Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor elpiji dari asing membuat komoditas ini sangat rentan menimbulkan gejolak di masyarakat.

Oleh Budiawan Sidik A

Tanpa pembenahan tata niaga yang optimal, niscaya kericuhan terkait perdagangan elpiji 3 kilogram akan terus berulang. Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor elpiji dari asing membuat komoditas ini sangat rentan menimbulkan gejolak di masyarakat. Baik ketika subsidi dikurangi maupun diubah teknis pembeliannya akan sama-sama menimbulkan persoalan di khalayak luas. Setidaknya saat awal kebijakan itu mulai diterapkan.

Pada awal Februari kemarin, pemerintah mengatur pembelian elpiji 3 kilogram hanya melalui pangkalan atau agen resmi penyalur PT Pertamina. Elpiji bersubsidi ini tidak bisa dibeli lagi lewat pengecer-pengecer umum yang tersebar bebas di banyak tempat. Untuk sementara, pembelian elpiji 3 kilogram dilayani di pangkalan resmi sambil pemberintah membenahi sistem penyalurannya menjadi lebih baik lagi. Terutama di tingkatan subagen penyaluran yang skala penjualannya relatif kecil.

Namun, perubahan perniagaan yang drastis itu membuat kericuhan di masyarakat. Timbul antrean pembelian yang mengular di sejumlah penyalur resmi PT Pertamina karena konsumen kesulitan mendapat elpiji bersubsidi di kios atau warung terdekat rumahnya. Masyarakat ”dipaksa” harus membeli elpiji 3 kilogram di penyalur resmi yang jaraknya relatif tidak dekat. Selain itu, harus mengantre dengan masyarakat dari banyak tempat karena terbatasnya jumlah agen resmi yang ada di satu wilayah.

Kericuhan yang muncul dalam dua hari terakhir tampaknya belum termitigasi secara baik sehingga mendorong pemerintah mengurungkan langkahnya. Pada Selasa (4/2/2025) ini, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan bahwa pengecer boleh berjualan elpiji bersubsidi seperti biasanya. Artinya, mulai Selasa ini para pengecer umum boleh mendistribusikan elpiji 3 kilogram lagi kepada masyarakat guna meredam kericuhan akibat antrean di pengkalan resmi. Meskipun demikian, pengecer ini tetap diharuskan untuk memproses usahanya untuk dijadikan subpangkalan resmi pemerintah.

Kebijakan yang dilakukan pemerintah terkait tata niaga elpiji bersubsidi tersebut niat sejatinya adalah baik. Pemerintah berupaya memastikan bahwa subsidi tersampaikan secara tepat kepada konsumen akhir yang memang berhak. Mengacu pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2008, harga jual eceran LPG tabung 3 kilogram untuk rumah tangga dan usaha mikro pada titik serah agen, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan margin agen ditetapkan Rp 12.750. Harga ini merupakan harga resmi PT Pertamina ke agen penyalur resmi.

Infografik riset Harga Elpiji
 

Selanjutnya, komoditas itu dijual kepada konsumen akhir dengan rentang yang bervariasi sesuai harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah daerah setempat. Misalnya di wilayah Jakarta yang HET-nya sekitar Rp 16.000; Kepulauan Seribu yang berkisar Rp 18.500-Rp 19.500; dan wilayah Banten berkisar Rp 19.000-Rp 19.500.

Namun, harga dari pangkalan resmi itu meningkat lebih mahal lagi ketika sudah didistribusikan lebih lanjut oleh pengecer-pengecer umum (warung atau kios) yang tidak terikat secara langsung dalam ketentuan distribusi elpiji bersubsidi. Harganya bervariasi di setiap daerah, tetapi umumnya sudah lebih dari Rp 22.000 per tabung.

