JAKARTA, KOMPAS - Komisi II DPR menyoroti banyaknya jumlah pemungutan suara ulang atau PSU pada Pemilihan Kepala Daerah 2024. Hal ini ditengarai akibat ketidakcermatan penyelenggara pemilu di daerah. Agar hal serupa tak terulang, DPR berencana untuk memperketat seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu di daerah dalam revisi Undang-Undang tentang Pemilu ataupun Pilkada mendatang.

Mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas hasil sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, ada 24 daerah yang diperintahkan untuk melakukan PSU. Selain itu, terdapat satu daerah, yaitu Kabupaten Puncak Jaya, yang harus melaksanakan rekapitulasi ulang hasil pemungutan suara di 22 dari 26 distrik.

Mayoritas putusan MK yang mendiskualifikasi sejumlah calon kepala daerah akibat KPU di tingkat kabupaten/kota bekerja kurang profesional, bahkan lalai, baik secara administratif maupun secara hukum, dalam menelisik persoalan-persoalan dasar kepemiluan, seperti persyaratan administratif calon kepala daerah.

Hal tersebut diperkuat dengan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memberhentikan empat anggota KPU Kota Banjarbaru. Keempat komisioner KPU itu dianggap telah melakukan pelanggaran karena tetap menggunakan surat suara dengan dua pasangan calon kepala-wakil kepala daerah. Padahal, salah satu pasangan calon telah didiskualifikasi. Sebelumnya, putusan MK juga memerintahkan untuk digelar PSU di Banjarbaru.

 
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung di kompleks parlemen, Jumat (23/8/2024), memberikan keterangan kepada wartawan terkait rencana rapat konsultasi antara KPU, Bawaslu, dan pemerintah membahas tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi tentang syarat pencalonan di Pilkada Serentak 2024.
 

Ahmad Doli Kurnia Tanjung di Kompleks Parlemen, Jakarta, akhir Agustus 2024.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, saat dihubungi di Jakarta, Senin (3/3/2025), mengatakan, serangkaian kejadian it semakin menunjukkan diperlukannya revisi Undang-Undang tentang Pemilu dan revisi Undang-Undang tentang Pilkada secara keseluruhan.

Menurut Doli, ada dua hal yang setidaknya perlu diperhatikan ke depan. Pertama, substansi hukum tentang pemilu dan pilkada harus dibuat lebih rinci dan tidak multitafsir.

"Sehingga, kita melihat kejadian-kejadian kayak kemarin itu seolah-olah mereka (penyelenggara pemilu) selalu mengatakan ini-itu nggak diatur, maka kemudian mereka menafsirkan. Terbukti pada akhirnya tafsiran mereka itu salah di mata hukum oleh MK. Nah, jadi saya kira memang harus diatur lebih rinci, lebih detail, agar tidak multitafsir. Itu juga mengurangi kemungkinan adanya gugatan-gugatan sampe ke MK," ujarnya.

 
Iklan

Kedua, jika dilihat dari sisi penyelenggara pemilu, problemnya bisa dua, antara kapasitas atau integritas. Karena itu, untuk mencegah lolosnya komisioner penyelenggara pemilu yang tidak kompeten tersebut, proses seleksinya juga harus diperketatHal ini berlaku bagi semua penyelenggara pemilu, baik jajaran KPU maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Petugas KPPS dan saksi memeriksa surat suara saat melakukan penghitungan suara Pilkada di SMA Negeri 2 Sukoharjo yang dijadikan TPS 02 di Desa Pabelan, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (27/11/2024). Selain menggelar pemilihan gubernur-wakil gubernur Jawa Tengah, Kabupaten Sukoharjo juga menggelar pemilihan pemilihan bupati dan wakil bupati yang hanya diikuti satu pasang calon. Meskipun Pilkada tahun ini menghadapi fenomena 'kotak kosong', KPU Sukoharjo tetap menargetkan partisipasi pemilih di atas 80 persen. Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
 

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Petugas KPPS dan saksi memeriksa surat suara saat melakukan penghitungan suara Pilkada di SMA Negeri 2 Sukoharjo yang dijadikan TPS 02 di Desa Pabelan, Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah, 27 November 2024.

"Ke depan, perlu diperjelas aturan siapa sebetulnya yang harus kita percayai sebagai penyelenggara pemilu. Untuk memenuhi tadi itu, supaya memang betul-betul kita punya penyelenggara pemilu yang berkualitas, baik segi kapasitasnya, integritasnya, kemampuan teknisnya, termasuk soal leadership-nya," tegas Doli.

Kemampuan leadership ini, menurut Doli, sangat penting karena ia mendapatkan informasi tak sedikit jajaran KPU fi daerah merasa mengeluarkan keputusan tertentu berdasarkan "titipan dari atas". Ia juga sedang mencari tahu apa yang dimaksud "titipan dari atas" tersebut, apakah titipan dari institusi penyelenggara pemilu juga seperti KPU provinsi, KPU RI, atau yang lain.

"Nah, ini, kan, soal leadership. Kalau KPU daerah leadership-nya kuat dan integritasnya tinggi, tidak akan terpengaruh. Yang dipegang adalah aturan. Nah, ini saya kira juga harus dicek nanti. Menjadi salah satu indikator bagi mereka yang ingin menjabat sebagai penyelenggara pemilu nantinya," ucap Doli.

Di sisi lain, hubungan antar-penyelenggara pemilu juga harus diperkuat. Dalam UU Pemilu disebutkan, KPU, Bawaslu, DKPP adalah satu-kesatuan sebagai institusi penyelenggara pemilu. Namun faktanya di lapangan, mereka ini seperti kompetitor.

"Jadi ini harus dipahami. Bahwa penyelenggara pemilu ini dalam undang-undang adalah satu-kesatuan," kata Doli.

 
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya bersama Ketua DKPP Heddy Lugito Ketua KPU Mochammad Afifuddin, dan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja (membuka publikasi Indeks Kepatuhan Etik Penyelenggara Pemilu (IKEPP) Tahun 2024 di Jakarta, Kamis (30/1/2025). 
 

KOMPAS/HIDAYAT SALAM

Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya bersama Ketua DKPP Heddy Lugito, Ketua KPU Mochammad Afifuddin, dan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja saat membuka publikasi Indeks Kepatuhan Etik Penyelenggara Pemilu (IKEPP) Tahun 2024 di Jakarta, Kamis (30/1/2025).

Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Rifqinizamy Karsayuda sepakat agar seleksi jajaran KPU di daerah lebih ketat. Komisi II DPR tidak ingin sampai keteledoran dan kesalahan KPU di daerah yang mengakibatkan PSU terulang kembali. Ia bahkan meminta evaluasi terhadap keanggotaan KPU di daerah yang nyata-nyata tidak profesional.

Iklan - Gulir ke Bawah untuk melajutkan
Iklan

Menurutnya, dalam revisi UU Pemilu, perlu juga diatur agar supervisi terhadap KPU semakin diperkuat, begitu pula pengawasan terhadap Bawaslu. "Komisi II tak mau keteledoran dan kesalahan yang mengakibatkan PSU terulangi," katanya.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Dede Yusuf, pun ingin ada evaluasi serius terhadap KPU daerah sehingga persoalan serupa tidak terulang kembali. Sebab, jika kelalaian ini terus dibiarkan, uang rakyat yang ada di APBD bisa terbuang sia-sia untuk menggelar PSU.

”Dan ironisnya adalah PSU ini akibat persoalan ketidakcermatan penyelenggara daerah. Ini, kan, kacau,” tegasnya.