapalnya. Pelayanan bagi penumpang diharapkan dapat lebih baik.
Meski demikian, kontrak-kontrak tol laut sebagai salah satu penugasan pemerintah seharusnya diberi kepastian. Alih-alih memberi kontrak jangka panjang, pemerintah justru memperbarui kontrak tiap tahun sehingga berpengaruh pula pada perencanaan bisnis perusahaan.
”Kalau per tahun ini berisiko dari pemerintah karena risiko politiknya cukup tinggi. Padahal, dengan kontrak jangka panjang, perjanjian 10 tahun pembelian kapal, misalnya, ada pengembalian investasi,” kata Saifullah.
Apabila skema ini berjalan, Pelni juga dapat mengupayakan pelayanan jangka panjang sehingga badan usaha dapat lebih matang. Pelni juga dapat membeli kapal tanpa butuh anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Upaya ini juga mendorong BUMN makin mandiri.
”Jadi, PMN tidak hanya untuk peremajaan, tetapi juga memastikan kapal yang dibeli nanti sudah jelas market ke mana, jadi klop. Kalau sudah ada skema pembayaran, harusnya kebutuhan PMN enggak terlalu besar,” ujar Saifullah.
Sebelumnya, Andayani mengemukakan bahwa Pelni tengah berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan dan Kementerian Keuangan mengkaji skema-skema pembiayaan selain PMN. Alternatif ini diharapkan dapat memberi ruang bagi Pelni untuk berinvestasi. Namun, pihaknya belum dapat membeberkan detail rencana investasi yang dimaksud.
”Kami sedang mempelajari beberapa alternatif di luar skema PMN untuk menjadi skema investasi pada 2027 dan seterusnya,” kata Andayani.
Pelni memang membutuhkan PMN demi mengakomodasi kebutuhan masyarakat. Namun, perusahaan itu tetap perlu memperkuat dengan kajian yang komprehensif.
Guru Besar Transportasi Maritim Universitas Pattimura, Ambon, Marcus Tukan berpendapat sudah semestinya Pelni memperkuat kebutuhan PMN dengan argumentasi ilmiah. Pertama, dana ditujukan untuk perbaikan infrastruktur permodalan. BUMN tersebut harus membedah kinerja keuangannya. Kedua, peningkatan kapasitas BUMN yang perlu dikaji menyeluruh.
”Berkaitan pengalaman operasional Pelni selama ini, memang perlu ada perbaikan-perbaikan kinerja. Itu bukan dari luar, melainkan masalah internal perusahaan yang harus dibenahi terkait transparansi dan pengelolaan muatan, baik orang maupun barang,” kata Marcus.
Semua pihak, Marcus melanjutkan, perlu duduk bersama karena terkadang tiap sisi berkomentar, berpendapat sesuai narasi yang dibangun masing-masing. Keterbukaan Pelni akan masalah ini begitu diharapkan. Ada naskah akademik yang perlu dijabarkan sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban atas uang negara yang digunakan.