Setidaknya 14 pengembang ”nakal” ditemukan di kawasan Jabodetabek. Mereka rata-rata telah membangun sekitar 1.000-1.200 unit. Angka itu belum mencakup daerah lain.

Oleh Yosepha Debrina Ratih Pusparisa

JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman meminta Badan Pengawas Keuangan atau BPK mengaudit tata kelola rumah bersubsidi. Sebab, ditemukan banyak pengembang yang membangun rumah dengan kualitas rendah, khususnya untuk skema penerima Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan atau FLPP.

”Hari ini saya sudah membuat surat kepada BPK RI untuk dilakukan audit dengan tujuan tertentu supaya nanti bisa diperoleh suatu petunjuk komprehensif bagaimana nanti tata kelolanya, siapa bertanggung jawab tentang apa. Jika itu ada kerugian negara, saya serahkan kepada penegak hukum,” tutur Inspektur Jenderal Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Heri Jerman di Jakarta, Kamis (13/2/2025).

Menurut Heri, pengembang yang membangun rumah tak layak berkualitas rendah akan merugikan masyarakat sebagai penghuni. Negara pun turut dirugikan. Dalam data yang diberikan pada BPK, setidaknya ada 14 pengembang ”nakal” di area Jabodetabek yang rata-rata sudah membangun 1.000-1.200 unit rumah bersubsidi. Angka itu belum mencakup di daerah-daerah lain.

”Kami sudah hitung sebetulnya para pengembang itu masih untung, tetapi kalau masih meninggalkan kualitas, masih meninggalkan ketidaktaatan untuk menyediakan rumah layak, ini sangat merugikan,” ujar Heri.

Ia mendefiniskan pengembang ”nakal” sebagai pihak yang tak tuntas membangun rumah, tak layak huni, tak layak fungsi, dan tak memperhatikan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Ketika dilakukan pemeriksaan di lapangan, Heri menemukan sebuah kompleks rumah memiliki elevasi ketinggian yang tidak diperhatikan, bahkan lebih rendah ketimbang danau di sekitar hunian. Akibatnya, genangan baru terbentuk dengan kualitas selokan dan sanitasi buruk.

Ketika ditanya untuk mengumumkan para pengembang terkait, Heri mengatakan bahwa pihaknya akan membuat daftar pengembang yang dinilai tidak layak membangun perumahan bersubsidi. Dengan harapan, mereka tidak lagi dilibatkan perbankan karena dianggap meresahkan.

Fenomena ini terjadi hampir di seluruh Indonesia, tak hanya di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dalam audit BPK, pemeriksaan akan dilakukan secara komprehensif, tak hanya perbankan dan pengembang.

”Yang bertanggung jawab adalah pengembang karena mereka sudah terima duit, tetapi tidak memberikan kualitas yang baik,” kata Heri.

Sembari proses pelaporan ke BPK berjalan, Heri akan menegur pada para pengembang ”nakal” tersebut. Pada waktu bersamaan, pihaknya juga menunggu validitas dari Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).

Guna mengakomodasi masyarakat yang menghuni rumah tak layak huni, Kementerian PKP akan membentuk sarana pengaduan. Ia menargetkan medium tersebut diluncurkan pekan depan, serupa dengan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional atau SP4N Lapor.

Meski demikian, Heri mengatakan, masih banyak pengembang yang bertanggung jawab dan melakukan tugasnya dengan baik. Ia akan memberikan kesempatan kepada pengembang tersebut untuk mengoptimalkan kerja sama dalam skema FLPP. 

Label yang disayangkan

Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah menyayangkan pemerintah yang melabeli pengembang ”nakal” karena terlalu dini. Masalah yang mencuat tanpa sengaja atau adanya unsur kelalaian itu dapat diperbaiki. Namun, ia mengakui fungsi pemerintah untuk memperingatkan para pengembang sudah tepat.

”Kalau menyurati BPK, itu ranahnya antardua instansi. Namun, saya perlu ingatkan, pengusaha perlu suasana kondusif, perlu perlindungan pemerintah. Jika menemukan suatu hal, silakan diberi peringatan untuk memperbaiki,” tutur Junaidi.

Ketika ada kejanggalan di lapangan atau bangunan yang tak layak, pengembang dapat menerima teguran. Bangunan dapat diperbaiki. Pengembang yang tak bertanggung jawab dapat disikapi dengan mekanisme lain.

