Program tiga juta rumah menyemai harapan baru penyediaan hunian di Tanah Air. Rencana ini harapannya dapat terwujud di tengah gelombang efisiensi anggaran pemerintah.
Oleh Agustina Purwanti
Program tiga juta rumah per tahun oleh pemerintah menyemai harapan baru penyediaan hunian di Tanah Air. Sebab, angka kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan rumah atau backlog masih cukup tinggi. Namun, penyediaan saja menjadi tak berarti manakala rumah yang terbangun tak dapat diserap oleh masyarakat. Strategi skema penyaluran pun menjadi krusial di tengah gelombang efisiensi anggaran.
Laporan Khusus Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI pada Juni 2024 yang mengacu pada data BPS dan Kementerian PUPR menyebutkan, angka backlog kepemilikan rumah di Indonesia mencapai 12,7 juta unit di tahun 2023.
Jika mengacu pada klasifikasi daerah, penduduk di perkotaan tercatat lebih banyak belum memiliki hunian. Proporsinya mencapai 21,64 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan yang sebesar 7,10 persen. Menjadi ciri khas perkotaan di mana banyak penduduk yang merupakan pendatang sehingga kepemilikan hunian tak sebanyak di perdesaan.
Jika benar-benar dapat diwujudkan, setidaknya lebih dari 12 juta rumah akan terbangun hingga tahun 2029 mendatang. Pemerintah merencanakan pembangunan tiga juta rumah per tahun baru akan direalisasikan secara penuh mulai tahun kedua pemerintahan Prabowo-Gibran. Idealnya, jumlah tersebut sangat mampu menutupi angka backlog yang tercatat saat ini, khususnya dalam hal penyediaan. Secara khusus, program tersebut menyasar kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Masyarakat Indonesia menyambut cukup optimistis rencana besar tersebut. Survei Litbang Kompas pada 4-10 Januari 2025 lalu merekam, setidaknya enam dari 10 responden meyakini bahwa pemerintah mampu merealisasikan salah satu program hasil terbaik cepat (PHTC) atau quick wins itu.
Pentingnya skema pembiayaan perumahan
Kendati demikian, penyediaan saja tak cukup. Selain ketersediaannya, salah satu kendala kepemilikan rumah di Tanah Air adalah aksesibilitas atau kemampuan membelinya. Merujuk pada Statistik Perumahan dan Permukiman termutakhir tahun 2022, hanya sekitar separuh (52,85 persen) penduduk yang mampu memiliki rumah dengan pembayaran secara tunai.
Proporsinya menjadi lebih kecil untuk masyarakat perkotaan, yakni hanya 47,63 persen yang mampu membayar secara kontan. Sebagian lagi sebesar 41,30 persen penduduk perkotaan mengaku memiliki hunian dengan angsuran kredit perumahan rakyat (KPR) dan 10,53 persen lainnya lagi dengan angsuran non-KPR.
Melihat kondisi tersebut, skema penyaluran menjadi bagian penting agar publik dapat mengakses hunian yang disediakan pemerintah. Apalagi program tiga juta rumah secara spesifik difokuskan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan penghasilan kurang dari Rp 8 juta per bulan.
Selama ini, terdapat sejumlah skema pembiayaan perumahan untuk MBR seperti fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi selisih bunga (SSB), dan bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT), dan subsidi bantuan uang muka (SBUM). Hal ini mengacu pada Rencana Jangka Panjang Dan Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024.
Dalam pelaksanaannya, skema pembiayaan FLPP tersebut disalurkan melalui kerja sama dengan pihak perbankan. Sejumlah bank turut berperan dalam membantu masyarakat mengakses rumah impian mereka, beberapa di antaranya adalah Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Central Asia (BCA), Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Mandiri.
Merunut sejarahnya, realisasi KPR pertama kali di Indonesia terjadi pada 10 Desember 1976 di Kota Semarang oleh Bank BTN, khususnya KPR subsidi. Kala itu, KPR disalurkan dengan pola pengalokasian dana dari pemerintah dan Bank Indonesia yang kemudian digabungkan dengan dana dari Bank BTN. Hingga saat ini, Bank BTN dapat dikatakan sebagai salah satu kontributor utama penyaluran perumahan di Tanah Air.
