Banjir lagi, banjir lagi. Ribuan warga terdampak, kota lumpuh, ada yang hilang nyawa. Pejabat sibuk melontarkan janji solusi atasi bencana. Seriuskah kali ini?

Oleh Redaksi

Jabodetabek dilanda banjir lagi. Belasan sungai meluap, bahkan sejak di area hulu. Sebagian kawasan aglomerasi terbesar di Indonesia tersebut sempat lumpuh.

Ada mal, pasar, stasiun, permukiman, hingga ruas aspal terendam. Ada jalan maupun jembatan yang ambles. Longsor di kawasan hulu di Puncak, Bogor, kembali terjadi.

Seperti telah ditegaskan dalam Tajuk Rencana pada 1 Februari 2025 lalu dan dalam serangkaian laporan terkait banjir sejak bertahun lalu di harian ini, banjir bukan barang baru di Jakarta dan sekitarnya. Dalam catatan sejarah, banjir disebut telah terjadi sejak abad ke-5 Masehi.

Jakarta dialiri belasan sungai dengan hilir yang lebih rendah dari permukaan laut. Sungai-sungai berhulu di Puncak berjarak kurang dari 100 kilometer ke hilir di tepian Teluk Jakarta. Jarak pendek dan beda ketinggian menukik ini membuat air sungai mengalir deras dan cepat ke hilir setiap kali hulu diguyur hujan lebat.

Sebagai bagian dari bentang alami, ratusan situ tersebar di kawasan ini. Di bagian hilir, rawa-rawa melengkapi sistem yang menyimpan air di kala kemarau maupun saat hujan.

Saat lanskap alam itu diubah, dialihfungsi, menjadi hunian dan pusat aktivitas manusia lainnya, air tetap mengambil ruangnya kembali setiap hujan bertandang. Terjadilah fenomena yang disebut manusia sebagai bencana berulang. Skala bencana makin besar seiring ketidakseimbangan antara daya tampung sungai dan peningkatan debit air akibat hujan ekstrem serta alih fungsi lahan terus dibiarkan. Kerusakan daerah aliran sungai dari hulu ke hilir bagai penyakit kronis yang diketahui obatnya, tetapi tak juga diobati tuntas.

Akibat pembiaran itu, mengembalikan keseimbangan alam makin menjadi pekerjaan berat karena sekarang harus memperhitungkan kebutuhan puluhan juta manusia yang menjejali Jabodetabek. Akan tetapi, bergantung pada infrastruktur fisik semata, seperti pompa dan polder, bendung dan bendungan, betonisasi sungai, terbukti belum menyelesaikan masalah.

Bencana seperti ini sebenarnya juga tak hanya menimpa Jabodetabek. Ada Karawang yang bersisihan dengan Bekasi yang berulang pula tergenang. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya memperingatkan bahwa hujan ekstrem berpotensi terjadi di banyak daerah di Indonesia pada awal Maret ini.

Namun, baru setelah banjir melanda, janji pemerintah segera berkoordinasi lintas daerah untuk penanggulangan banjir terucap lagi. Publik dan para ahli mengingatkan pentingnya political will diikuti implementasi segera agar bencana teratasi. Rencana tata ruang berwawasan lingkungan dengan memberi ruang air seluasnya berdampingan dengan tempat hidup manusia yang terintegrasi dari hulu sampai ke hilir wajib ada dan tegas dijalankan.

Diharapkan kali ini langkah pemerintah benar-benar serius. Bukan lagi melempem dan menguap seusai banjir mengering.