Ia juga mengingatkan agar jangan timbul kesalahan persepsi seolah-olah para pengembang menikmati subsidi. Padahal, subsidi itu diberikan ke masyarakat guna meringankan beban melalui subsidi bunga pemerintah. Tak ada subsidi pada pembangunan rumah atau pengembangnya.

”Perlu dipertajam bahwa perumahan subsidi itu bukan subsidi kepada pengembang. Bagian yang disubsidi adalah angsuran bunga para konsumen,” ucap Junaidi.

 

Infografik Kredit Bermasalah (NPL) Sektor Properti 2016-2023
Infografik Kredit Bermasalah (NPL) Sektor Properti 2016-2023

Ia berharap agar pemerintah dapat membantu kebocoran-kebocoran dalam proses perizinan. Alhasil, pembangunan rumah dapat berjalan dan berkontribusi bagi konsumen.

Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Joko Susanto menyatakan bahwa pihaknya siap duduk bersama dengan berbagai pihak untuk menuntaskan masalah yang ada. ”Bahkan, kami juga mau bertanggung jawab kalau itu memang ada masalah yang dikaitkan dalam posisi manajemen. Kalau ada masalah hukum itu, kan, sesuatu yang unpredictable,” katanya.

Ia juga menyayangkan pihak pengembang yang selalu disalahkan. Sebab, perbankan memiliki andil dalam tata kelola ini. Perbankan berperan untuk memproses kredit, verifikasi, eksekusi akad, dan berhak melakukan retensi akad. 

Menjamurnya asosiasi pengembang

Tata kelola pembangunan rumah bersubsidi ditengarai menjamurnya asosiasi pengembang. Tak seluruh organisasi itu solid dan mumpuni. Perbaikan harus dilakukan dari hulu, tak hanya sekadar kuratif di hilir.

Ketua Umum The Housing Urban Development (HUD) Institute Zulfi Syarif Koto mengapresiasi langkah Kementerian PKP, meski disebut terlambat dilakukan. Buruknya tata kelola ini imbas dari terlalu banyaknya asosiasi pengembang yang mencapai sekitar 23 organisasi. Tak seluruhnya merupakan asosiasi yang solid dan mumpuni. Banyak asosiasi yang pengurusnya antarkeluarga dan beranggotakan 2-3 pengembang yang diakui.

”Belum lagi masalah pembinaan. Asosiasi ini kebanyakan cuma kutip-kutip iuran, enggak ada pembinaan. Malah ada oknum asosiasi pengembang yang menjadi calo FLPP,” kata Zulfi.

Selama ini, Zulfi melanjutkan, konsumen banyak melaporkan soal kualitas, baik rumah maupun infrastruktur pendukung. Hal ini dimulai dari kualitas rencana pembangunan suatu kawasan (site plan) dan bangunan rumah.

Selain kemudahan membentuk asosiasi, pengembang yang tak bergabung dalam organisasi juga bisa mendapatkan fasilitas dan izin bangun perumahan. Pemerintah daerah (pemda) disinyalir terlalu mudah memberi izin, bahkan siapa saja dapat mengantongi persetujuan.

Pemerintah perlu mencermati kinerja dan produktivitas para asosiasi sejak dari hulu. Dari puluhan asosiasi pengembang, misalnya, perlu dilakukan tes kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Idealnya, mereka dapat dirampingkan menjadi 5-10 asosiasi dengan persyaratan ketat, mulai dari legalitas hingga tingkat produksi. Perampingan ini memudahkan Kementerian PKP membina para pengembang.

”Mencermati kinerja asosiasi tak bisa di-gebyah uyah (disamaratakan). Jika perlu, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan memeriksa melalui sensus, sehingga data akurat. Pemerintah perlu introspeksi seluruh ekosistem yang ada, baik pengembang, pemda, dan perbankan,” ucap Zulfi.

Pemda sebagai pihak yang memberi izin, mengutip uang izin, dan memonitor kondisi lapangan seharusnya turut bertanggung jawab. Pemda banyak menerima aset melalui dinas perumahan dan kawasan permukiman. Pihak perbankan juga harus melakukan hal serupa untuk mengecek kondisi yang sesungguhnya di lapangan.