Minimnya ruang terbuka hijau atau RTH membuat Jabodetabek akan selalu rentan menjadi kawasan langganan banjir setiap tahunnya.
Oleh Budiawan Sidik A
Bencana banjir di wilayah Jabodetabek adalah sebuah keniscayaan. Tingginya tingkat kepadatan penduduk serta rendahnya daya serap lingkungan terhadap air yang melimpas membuat risiko bencana banjir relatif sangat tinggi di wilayah Provinsi Jakarta dan sekitarnya. Minimnya ruang terbuka hijau atau RTH membuat Jabodetabek akan selalu rentan menjadi kawasan langganan banjir setiap tahunnya.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada tahun 2024, jumlah kejadian bencana banjir di Jabodetabek setidaknya mencapai 33 peristiwa. Banjir tersebut merendam sekitar 12.700 unit rumah sehingga berdampak pada 50.800-an masyarakat yang bermukim di wilayah bencana itu. Sekitar 1.000 di antaranya terpaksa harus mengungsi akibat rendaman banjir ini.
Bencana tersebut akan terus meningkat seriring dengan intensitas curah hujan yang semakin tinggi. Pada tahun 2021 misalnya, jumlah kejadian bencana banjir di seluruh Jabodetabek mencapai 99 kejadian. Bencana itu menelan 16 korban jiwa, 1 korban hilang, 269 lainnya luka-luka, serta menyebabkan sekitar 566 ribu orang terdampak bencana. Bahkan, memaksa sekitar 54.200 orang mengungsi untuk sementara waktu.
Pada tahun 2021 itu, bencana banjir merendam sekitar 84 ribu unit rumah di seluruh Jabodetabek sehingga menyebabkan kerusakan parah pada setidaknya 60 unit rumah. Tingginya intensitas bencana tahun 2021 tersebut tak lepas dari fenomena La Nina yang cukup panjang pada periode 2021-2022 sehingga menyebabkan musim hujan lebih lama dari biasanya.
Pada tahun 2022, fenomena La Nina masih terjadi dan menuju pada fase puncaknya pada kurun Agustus-November. Hal ini berdampak pada intensitas kejadian banjir yang masih tinggi hingga mencapai 84 kejadian di seluruh Jabodetabek. Bahkan, banjir tahun 2022 ini berdampak lebih luas lagi hingga sebanyak 223 ribu orang serta merendam 45 ribu unit rumah.
Memasuki kurun 2023-2024, curah hujan cenderung menurun yang disebabkan oleh hadirnya fenomena El Nino. Hal ini turut memengaruhi intensitas bencana banjir yang cenderung surut pada tahun 2023-2024 di wilayah Jabodetabek. Pada tahun 2023, jumlah kejadian banjir berkurang dari tahun sebelumnya menjadi 55 peristiwa. Luasan dampak yang ditimbulkannya pun kian susut menjadi sekitar 71 ribu masyarakat serta “hanya” menelan korban jiwa sebanyak 2 orang. Di tahun 2024, jumlah frekusensi banjir semakin mengecil lagi menjadi 33 kejadian serta memakan korban jiwa satu orang.
Dari uraian data tersebut menunjukkan bahwa banjir akan selalu menghampiri sebagian wilayah Jabodetabek setiap saat. Setiap tahun akan selalu terjadi banjir dengan beragam intensitas serta dampak yang bervariasi. Namun, berkaca pada data tahun 2021-2024, bencana banjir akan selalu menimbulkan dampak setidaknya bagi 50 ribu orang setia tahun serta memakan korban jiwa.
Baik itu curah hujan yang dipengaruhi fenomena El Nino yang cenderung kering ataupun La Nina yang cenderung basah, tetap saja akan menimbulkan dampak banjir di wilayah Jabodetabek. Hanya saja, curah hujan yang relatif rendah umumnya berakibat pada jumlah kejadian bencana banjir yang semakin sedikit.
Luasan RTH yang minim
Selain karena curah hujan, faktor yang menyebabkan terjadinya banjir di kawasan Jabodetabek adalah minimnya luasan RTH. Tidak ada satupun daerah di Jabodetabek yang luasan RTH-nya sesuai dengan regulasi yang ditetapkan pemerintah, yakni mencapai 30 persen dari total luas wilayah.
Dari sejumlah data yang dikumpulkan dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SISPN KLHK) serta dari sumber lainnya menunjukkan bahwa luasan RTH di jabodetabek rata-rata tak lebih dari 9 persen dari masing-masing luasan wilayahnya.
Daerah dengan luasan RTH yang relatif tinggi di Jabodetabek adalah Kota Tangerang Selatan dengan persentase mencapai 8,5 persen. Selanjutnya, disusul Kota Bekasi dengan luas RTH 7,68 persen; Provinsi Jakarta 6,04 persen; dan Kabupaten Bekasi sebesar 4,32 persen. Untuk daerah lainnya seperti Kota Bogor, Kabupeten Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, dan Kabupaten Tangerang rata-rata luasan RTH-nya kurang dari satu persen, kecuali Kota Bogor yang luas RTH-nya sekitar 2,6 persen.
Dengan minimnya luas RTH itu membuat segala risiko terkait lingkungan, khususnya bencana banjir menjadi sangat tinggi di Jabodetabek. Hujan dengan intensitas rendah pun akan berisiko memicu terjadinya genangan air di sejumlah ruas jalan. Apalagi, turun curah hujan tinggi yang beralangsung dalam tempo cukup lama dan merata dari mulai kawasan hulu hingga hilir. Niscaya, banjir akan menjadi peristiwa yang akan melanda di sebagian wilayah Jabodetabek.