Dalam konteks ekonomi, memperoleh margin keuntungan adalah suatu hal yang wajar. Namun, menjadi bermasalah ketika komoditas bersubsidi itu menjadi tidak tepat sasaran dan justru menjadi beban berat bagi keuangan negara. Elpiji bersubsidi yang notabene ditujukan bagi masyarakat bawah, miskin, serta untuk usaha mikro dan kecil (UMK) nyatanya banyak dikonsumsi pula oleh golongan menengah ke atas.

Ketidaktepatan tersebut lantas diupayakan oleh pemerintah saat ini untuk segera dibenahi. Jadi, mulai dari pangkalan resmi PT Pertamina, pangkalan penyalur resmi PT Pertamina, hingga subpangkalan kecil-kecil yang ada di lingkungan masyarakat terdata distribusinya secara jelas. Terdata siapa pembelinya, di mana alamatnya, hingga berapa banyak jumlah yang dibeli atau dikonsumsinya. Dengan demikian, harapannya subsidi akan tersalurkan secara tepat sasaran dan pemerintah pun dapat mengalokasikan anggaran subsidi juga secara tepat.

 

Impor dan subsidi elpiji

Kalkulasi subsidi untuk elpiji sangatlah penting bagi pemerintah. Pasalnya, tingkat ketergantungan impor elpiji Indonesia dari asing sangatlah besar. Pada kurun 2013-2023, tren impor elpiji terus membesar dan kian mendominasi dalam tata niaga elpiji nasional.

Pada tahun 2013, konsumsi elpiji domestik Indonesia mencapai 5,6 juta ton setahun.  Permintaan  energi ini sekitar 59 persennya atau sebanyak 3,3 juta ton didatangkan dari luar negeri. Jumlah permintaan elpiji ini terus meningkat sekitar 4,5 persen atau sebanyak 310.000 ton setahun sehingga pada tahun 2023 jumlah demand-nya mencapai 8,7 juta ton.

Infografik riset Suplai dan Permintaan Elpiji di Indonesia
 

Kurun sekitar satu dasarwasa ini, persentase jumlah impornya semakin dominan. Pada tahun 2023, proposi elpiji impor di Indonesia hampir mencapai 80 persen. Tingginya ketergantungan dari suplai asing ini membuat alokasi anggaran yang disiapkan pemerintah terkait konsumsi elpiji juga semakin meningkat.

Pada tahun 2016 lalu, alokasi subsidi untuk elpiji 3 kilogram sekitar Rp 31 triliun, tetapi sejak tahun 2022 hingga saat ini nilai alokasi anggaranya telah melonjak rata-rata kisaran tiga kali lipatnya. Pada tahun 2025, anggaran subsidi elpiji 3 kilogram mencapai Rp 87 triliun. Nilai anggaran subsidi elpiji ini terpaut jauh dengan nilai subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu, seperti pertalite dan biodiesel yang nominal per tahun rata-rata kurang dari Rp 30 triliun.

Tingginya alokasi anggaran subsidi elpiji tersebut menunjukkan besarnya permintaan elpiji 3 kilogram di Indonesia. Berdasarkan data Laporan Kinerja Ditjen Migas 2022, menunjukkan pada kurun 2020-2022, sekitar 90 persen elpiji yang beredar di Indonesia merupakan elpiji 3 kilogram. Pada tahun 2023-2024, diperkirakan permintaan elpiji bersubsidi kian masif lagi hingga lebih dari 8 juta ton atau sekitar 93 persen dari seluruh elpiji yang beredar di pasaran.

Fenomena tersebut tentu saja akan memberatkan bagi pemerintah karena tingginya permintaan elpiji 3 kilogram tersebut sebanding dengan kian besarnya alokasi subsidi yang harus ditanggung regulator setiap tahun.

Uniknya, harga keekonomian elpiji 3 kilogram itu tetap sama dengan nilai ekonomi yang diputuskan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sepanjang lebih dari satu dasa warsa, harga ketetapan dari pemerintah tetap sama, yakni kisaran Rp 12.750 per tabung 3 kilogram. Harga elpiji yang fluktuatif bergerak dinamis hanya untuk yang nonsubsidi ukuran rumah tangga 12 kilogram dan usaha 50 kilogram.