Merujuk Laporan Bank BTN tahun 2023, menjelang setengah abad kiprahnya dalam penyaluran perumahan di Indonesia, Bank BTN telah merealisasikan sedikitnya 5,4 juta unit rumah. Terbaru, pada September 2023, Bank BTN menguasai 39 persen pangsa pasar perumahan di Indonesia. Secara nominal, sepanjang tahun 2023 outstanding KPR Bank BTN tercatat sebesar Rp 251 triliun. Jauh melampaui penyedia KPR lainnya seperti Bank BCA dengan outstanding KPR senilai Rp 118 triliun, Bank BNI Rp 57 triliun, dan dan Bank Mandiri Rp 53 triliun.
Dari nominal penyaluran tersebut, mayoritas didistribusikan melalui KPR BTN Sejahtera Tapak dengan nilai penyaluran Rp 19,4 triliun. Dibandingkan tahun sebelumnya, skema ini meningkat 5,84 persen. Skema penyaluran kedua melalui KPR BTN Tapera senilai Rp 0,7 triliun. Mulai tahun 2023, KPR BP2BT sudah tidak disalurkan oleh BTN sebagaimana kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Kuota subsidi
Kendati demikian, sejak tahun lalu, Bank BTN beserta bank umum lainnya, tengah dihadapkan dengan tantangan yang tak mudah. Meskipun masih tersedia, tetapi pada 2024 pemerintah memangkas subsidi perumahan FLPP menjadi hanya 166.000 unit.
Dengan kata lain, jumlah penduduk yang dapat menikmati bantuan tersebut mengecil. Padahal, rumah yang terbangun telah tersedia sehingga berujung pada terhambatnya penyaluran perumahan. Pada September 2024, pemerintah kemudian menambah kuota FLPP sebanyak 34.000 unit sehingga total kuota FLPP 2024 mencapai 200.000 unit.
Sebelum penambahan kuota tersebut, Bank BTN yang juga bagian dari kepanjangan tangan pemerintah mengambil langkah alternatif untuk tetap dapat menyalurkan rumah kepada masyarakat yang membutuhkan. Bank BTN menyediakan produk kredit nonsubsidi dengan plafon kurang lebih sama dengan harga jual subsidi.
Untuk tahun 2025, pemerintah menyediakan kuota FLPP sebanyak 220.000 unit. Namun, seiring dengan meningkatnya target pemerintah untuk menyediakan tiga juta rumah per tahun, skema pembiayaannya pun perlu ditambah. Hal ini perlu dilakukan karena jumlah target ini melonjak tiga kali lipat dari target sebelumnya yang hanya satu juta rumah per tahun. Rencana ini tentu saja relatif tak mudah diwujudkan karena di saat bersamaan pemerintah mulai menerapkan efisiensi anggaran di berbagai lini belanja kementerian dan lembaga.
Meskipun demikian, kebutuhan masyarakat terhadap perumahan tak dapat diabaikan dalam situasi yang menuntut banyak efisiensi ini. Rumah ataupun hunian adalah kebutuhan pokok yang umumnya ingin segera dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Apalagi, dalam survei Litbang Kompas juga menemukan bahwa lebih dari seperlima responden mengaku bahwa rumah menjadi prioritas pengeluaran mereka sepanjang tahun 2025. Di tengah kondisi ekonomi yang terus mengimpit, beragam bantuan terutama dalam mewujudkan rumah impian menjadi sangat berarti bagi masyarakat luas.
Sayang, apabila unit terbangun tak segera dimanfaatkan justru akan menimbulkan kerugian negara atas jutaan rumah yang telah diupayakan. Padahal, dalam pelaksanaan pembangunan rumah, sudah menjadi keniscayaan bahwa ribuan hektar lahan dikorbankan beserta hilangnya sejumlah keragaman flora dan fauna disekelilingnya. Belum lagi emisi karbon telah ditimbulkan dari serangkaian proses pembangunan rumah tersebut.
Alih-alih menyelesaikan masalah, tak terserapnya pembangunan rumah justru akan menimbulkan sederet persoalan lainnya. Berbagai langkah dan solusi dari hasil kolaborasi pemerintah, perbankan, pengembang, dan semua pemangku kepentingan perumahan dinanti guna meminimalisasi kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan rumah di Indonesia. (Litbang Kompas)