Di tengah tingginya angka ”backlog” perumahan, program tiga juta rumah menjadi angin segar. Namun, pemangkasan anggaran membuat realisasinya potensial terkendala.

Oleh Agustina Purwanti

i tengah tingginya angka backlog perumahan, program tiga juta rumah menjadi angin segar. Namun, pemangkasan anggaran membuat realisasinya potensial terkendala. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa target satu juta rumah baru bisa diwujudkan di tahun keempat masa pemerintah. Menjadi cukup wajar jika sebagian publik masih meragukan program yang dinilai cukup ambisius tersebut.

Pembangunan tiga juta rumah per tahun merupakan salah satu program prioritas dari delapan program hasil terbaik cepat (PHTC) atau quick wins pemerintahan Prabowo-Gibran. Sasaran utamanya adalah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Jika melihat masih besarnya angka kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan rumah atau backlog, program ini menjadi sangat penting untuk diwujudkan.

Merujuk data Badan Pusat Statistik dan Kementerian PUPR yang dihimpun dalam Laporan Khusus Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI pada Juni 2024, angka backlog kepemilikan rumah di Indonesia mencapai 12,7 juta unit di tahun 2023. Sementara itu, Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR menyebutkan bahwa angka backlog sebesar 9,9 juta unit (Kompas, 05/06/2024).

Angka tersebut sedikit berbeda jika dibandingkan dengan perhitungan berdasarkan persentase kepemilikan rumah oleh rumah tangga di Indonesia. Jika mengacu jumlah penduduk Tanah Air sebanyak 278,69 juta orang, dengan rata-rata anggota keluarga 3,9 orang per rumah tangga, maka jumlah rumah tangga sekitar 71,46 juta. Data BPS menyebutkan, tahun 2023 persentase rumah tangga dengan status kepemilikan rumah milik sendiri sebanyak 84,79 persen. Dengan demikian, jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah sendiri diperkirakan sebesar 10,86 juta unit.

Apresiasi dan optimismeInfografik Kesenjangan Pasokan dan Permintaan (Backlog) Perumahan di Indonesia

Terlepas dari perbedaan angka tersebut, tampak bahwa hunian masih menjadi persoalan pelik di Negeri ini. Karenanya, wacana pembangunan tiga juta rumah per tahun seperti membawa angin segar bagi masyarakat. Jika benar-benar dapat diwujudkan, setidaknya sekitar 12 juta rumah akan terbangun hingga masa jabatan kepemimpinan Prabowo-Gibran berakhir.

Sebab, pemerintah berencana merealisasikan program 3 juta rumah mulai tahun kedua pemerintahan, sebagaimana yang tertuang dalam dokumen visi misi keduanya saat berkampanye terkait penjelasan lebih rinci mengenai Asta Cita. Program tersebut turut menyasar penyediaan rumah murah dengan sanitasi baik untuk masyarakat. Sesuai rencana, sebanyak dua juta rumah akan dibangun di daerah perdesaan dan satu juta lainnya di kawasan perkotaan.

Publik pun cukup antusias menyambut program tersebut. Survei Litbang Kompas melalui wawancara tatap muka pada 4-10 Januari lalu merekam, enam dari 10 responden meyakini bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran mampu menjalankan program tersebut. Bahkan, sebanyak 65,9 persen publik mengaku puas terhadap kinerja pemerintah dalam upaya menyediakan rumah murah bersanitasi baik di 100 hari pertama pemerintahan.

Boleh jadi, laporan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang menyebutkan bahwa setidaknya 40 ribu unit rumah telah terbangun sejak 20 Oktober 2024 cukup berhasil meyakinkan publik. Pada kesempatan berbeda, Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) melaporkan hingga 5 Januari 2025 sebanyak 36.944 unit rumah tersalurkan melalui pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).

Tak hanya itu, per 8 Januari 2025 pemerintah berhasil menggaet investor dari Qatar untuk membangun satu juta rumah yang akan difokuskan di wilayah perkotaan. 