Bahkan, khusus di wilayah Provinsi Jakarta, kejadian banjir itu bukan semata karena curah hujan yang tinggi saja, tetapi juga dipicu tata guna lingkungan yang relatif kesulitan menyerap limpasan air. Menurut kajian BRIN menujukkan bahwa kondisi tanah di Jakarta sudah tidak bisa lagi menyerap air sehingga hujan lokal yang terjadi di Jakarta membuat lahan dan jalanan Jakarta mudah tergenang. Hal ini sejalan dengan laporan Walhi yang menunjukkan sekitar 52 persen kejadian banjir di Jakarta bukan akibat limpasan air dari wilayah hulu di kawasan Bogor sekitarnya.
Sulitnya air meresap di wilayah Jakarta itu salah satunya disebabkan oleh tingginya peningkatan proporsi lahan terbangun sehingga hampir semua lahan terlapisi oleh material, semen, dan bangunan. Lebih dari 95 persen lahan di Jakarta sudah beralih rupa menjadi lahan terbangun. Hal ini memicu terjadi penurunan muka tanah akibat beban infrastruktur yang berat serta adanya pengambilan air tanah dalam jumlah besar sehingga mempercepat laju penurunan muka tanah.
Ironisnya, luas RTH di Jakarta hanya sekitar 6 persen sehingga kemampuan daya penyerapan tanahnya menjadi sangat minim. Akibatnya, genangan dan banjir akan menjadi sebuah keniscayaan ketika hujan turun.
Fenomena tersebut kemungkinan juga mirip serupa dengan wilayah Jabodetabek lainnya yang masif pembangunan infrastruktur. Misalnya saja di wilayah Bekasi yang padat untuk pengembangan industi dan juga permukiman penduduk. Kawasan ini juga sangat rentan terlanda banjir setiap tahun. Bahkan, dari setiap banjir yang terjadi di kawasan Jabodetabek, proporsi dampak yang besar terjadi di wilayah Bekasi ini, baik itu Kota Bekasi ataupun Kabupaten Bekasi.
Misalnya saja, pada tahun 2021, saat curah hujan relatif sangat tinggi, luas area dampak banjir di Jabodetabek, sekitar 69 persennya berpusat di kawasan Bekasi. Dari 566 ribu masyarakat terdampak, sekitar 390 ribunya berada di kawasan Bekasi. Pun demikian dengan jumlah rumah yang terendam banjir, proporsi genangan di Bekasi mencapai 77 persen dari seluruh Jabodetabek. Hal ini tentu saja menyebabkan korban fatal di Bekasi menjadi sangat tinggi, yakni sebanyak 10 orang atau sekitar 62 persen dari seluruh korban tewas di Jabodetabek.
Uniknya, tingginya dampak kerusakan banjir tahun 2021 itu, frekuensi kejadian banjir di Bekasi hanya sebanyak 17 peristiwa atau hanya menyumbang kurang dari 18 persen di seluruh Jabodetabek. Hal ini mengindikasikan bahwa tata guna lingkungan di Bekasi relatif sangat minim penyerapan airnya. Dampaknya, bencana banjir yang melanda menimbulkan skala terparah di antara kawasan lainnya di Jabodetabek. Jadi, kejadian banjir besar seperti sekarang di Bekasi sejatinya tidak berbeda dengan sejarah yang tertoreh selama ini. Bekasi merupakan salah satu pusat peristiwa Banjir besar di Jabodetabek.
Kaidah RTH
Upaya mitigasi penanganan banjir di Jabodetabek memerlukan sejumlah langkah komprehensif mulai dari hulu hingga hilir. Salah satu yang perlu segera dilakukan di kawasan perkotaan Jabodetabek adalah memenuhi kaidah RTH yang disyaratkan regulasi.
Dalam Undang-undang No. 30/2007 Tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota.
Regulasi itu secara khusus mengamanatkan perlunya penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau, yang proporsi luasannya ditetapkan paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. Di mana RTH ini diisi oleh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Aturan selanjutnya yang mengatur tentang RTH adalah Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2022 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau. Dalam regulasi itu mengamantakan bahwa RTH publik paling sedikit 20 persen dan RTH privat paling sedikit 10 persen dari luas wilayah kota.
Dalam Permen itu juga disinggung tentang penyediaan dan pemenfaatn RTH dengan mempertimbangkan sejumlah aspek fungsi. Misalnya saja, terkait fungsi ekologis, resapan air, ekonomi, sosial budaya, estetika, dan penanggulangan bencana.
Khusus terkait banjir, RTH dimaksudkan memiliki fungsi untuk mengendalikan banjir sekaligus sebagai area resapan air dan juga penyedia pengisian air tanah. Dengan fungsi yang berjalan secara optimal, harapannya RTH dapat berperan untuk mengurangi risiko bencana, terutama terkait bencana banjir. Selain itu, menjadi ruang untuk evakuasi bencana dan pemulihan pascabencana.
Dengan besarnya fungsi RTH bagi upaya mitigasi bencana, sudah sewajarnya apabila pemerintah daerah berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan proporsi RTH di wilayahnya masing-masing. Dengan semakin peduli untuk menyediakan ruang bagi air meresap ke dalam tanah, harapannya tak banyak menimbulkan dampak negatif bagi air yang melimpas akibat turun hujan. Lingkungan akan terus menjaga keseimbangan alamnya sepanjang manusia mau peduli untuk menjaga ekosistemnya. (LITBANG KOMPAS)