Berdasarkan data Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia (HEESI), Kementerian ESDM menunjukkan harga di titik penjualan resmi elpiji 3 kilogram hingga tahun 2023 tetap sama, yakni Rp 499.000 per barel atau sekitar Rp 3.670 per kilogram. Harga ini sangat timpang ketika disandingkan dengan harga elpiji 12 kilogram pada tahun 2023 yang senilai Rp 2.361.00 per barel atau Rp 17.360 per kilogram. Untuk harga elpiji 50 kilogram cenderung sedikit lebih murah di kisaran Rp 2.262.000 per barel atau senilai Rp 16.630 sekilonya.

Sejak tahun 2011 hingga tahun 2023, harga energi cenderung naik seiring dengan meningkatnya harga komoditas minyak bumi di pasaran global. Pada tahun 2011, harga per unit energi elpiji 12 kilogram dan 50 kilogram berkisar Rp 5.000-Rp 6.350 per kilogram. Harga ini terpaut sekitar Rp 1.400 dengan harga elpiji subsidi yang senilai Rp 3.670 per kilogram. Namun, ketika harga unit energi elpiji di pasaran global sudah lebih dari Rp 16.000 per kilogram pada tahun ini, harga unit energi untuk elpiji subsidi tetap sama tak berubah.

Infografik riset Subsidi Energi
 

Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang populis tetap dipertahankan di negeri ini, terutama untuk menjaga harga elpiji 3 kilogram. Namun, akan sampai kapan pemerintah mampu menanggung bebas subsidi yang kian membesar itu? Padahal, kenyataannya, elpiji 3 kilogram tersebut kemungkinan besar juga turut dinikmati golongan masyarakat yang sejatinya tidak berhak. Banyak masyarakat kelompok menengah-atas yang mengonsumsi elpiji bersubsidi ini karena rendahnya pengawasan dalam perdagangannya.

Oleh karena itu, pemerintah berupaya membenahi tata niaganya sebaik mungkin sehingga transparasi data pengguna elpiji 3 kilogram dapat termonitor secara optimal. Melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 37.K?MG.01/MEM.M/2023 tentang Petunjuk Teknis Pendistribusian Isi Ulang Liquefied Petroleum Gas Tertentu Tepat Sasaran, pemerintah berusaha memperbaiki distribusi penyaluran elpiji 3 kilogram.

Dalam regulasi itu, diatur tentang ”Sub-Penyalur LPG tertentu” yang ditunjuk oleh penyalur resmi untuk menjamin kelancaran distribusi isi ulang elpiji tertentu. Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh subpenyalur tersebut, antara lain, mendapat penunjukan dari penyalur LP resmi dengan memenuhi seluruh persyaratan yang ditetapkan Badan Usaha Penugasan; mendapat rekomendasi dari camat, luruh, atau kepala desa; mampu mengoperasikan perangkat elektronik yang digunakan dalam penditribusian elpiji 3 kilogram; memiliki nomor induk berusaha (NIB) dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI ) 47772.

Dengan menjadi subpenyalur resmi itu, kios-kios atau warung yang ditunjuk dapat menyalurkan atau menjual elpiji 3 kilogram secara resmi. Tentu saja, elpiji yang dijual mengacu pada basis data yang dibuat oleh badan usaha penugasan (Pertamina) serta mendata pengguna elpiji bersubsidi di membeli di kiosnya.

Dengan langkah tersebut, harapannya elpiji bersubsidi dapat termonitor perjualannya; dapat dikendalikan permintaaanya; sekaligus tetap mempermudah masyarakat untuk mengaksesnya. Para pengecer pun juga dapat mengambil keuntungan untuk meraih margin profit sesuai aturan pemerintah. (LITBANG KOMPAS)