JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Konstitusi, Senin (24/2/2025), di Jakarta, membacakan putusan 40 perkara sengketa hasil Pilkada 2024. Dari 40 perkara yang sudah dibacakan putusannya, sebanyak 25 daerah harus melaksanakan pemungutan suara ulang, baik di semua tempat pemungutan suara maupun yang sebagian saja.
Pemungutan suara ulang (PSU) harus digelar karena Mahkamah Konstitusi (MK) menemukan sejumlah persoalan di daerah-daerah tersebut. Persoalan ini, antara lain, ada kandidat yang telah menjabat sebagai kepala daerah sebanyak dua kali atau ada kandidat yang masih dalam jeda waktu 5 tahun dicabut hak politiknya setelah menjalani hukuman pidana.
Putusan MK ini, menurut pegiat pemilu, mencerminkan penyelenggara pemilu di daerah tersebut tak profesional dalam bertugas.
PSU ini antara lain digelar di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Ini karena salah satu kandidat pilkada di daerah itu, yaitu Ade Sugianto, telah menduduki jabatan bupati Tasikmalaya selama dua periode sehingga tak bisa kembali mencalonkan diri.
Putusan MK itu mengakibatkan Ade Sugianto tidak bisa kembali berkuasa sebagai bupati Tasikmalaya meski meraih suara terbanyak.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Hakim konstitus Saldi Isra menyimak pemeriksaan surat suara saat pembuktian alat bukti dalam sidang lanjutan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (17/2/2025). Hakim memerintahkan untuk membuka kotak suara, surat suara, dan dokumen pendukungnya untuk pemeriksaan alat bukti dalam sidang lanjutan sengketa pilkada Kabupaten Bungo, Jambi. Hari ini adalah hari terakhir sidang yang beragendakan pemeriksaan saksi, dan alat bukti. Selanjutnya MK akan memutuskan perkara sengketa pilkada pada Senin (24/2/2025). Kompas/Hendra A Setyawan
Calon wakil bupati Pasaman, Sumatera Barat, bernomor urut 1, yaitu Anggit Kurniawan Nasution, juga didiskualifikasi oleh MK karena terbukti pernah dipidana. Hal itu terungkap lewat putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nomor 293/Pid.B/2022/PN JKT.SEL. Namun, saat mendaftar ke KPU setempat, Anggit dapat menyerahkan surat keterangan catatan kepolisian yang menegaskan bahwa tidak terdapat catatan atau keterlibatan dalam kegiatan kriminal apa pun.
Dari sebanyak 25 putusan MK yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat mengadakan PSU, ada 15 daerah yang diperintahkan menggelar PSU di semua tempat pemungutan suara (TPS). Ini antara lain terjadi di Kabupaten Boven Digoel, Pasaman, dan Tasikmalaya. Adapun PSU di TPS tertentu dilakukan di 10 daerah, seperti di Kabupaten Barito Utara dan Magetan.
Dalam putusannya, MK membatalkan kemenangan pasangan calon Ratu Rachmatuzakiyah-Muhammad Najib Hamas karena terbukti ada upaya pemerintah desa memengaruhi kemenangan mereka. Keterlibatan aparat desa berhubungan dengan keterlibatan aktif Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto, suami Ratu Rachmatuzakiyah.
Selebihnya, terdapat 4 putusan MK yang menolak permohonan seluruhnya, seperti untuk sengketa Pilkada Kabupaten Pasaman Barat.
Dalam putusannya, MK membatalkan kemenangan pasangan calon Ratu Rachmatuzakiyah-Muhammad Najib Hamas karena terbukti ada upaya pemerintah desa memengaruhi kemenangan mereka.
Mengenai putusan ini, Ketua KPU Mochammad Afifuddin dan anggota KPU, Idham Holik, yang dihubungi tak merespons konfirmasi Kompas.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, memandang, perintah PSU di sejumlah daerah, khususnya karena adanya pelanggaran pada syarat calon kepala daerah, mengisyaratkan jika KPU kurang profesional dalam membuat regulasi teknis pencalonan pilkada.
Ketidakprofesionalan itu terjadi, misalnya, terkait pemaknaan periode masa jabatan yang tidak sejalan dengan putusan MK atau saat verifikasi keterpenuhan syarat calon dalam pelaksanaan tahapan pencalonan peserta pilkada.
KOMPAS/ERIKA KURNIA
Titi Anggraini
Titi pun mengingatkan bahwa KPU harus menindaklanjuti putusan MK secara menyeluruh dan konsisten. KPU harus memastikan ketersediaan anggaran untuk PSU.
Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf mengaku, putusan MK ini benar-benar jadi pelajaran bagi penyelenggara pemilu. Untuk itu, ia berencana memanggil KPU pusat dan daerah untuk membahas hal ini. ”Artinya, penyelenggara tidak cermat,” ujarnya.
Apalagi, lanjutnya, mengingat implikasi dari putusan MK itu, yakni pelaksanaan PSU di sejumlah daerah. Padahal, negara tengah menerapkan efisiensi anggaran. ”Artinya, beberapa daerah harus siapkan lagi anggaran untuk PSU,” ujarnya.