Banjir Jabodetabek mengingatkan pentingnya menjaga kualitas lingkungan hidup di area tersebut. Seperti apa kualitas daerah resapan air dan situ penampung air?
Oleh Yohanes Advent Krisdamarjati
Artikel ini berisi ulasan:
Jakarta, Bogor, Bekasi, dan Tangerang dilanda banjir pada 4 Maret 2025. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat, tercatat lebih dari 51.320 orang terdampak banjir di Kabupaten Bekasi, 760 orang di Kota Bekasi, dan 2.917 orang di Kabupaten Bogor. Sebanyak 1.960 KK yang tinggal di Kota Tangerang Selatan juga terdampak banjir. Di Jakarta, BPBD mencatat ada 122 RT yang terkena banjir dan 2.319 orang yang mengungsi.
Banyak faktor menjadi penyebab banjir di Jabodetabek. Salah satu penyebabnya adalah penyempitan sungai. Lebar sungai di Jakarta, misalnya, yang awalnya 50 meter telah berkurang menjadi 10-15 meter (Kompas, 8/3/2021). Penyempitan tersebut terjadi, antara lain, karena bantaran sungai telah dipenuhi oleh bangunan. Selain penyempitan sungai, fenomena pendangkalan juga terjadi di daerah muara sungai. Pendangkalan dipicu oleh sedimentasi berlebihan di hilir sungai, seperti yang dialami Sungai Ciliwung.
Pada periode sebelum kemerdekaan Indonesia (1625-1945), wilayah muara Ciliwung mengalami pergeseran garis pantai rata-rata 5,5 meter per tahun. Hal ini disebabkan oleh sedimentasi atau pengendapan yang berlebihan. Masifnya pengembangan kota Jakarta dan penebangan pohon hutan di hulu Ciliwung (Bogor) sedikit banyak berpengaruh pada sedimentasi di hilir sungai Jakarta.
Citra satelit sentinel dari reinterpretasi data landcover World Resource Institute (WRI) menunjukkan, di wilayah Puncak Bogor, luas hutan yang tadinya mencapai 57.997,81 hektar pada 2016 menyusut menjadi 56.373,4 hektar pada 2024. Demikian pula denga luas ladang pertanian juga menyusut menjadi 7.646,1 hektar (2024) dari sebelumnya 10.118,3 hektar pada 2016.
Di sisi lain, jumlah lahan terbangun menjadi semakin banyak, yakni dari 21.238,3 hektar pada 2016 menjadi 25.477 hektar pada 2024. Pembukaan lahan di luar kota Jakarta dan penebangan pohon hutan di hulu Ciliwung di daerah Puncak, Bogor, turut meningkatkan sedimentasi dan pendangkalan sungai. Akibat pendangkalan sungai hingga muara Jakarta, kecepatan aliran air menjadi lambat. Hal ini menyebabkan genangan dan berpotensi menyebabkan banjir.
GIS Litbang Kompas/SJP
Sejauh mana kualitas situ sebagai daerah resapan air Jabodetabek?
Selain pendangkalan sungai hingga daerah muara, genangan air banjir juga diakibatkan berkurangnya daerah-daerah tangkapan air di Jabodetabek. Salah satu daerah tangkapan air tersebut ialah situ, yakni ekosistem air permukaan yang umumnya berisi air tawar dan berukuran kecil.
Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane mencatat, setidaknya terdapat 208 situ yang tersebar di wilayah Jabodetabek pada 2018. Bogor, Tangerang, dan Depok merupakan tiga wilayah dengan kepemilikan situ paling banyak. Situ di Kabupaten Bogor tercatat sebanyak 96 situ, sedangkan di Kabupaten Tangerang (29 situ) dan Kota Depok (26 situ). Sementara di Jakarta, berdasarkan data BPS 2024, terdapat 18 situ yang tersebar di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat.
Keberadaan situ sebagai daerah tangkapan air menjadi penting. Selain menampung air, urgensi menjaga kelestarian situ karena jumlahnya yang terus berkurang. Sepanjang sepuluh tahun (2007-2017), sebanyak 33 situ hilang di kawasan Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Dalam dokumen Kementerian ATR/BPN, ke-33 situ yang hilang dalam 10 tahun itu masing-masing di Kabupaten Bogor (13 situ), Kota Bogor (2), Kota Depok (3), Kabupaten Tangerang (9), Kota Tangerang Selatan (1), Kota Tangerang (3), Kabupaten Bekasi (1), dan Kota Bekasi (1). Area situ yang hilang ini ada yang untuk area pembuangan sampah, tertimbun sedimentasi, hingga untuk rumah tinggal.