Sebagian publik masih meragukan

Meski demikian, tak dapat dimungkiri bahwa sebagian publik masih meragukannya. Sebanyak 34,6 persen responden survei secara terang-terangan mengaku tidak yakin pemerintah mampu mewujudkan program yang dinilai cukup ambisius tersebut. Bahkan, meskipun cukup diapresiasi, tingkat keyakinan responden terhadap pemerintah dalam merealisasikan program tiga juta rumah merupakan yang paling rendah di antara 36 program unggulan yang dicanangkan pemerintahan saat ini.

Tampaknya bukan tanpa alasan. Berkaca pada pengalaman pemerintahan sebelumnya, dengan target pembangunan satu juta rumah per tahun, tidak sepenuhnya dapat direalisasikan. Merujuk catatan Kementerian PUPR dan GoodStats, pada tiga tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo pembangunan rumah belum mampu menembus angka satu juta unit per tahun. Rata-rata hanya 803 ribu unit per tahun.

Capaian pembangunan di atas satu juta unit baru bisa diraih di tahun keempat dan kelima (2018-2019). Berikutnya, baru konsisten terbangun melebihi satu juta unit per tahun pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo. Tepatnya mulai tahun 2021, setelah anjlok ke angka 965 ribu unit di tahun 2020 saat virus Covid-19 menyerang lantaran anggaran difokuskan pada penanganan pandemi.

Jika pemerintah sebelumnya baru mampu mewujudkan satu juga rumah di tahun keempat, maka pemerintahan saat ini harus bekerja lebih ekstra untuk dapat mewuwjudkan tiga juta rumah mulai tahun kedua. Sementara ini, pada tahun 2025 pemerintahan menargetkan pembangunan rumah sebanyak 800 ribu unit. Pada tahun berikutnya, untuk mencapai tiga juta rumah per tahun, setidaknya pemerintah harus membangun 250 ribu rumah setiap bulannya. Hal ini tentu saja tidak mudah karena berkaca pada pengalaman sekarang, pemerintah baru mampu membangun 40 ribu rumah pada 2,5 bulan pertama.

Apalagi, tantangan saat ini semakin berat lantaran terjadi pemangkasan anggaran cukup drastis. Pada 3 Desember 2024 dalam Rapat Kerja, Komisi V DPR RI menetapkan pagu anggaran kementerian PKP tahun 2025 sebesar RP 5,27 triliun. Turut hadir pula dalam forum tersebut Menteri dan Wakil Menteri Pekerjaan Umum. Nominal tersebut hanya sebagian kecil dari anggaran Rp 116,22 triliun yang dialokasikan untuk Kementerian PUPR.

Alokasi untuk PKP tersebut terpaut jauh jika dibandingkan pagu anggaran yang tercatat dalam Nota Keuangan RAPBN 2025. Program pembangunan perumahan dan kawasan permukiman di bawah naungan Kementerian PUPR mendapatkan alokasi Rp 13,65 triliun atau sekitar 18 persen dari total alokasi anggaran untuk Kementerian PUPR. Nominal ini pun sudah turun drastis dibandingkan anggaran sebelumnya, APBN 2024 yang sebesar Rp 42,3 triliun khusus untuk PKP.

Dengan kata lain, pemerintah harus mampu menghimpun dana di luar anggaran APBN. Skema investasi dari negara lain seperti Qatar perlu digaet setiap tahun sehingga investasi besar itu tidak hanya berhenti di tahun pertama. Harapannya, investasi yang ditanamkan akan terus meningkat sehingga menguntungkan banyak pihak. Terobosan skema penyediaan hunian dengan menggandeng swasta itu perlu dipastikan bahwa realisasinya tidak bias kepentingan.

Kehadiran negara secara utuh untuk menyediakan hunian, terutama bagi kalangan berpenghasilan rendah, benar-benar dinantikan. Kecakapan pemerintah diuji untuk tetap dapat mewujudkan janjinya di tengah berbagai tantangan yang dihadapi. Upaya ini untuk memberikan keyakinan kepada publik yang hingga kini masih menyimpan keraguan.

Meskipun demikian, perlu diingat bahwa penyediaan rumah ini bukan hanya sekadar soal angka dan pembuktian janji politik. Namun, wujud kehadiran negara untuk menyediakan salah satu kebutuhan paling primer bagi semua individu, yaitu papan (hunian) yang masih timpang hingga saat ini. (Litbang Kompas)