Seperti apa keberadaan daerah resapan air dan ruang terbuka hijau Jakarta?
Selain pendangkalan sungai dan berkurangnya daerah tangkapan air, pembangunan Jabodetabek banyak mengorbankan kualitas lingkungan sekitarnya. Contohnya dapat dilihat dari penataan ruang. Walhi mencatat ada proporsi lahan terbangun di Jakarta pada 2021 mencapai 97,9 persen, jauh lebih luas dibandingkan dengan tahun 1982 yang hanya 78,5 persen.
Pembangunan daerah membuat lahan yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan ekologi daerah turut berubah menjadi lahan terbangun. Wilayah Jakarta Selatan, misalnya, yang berfungsi sebagai kawasan resapan air, kini padat dengan permukiman hingga perkantoran.
Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di Jakarta Selatan, tetapi juga di seluruh wilayah Jakarta. Akibatnya, luas ruang terbuka hijau (RTH) berkurang pesat dari 14.600 hektar pada periode 1965-1985 menjadi 6.500 hektar pada 2012-2030. Bagi warga Jakarta, masifnya pembangunan berdampak pada lingkungan dan memicu terjadinya bencana. Berkurangnya lahan resapan air membuat banjir semakin sering terjadi.
Seberapa layak wilayah Jabodetabek dihuni?
Ancaman banjir dan penurunan daya dukung lingkungan mulai menganggu kenyamanan warga Jabodetabek. Wilayah Jabodetabek dengan tingkat kepadatan tinggi ini kian bertambah populasinya seiring terus berdatangannya arus migrasi dari berbagai daerah. Sayangnya, wilayah Jakarta Raya memiliki keterbatasan dalam memberikan tingkat kelayakan hidup bagi segenap penduduk yang bermukim di sana.
Minimnya kelayakan hidup di Jabodetabekpunjur (Jakarta-Bogor-Depo-Tangerang-Bekasi-Puncak-Cianjur) itu terlihat dari Indeks Daerah Layak Huni 2021 yang diolah Litbang Kompas. Pengolahan indeks ini menggunakan 16 indikator yang menggambarkan standar minimum untuk menopang kehidupan individu dan kelompok. Standar tersebut dikelompokkan ke dalam empat parameter utama, yaitu sosial, ekonomi, lingkungan, dan infrastruktur.
Parameter lingkungan, misalnya, diukur melalui tingkat kepadatan penduduk, kejadian bencana, dan ruang terbuka hijau. Rentang skor indeks berada dari 0 sampai 1. Semakin mendekati skor 1, maka tingkat layak huni semakin tinggi.
Tiga daerah dengan skor terendah adalah Kabupaten Bogor (0,409), Kabupaten Cianjur (0,472) dan Kota Bogor (0,5). Sementara Jakarta menghadapi problem kelestarian lingkungan. Indikator ruang terbuka hijau (RTH) Jakarta berada di skor terendah, yaitu 0,007. Dibandingkan dengan semua indikator, penyediaan area hijau sangat minim.
Luasan RTH hanya 30,3 kilometer persegi atau kurang dari 1 persen luas wilayah Jakarta Raya. Padahal, secara regulasi luasan minimum RTH itu adalah 30 persen dari total luas wilayah. Idealnya dengan luas wilayah sekitar 3.344 kilometer persegi, maka luasan RTH-nya berkisar 1.000 kilometer persegi.
Melihat keadaan terkini, wilayah Jabodetabek masih senantiasa berada di bawah ancaman bencana hidrometeorologi, terutama banjir. Banjir yang melanda wilayah Jabodetabek menjadi bukti bahwa upaya penanggulangan masih jauh dari kata cukup. Perubahan iklim turut memperbesar risiko cuaca ekstrem dan bertambahnya frekuensi terjadinya bencana banjir besar kemungkinan akan terus berulang. (LITBANG KOMPAS)